Mongabay.co.id

Nasib Ekowisata di Masa Pandemi Corona

Gunung Semeru yang puncaknya mencapai 3.676 meter dari permukaan laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Pandemi virus corona [COVID-19] memaksa sektor pariwisata berhenti. Padahal, sektor ini tercatat membanggakan dengan capaian devisa 280 triliun Rupiah sepanjang 2019.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [2019] menyebutkan, sekitar 35% portofolio produk wisata alam utamanya adalah ekowisata. Produk ini, selain ada di kawasan konservasi juga di wilayah Perhutani serta areal lain yang dikelola masyarakat.

Sebagai negara dengan mega-biodiversity terbesar ke tiga dunia setelah Brazil dan Zaire, pengunjung yang datang ke Indonesia bakal dimanjakan eksotika 40 ribu spesies tumbuhan, 707 spesies mamalia, 350 spesies amfibi dan reptil, 1.773 spesies burung, serta 2.184 spesies ikan air tawar.

Belum lagi wilayah laut Indonesia. Ada 2.500 spesies molusca, 2.000 spesies krustasea, 6 spesies penyu, 30 spesies mamalia, dan lebih 2.500 spesies ikan. Juga, bentang alamnya yang menawarkan keindahan panorama serta pengalaman petualangan.

Baca: Jangan Kerdilkan Peran Masyarakat, Dalam Aturan Konservasi

 

Gunung Semeru yang puncaknya mencapai 3.676 meter dari permukaan laut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Paradoks ekowisata

Paradoks ekowisata muncul karena sejatinya ekowisata tidak bersifat rekreasional semata. Sesuai konsensus masyarakat ekowisata internasional, ada dua tanggung jawab yang mutlak dijalankan: kelestarian alam dan pelibatan masyarakat lokal.

Dalam konteks kelestarian, ekowisata di kawasan konservasi perlu perhatian. Bagaimana tidak, meski ekowisata bukanlah “pelaku” tunggal namun kerusakan di taman wisata alam yang mencapai 4.210,3 hektar dan di taman nasional 765.442,29 hektar cukup menjadi alarm.

Belum lagi di kawasan suaka margasatawa yang memungkinkan dijadikan wisata sebagaimana PP 36/2010, serta kawasan lain semacam Perhutani dan kawasan yang dikelola masyarakat. Serasa tak cukup, ekowisata juga merambah kawasan cagar alam yang seharusnya steril dari aktivitas wisata. Di tengah pandemi COVID-19 ini, BBKSDA Jawa Timur telah memergoki 21 orang yang diam-diam berkunjung ke Cagar Alam Pulau Sempu.

Bagaimana dengan sampah? Catatan Crisdianti, ada 1.132,63 m3/tahun sampah bersumber dari wisatawan dan pelaku usaha di kawasan laut pasir Taman Nasiona Bromo Tengger Semeru pada 2017. Tak hanya itu, BPS [2017] merilis sebanyak 69,22% destinasi ekowisata berbasis alam dan 83,25% destinasi ekowisata berbasis air di Indonesia membuang sampahnya langsung ke alam.

Hingga 2017, fasilitas pembatasan pengunjung, baru dilakukan sebanyak 22,77% di ekowisata berbasis alam dan hanya 19,57% di ekowisata berbasis air.

Apresiasi layak diberikan kepada Taman Wisata Alam Kawah Ijen yang membatasi pengunjung 1.000 orang/hari dan satu hari tutup dalam sebulan, yaitu setiap jumat pekan pertama. Penutupan dilakukan, selain untuk pemulihan alami juga untuk kegiatan bersih gunung atau dikenal “jum’at rijik”.

Sayangnya, upaya baik ini ternoda dengan langkah yang cenderung menganut pola wisata masif berupa upaya perluasan Taman Wisata Alam. Konsekuensinya, sekitar 256,289 ha kawasan Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup akan tercaplok. Langkah ini hampir final karena tengah menapaki tahap penelitian melalui SK Menteri LHK No 27/Menlhk./Setjen/KSDA.0/1/2019.

Dalam aspek pelibatan masyarakat lokal terhadap ekowisata juga masih jauh panggang dari api. Survei BPS [2017], sektor swasta mendominasi pengelolaan ekowisata berbasis alam [68,50%] maupun yang berbasis air [95,77%].

Kondisi ini justru diperparah dengan indikasi menguatnya cengkeraman korporasi. Inisiasi pembangunan cable car di Taman Wisata Alam Ijen contohnya. Jika benar terwujud, dikhawatirkan mematikan keterlibatan masyarakat lokal seperti pendorong troli, pemandu, serta pendukung lain.

Baca: Ijen dan Eksistensi Harimau Jawa yang Dinyatakan Punah

 

Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pundi ekowisata

Berhentinya aktivitas ekowisata di masa pandemi corona setidaknya memberikan pundi pemulihan ekosistem melalui mekanisme alam. Secara empiris, sekelompok peneliti dimotori Crouzeilles yang mengkaji ratusan studi mengakui keberhasilan tak kurang dari 56%, baik untuk pemulihan keanekaragaman hayati maupun struktur vegetasi.

Meski terkesan menghambat aktivitas, hakikatnya pandemi membantu mengefisienkan pagu alokasi anggaran program pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang pada 2020 besarannya lebih 670 miliar Rupiah. Demikian juga, dukungan upaya pengendalian perubahan iklim yang pagu alokasinya sekitar 313 miliar Rupiah.

 

Bumi yang saat ini diselimuti virus corona. Ilustrasi: Miroslava Chrienova/Pixabay/Free for commercial use No attribution required

 

Refleksi

Pandemi COVID-19 telah meruntuhkan perekonomian negara kita. Namun, harapan pemulihan ekonomi melalui ekowisata bukanlah ilusi. Penelusuran Dogru dan Bulut menyebut, saat kelesuan ekonomi periode 2007-2008 melanda negara-negara Eropa, ternyata ekowisata mampu menyokong pertumbuhan ekonomi melalui dukungan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan perolehan pajak.

Terkini, Indonesia menetapkan strategi penyelarasan core pariwisata dan ekonomi kreatif. Ide ini sangat bagus, hanya dalam konteks ekowisata perlu penyempurnaan, dimana keuntungan devisa bukanlah kiblat satu-satunya, perlu memikirkan kelestarian dan pelibatan masyarakat lokal.

Ada baiknya kita berkaca pada otoritas wisata Australia Barat yang menetapkan lima persyaratan pengelolaan wisata. Pertama, ada pengenalan intrinsik bahwa kawasan konservasi hanya dipergunakan untuk wisata pengenalan flora, fauna dan bentang alam. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur dan tambahan atraksi wisata masif yang mengganggu harus dihindari.

Kedua, menautkan ekowisata dengan kekayaan budaya, yang melengkapi portofolio produk wisata. Ketiga, dorongan investasi serta konservasi sekaligus pada kawasan ekowisata dan budaya. Artinya, cara pandang yang digunakan bukan hanya bagaimana cara pembangunan destinasi dan strategi mendatangkan wisatawan namun juga menjaga kelestarian destinasi.

Keempat, hadirnya standar ekowisata yang diakui, diketahui pubik dan konsisten dijalankan. Ini akan memberikan persepsi positif bagi wisatwan bahwa tidak ada pengabaian kelestarian.

Kelima, adanya muatan edukasi yang mampu menginspirasi wisatawan tentang begitu berharganya aset wisata Indonesia.

Patut dicoba!

 

* Ihsannudin [Dosen Pemberdayaan Masyarakat untuk Konservasi, Universitas Trunojoyo Madura dan Penerima Anugerah Kader Konservasi Alam Provinsi Jawa Timur 2018]. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version