Mongabay.co.id

Menanti Implementasi Larangan Kantong Plastik di Jakarta

Belanja menggunakan kantong platik, mulai 21 Februari 2016, akan kena bayaran di 23 kota di Indonesia. Mari, belanja cerdas, tanpa kantong plastik. Foto: Sapariah Saturi

 

 

 

“Saya gak perlu plastik ya. Sudah bawa tas,” kata seorang pembeli, kepada pedagang sayur di Pasar Palmerah, Jakarta. “Oh iya ya, Jakarta mau larang kantong plastik. Bagus buat lingkungan ya,” kata pedagang, menimpali.

Pemerintah Jakarta resmi melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai pada pusat perbelanjaan, toko swalayan dan pasar rakyat. Kalau melanggar, akan ada sanksi administratif berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha. Pada Juli 2020, aturan ini akan berlaku efektif.

Pasar Tebet Barat dan Tebet Timur jadi proyek percontohan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di Jakarta. Pada 31 Desember 2019, Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 142/2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat pun diundangkan. Gubernur Anies Baswedan menandatangani pada 27 Desember 2019.

Baca juga: Menagih Peran Para Pihak Tangani Sampah Plastik di Laut

Saat itu pula, sosialisasi pelarangan kantong kresek mulai jalan bekerja sama dengan gerakan Diet Kantong Plastik.

Yanto, pedagang baju di kios Pasar Tebet Barat bilang tak tahu ada larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai.

”Ya biasanya saya yang kasih plastik, kalau enggak mereka bawa pake apa?” katanya, yang sudah berjualan lebih 10 tahun.

Yanto sulit tak sediakan kantong plastik karena pembeli bakal komplain.

Beberapa kios makanan, pasar tradisional, toko swalayan maupun kios sebagian besar masih memberikan kantong plastik. Beberapa orang terlihat membawa tas belanjaan, tetapi masih banyak pakai kantong plastik. “Soalnya masih dikasih, ya saya mau saja,” kata Ridwan, baru membeli perlengkapan rumah di satu toko swalayan.

Dewi, pemilik toko kelontong di Pasar Palmerah mengatakan, aturan itu sudah sosialisasi sejak tahun lalu, namun hingga kini masih kesulitan. ”Gak bisa kalo buat warung-warung kios kelontong seperti ini [larang plastik]. Karena pembeli pada ngotot minta plastik,” katanya.

Pembeli, katanya, kebingungan kalau pedagang tak menyediakan kantong plastik untuk membawa belanjaan. Dewi bilang, berusaha memberitahu pembeli soal aturan pemerintah ini.

Dewi pun mau tak mau tetap menyediakan kantong plastik. Atau, katanya, bisa juga dia kenakan tarif pada kantong Rp200 untuk menghidari sanksi pemerintah.

Baca juga: Bisakah Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025?

Saat pembeli mau membayar, biasa Dewi tanya mau pakai plastik atau tidak. Kalau perlu, Dewi akan menghitung plastik dalam total belanjaan. Kalau bawa kantong sendiri, pembeli tak perlu membayar lebih. Dia sadar, tujuan pemerintah baik larang kantong plastik, namun pemerintah perlu mengajak masyarakat hingga tingkatan paling bawah.

Andono Warih, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta kepada Mongabay mengatakan, peraturan gubernur ini mulai berlaku enam bulan sejak tanggal diundangkan, tepatnya, 1 Juli 2020.

Regulasi ini, katanya, guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan kewajiban pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat dalam menggunakan kantong belanja ramah lingkungan.

Pasal 5 ayat 1 dalam beleid itu, tertulis, pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat wajib pakai kantong belanja ramah lingkungan. Pada ayat 2, soal pelarangan pakai kantong belanja plastik sekali pakai bagi pelaku usaha maupun pengelola.

Setiap enam bulan sekali, akan ada pengawasan dan evaluasi pelaksanaan regulasi ini. Kalau ada yang melanggar, regulasi ini sudah mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa teguran tertulis, uang paksa, pembekuan izin, dan atau pencabutan izin. Adapun, sanksi administrasi berupa uang paksa paling sedikit Rp5 juta-Rp25 juta.

Bagi pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan dan pasar rakyat yang jalankan aturan dan prosedur sosialisasi kantong belanja ramah lingkungan, katanya, memperoleh insentif fiskal daerah. Insentif ini, katanya, berupa pengurangan atau keringanan pajak daerah terhadap usaha dengan mengajukan surat permohonan kepada gubernur.

Sri Maryani, yang bekerja di Jakarta Pusat mengatakan, setiap berbelanja rutin membawa tas belanja sendiri.”Ya, tidak sulit, karena memang bawa tas belanja sendiri. Hanya saja untuk ikan atau ayam yang sudah dibungkus plastik duluan, ya mau tidak mau saya pakai,” katanya.

Dia pun selalu diingatkan anaknya yang masih sekolah dasar untuk tidak gunakan kantong plastik setiap berbelanja. Alasannya, bumi sudah penuh plastik. Pengetahuan ini anaknya dapat dari sekolah. ”Kalo kebetulan lupa bawa saat belanja ya pakai plastik.”

Anugerah Esa, Direktur Usaha Pengembangan PD Pasar Jaya mengatakan, semua pasar tradisional hasilkan 600 ton sampah per hari. Pasar Jaya, salah satu penyumbang sampah terbesar. Di Jakarta, ada 153 pasar tradisional di bawah naungan pengelolaan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya.

Hingga kini, kios-kios penjual plastik terus mendapatkan pembinaan dan sosialisasi untuk berpindah jual kantong belanja ramah lingkungan. “Kami terus memberi tahu, per 1 Juli 2020 semua pasar di Jakarta tidak boleh lagi menyediakan kantong kresek. Semua pembeli harus membawa tas belanja masing-masing atau membeli (tas belanja ramah lingkungan) di kios,” katanya.

 

Kemasan barang masih gunakan plastik. Pedagang pun masih menyediakan plastik karena pembeli masih jarang membawa kantong atau tas belanja sendiiri. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pasar Jaya akan membuat surat keputusan (SK) direksi yang jadi payung hukum implementasi pada 153 pasar di Jakarta. Rencananya, SK ini terbit sebelum 1 Juli 2020.

Surat ini, katanya, guna memastikan tim mereka saat turun lapangan pengecekan dan memonitor kegiatan melalui kepala pasar atau manager pasar.

Anugerah mengatakan, plastik pembungkus makanan masih boleh dan pelarangan bertahap.

Tiza Mafira, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) mengatakan, sesuai Pergub 142/2019 kemasan plastik masih boleh, namun tak disarankan. Sampai kini, katanya, masih berupaya cari alternatif lebih ramah lingkungan dan nyaman bagi semua orang.

Dia terus pendampingan di Pasar Tebet Barat hingga beberapa bulan ke depan guna mengkampanyekan dan menyosialisasikan aturan ini.

 

Perlu target

Dalam aturan itu disebutkan, kantong plastik sekali pakai adalah kantong belanja dengan pegangan tangan sebagai wadah untuk mengangkat atau mengangkut barang. Atau kantong transparan sebagai kemasan membungkus dan menjaga sanitasi bahan pangan yang belum terselubung kemasan apapun. Ia terbuat dari bahan dasar plastik, polimer thermoplastic, lateks, polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric atau bahan-bahan sejenis lain merupakan polimer turunan hidrokarbon, termasuk yang mengandung prodegradan.

Pasal 10 ayat 1 menyebutkan, toko swalayan dapat menyediakan kantong plastik sekali pakai, meski hanya untuk wadah bahan pangan yang belum terselubung kemasan apapun. Kalau sudah tersedia, plastik sekali pakai dihentikan.

Fajri Fadillah, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, pergub itu tidak ada target masa transisi pengelola pusat pembelanjaan, toko swalayan dan pasar rakyat dari plastik sekali pakai buat pangan ke kemasan pakai ulang.

”Jika bentuk bukan pelarangan, bisa insentif bagi pengelola pangan guna ulang bisa mendapat insentif hingga tidak gunakan plastik kiloan. Kita pakai bahan lebih bisa daur ulang,” katanya.

Dengan ada insentif, katanya, bisa meningkatkan daya kreasi para produsen. Langkah itu, bisa menciptakan mekanisme-mekanisme refil dan lain-lain.

Adapun, insentif yang tercantum dalam aturan itu sebatas pengurangan kantong belanja plastik, tetapi kantong plastik pangan tidak ada insentif.

”Untuk aturan kantong belanja plastik sudah baik dan ada instrumen sanksi. Perlu lanjut produk plastik lain, misal, kemasan plastik untuk pangan, lalu sedotan, stereofoam dengan pendekatan bisa sama melalui larangan atau insentif,” katanya.

Andono berharap, penerapan aturan ini mampu mengurangi timbulan sampah dari kantong plastik. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2017-2018, dari 7.500 ton sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang setiap hari, 14,02% merupakan sampah plastik.

Komposisi sampah tertinggi adalah organik (53,75%), kertas (14,92%), gelas/kaca (2,45%), logam (1,82%), kain (1,11%), kayu (0,87%), baterai (0,56%), karet dan kulit tiruan (0,52%) serta lain-lain (9,98%).

Fajri menilai, pemerintah perlu mengambil kebijakan dari inventarisasi komposisi sampah di masyarakat dan produsen penghasil produk sampah seperti apa, yang selanjutnya pemerintah bisa membagi kriteria plastik apa saja yang dilarang atau insentif terlebih dahulu.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, saat ini pembeli masih dapat alternatif mau atau tidak pakai kantong plastik bisa bikin aturantak efektif.

”Jika memang pemerintah benar-benar serius, tidak boleh ada lagi yang kemasan sekali pakai,” katanya, juga salah satu anggota Aliansi Zero Waste Indonesia.

Yaya, sapaan akrabnya mengatakan, dari inventarisasi mereka, soal timbulan sampah pemerintah perlu sosialisasi massif kepada masyarakat, baik aturan, insentif maupun sanksi.

 

Pembeli, sebagian sudah ada yang bawa tas belanja sendiri, tetapi sebagian besar masih bergantung kantong plastik pedagang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Manajemen sampah

Fajar Budiono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengapresiasi semangat perbaikan lingkungan dalam peraturan gubenur. Meski demikian, katanya, larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai tidak menyelesaikan permasalahan sampah di Jakarta.

”Kami melihat manajemen sampah diperbaiki terlebih dahulu dari linier economu menjadi circular economy, dari kumpul, angkut, buang ke pilah, proses, recycling, dan jual.” Langkah itu, katanya, mampu mengurangi timbunan sampah di TPST.

Lini-lini proses dalam circular economy ini harus diperkuat, seperti pemulung, pengepul, pelapak, bank sampah, industri daur ulang, TPA dan TPS.

Pada Pasal 1 ayat 26-27, definisi kantong kemasan plastik sekali pakai saling kontrakdiksi. Dia mengharapkan, perlu atur kualitas kantong kemasan plastik sekali, apakah transparan atau tidak, juga ketebalan, bukan langsung pelarangan.

”Jika, ketebalan plastik dan jenis diatur pada kapasitas tertentu, proses pilah, daur ulang itu jadi ada nilai jual. Selama ini, tidak memiliki nilai jual. Jika tidak diatur ketebalan, orang cenderung gunakan banyak karena terlalu tipis, hingga membutuhkan lebih banyak.”

Kalau kantong plastik sekali pakai dilarang, katanya, perlu ganti baru. Sayangnya, manajemen sampah masih seperti saat ini hingga beban akan tetap sama. ”Bisa menimbulkan masalah baru.”

 

***

Keterangan foto utama: Mulai 1 Juli 2020,  aturan Gubernur Jakarta, soal larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai efektif berlaku. Saat ini, di pasar baik modern maupun tradisional, pembeli atau konsumen mulai ada yang membawa kantong atau tas belanja sendiri, tetapi jumlah masih kecil. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version