Mongabay.co.id

Rehabilitasi Mangrove Kelompok Tani Nipah Terancam Sawit

Biota laut seperti udang, kepiting dan ikan kembali datang setelah mangrove kembali tumbuh.Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Di sebuah desa nan jauh dari hiruk-pikuk kota, warga hidup dan menerima manfaat dari menjaga kelestarian hutan mangrove wilayah mereka. Warga sebagian besar nelayan, dan bertani.

Bagi warga pesisir di Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ini, hutan mangrove adalah urat nadi mereka.

Penanaman dan pembibitan mangrove tak pernah henti mereka lakukan hingga kini. Kehidupan warga di pesisir pantai Selat Malaka ini, tenang dan damai.

Senda gurau, tawa lebar orang tua baru pulang melaut sembari menenteng hasil tangkapan terdengar. Saling tegur sapa, dan tawa kecil anak-anak bermain kejar-kejaran ketika pagi datang, dengan logat Melayu pesisir begitu kental. Ketenangan itu sudah berlalu beberapa tahun lalu.

Baca juga: Begini Kondisi Mangrove Pantura Jabar..

Pada 2011, masuk pemodal buka kebun sawit, dan memporak porandakan ladang, hutan mangrove, serta biota laut di sana.

Mereka tengah berjuang melawan perusahaan perkebunan sawit yang menghancurkan kearifan lokal turun temurun mereka.

Ketika warga di belahan daerah lain tengah berjuang agar tak terpapar Virus Corona, mereka tengah mempertahankan hutan mangrove dari ancaman kebun sawit.

Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah mengatakan, masalah berawal dari hutan mangrove jadi perkebunan sawit dan tambah sejak lama di Desa Kwala Serapuh.

Kondisi ini, katanya, menyebabkan wilayah hidup nelayan dan masyarakat Desa Kwala Serapuh, rusak hingga mereka kehilangan sumber pendapatan ekonomi.

“Kami melaporkan perusakan lingkungan oleh oknum tidak bertanggung jawab kepada berbagai institusi negara. Namun belum ada tindakan apapun sampai sekarang,” katanya.

Upaya rehabilitasi mangrove oleh Kelompok Tani Nipah kerap mendapat hadangan dan tantangan dari oknum-oknum yang tak bertanggung jawab itu. Mereka adalah penanam sawit diduga ilegal di hutan mangrove.

 

Ketika mangrove kembali rimbun, nelayan, antara lain akan menerima manfaat, beragam biota pun banyak hidup, seperti ikan, udang dan kepiting. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Pada Kamis, 26 Maret 2020, kata Samsul, terjadi perusakan mangrove dengan cara dibakar. Perbuatan ini diduga oleh oknum karyawan perkebunan sawit itu.

Tak pelak, tanaman rehabilitasi Kelompok Tani Nipah hancur. Selama ini, mereka menanam mangrove jenis Rhizopora, nipah, dan berbagai tanaman hutan lain. Perusakan paluh yang sudah rehabilitasi juga terjadi.

Menurut Samsul, sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran perkebunan sawit di desa mereka, pada 2016, warga membentuk wadah berkumpul bernama, Kelompok Tani Nipah. Mereka menyusun dan menyatukan kekuatan sebagai bentuk perjuangan menghentikan alih fungsi mangrove jadi perkebunan sawit.

“Kita kerap mendapat intimidasi dari pengusaha atau pemodal yang melakukan alih fungsi hutan mangrove,” kata Samsul bersama perwakilan kelompok tani, saat bertemu pengurus Walhi Sumut, belum lama ini.

Baca juga: Tuai Kritik, Pemerintah Banyuwangi Batal Tebang 4.000 Pohon Mangrove

Trik pemodal menghentikan dan melemahkan perjuangan warga desa, katanya, dengan coba menyuap mereka. Warga menolak.

“Bagi kami, menjaga hutan mangrove agar tak hancur harga mati. Kami tidak menolak sawit, namun jika ditanam dengan cara tidak benar, apalagi sampai merusak ekosistem mangrove, harus berhadapan dengan kami. Itu kesalahan besar.”

Berbagai upaya dilakukan warga desa yang tergabung dalam Kelompok Tani Nipah ini. Mulai dari reboisasi hutan, hingga pengajuan hak kelola hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kalau permohonan mereka disetujui, otomatis perusahaan perkebunan sawit keluar dari lokasi. Perjuangan mereka berbuah hasil. Pada akhir 2017, Kelompok Tani Nipah mendapatkan SK perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) I Stabat.

Kemudian, Pengelolaan Hutan Kemitraan oleh Kelompok Tani Nipah makin kuat lewat surat keputusan dari KLHK Nomor 6187 pada 2018 tentang pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan. Dalam keputusan ini Kelompok Tani Nipah dengan KPH Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat, Sumut, seluas 242 hektar.

Dengan SK ini, kelompok ini melakukan berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman pohon Rhizopora, dan nipah.

 

Nelayan tradisional membawa hasil tangkapan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Mereka juga memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari secara legal, dengan mengambil pucuk nipah. “Pucuk nipah memiliki jadi bahan baku pembungkus makanan ringan khas Langkat,” kata Samsul.

Sejak mangrove tumbuh kembali, tak hanya anggota Kelompok Tani Nipah yang aktif menjaga mangrove. Nelayan bukan anggota kelompok pun ikut menanam. Sebagian besar nelayan tradisional mendapat manfaat dari upaya penghijauan hutan mangrove yang hancur jadi perkebunan sawit.

“Nelayan bukan anggota kita pun ikut menanam, merawat dan menjaga bakau,” katanya.

Nelayan tradisional mendapat manfaat langsung, karena kepiting dan berbagai hasil tangkapan yang hidup di ekosistem mangrove datang lagi.

Perjuangan warga desa melestarikan hutan mangrove di pesisir Langkat, tak semudah membalikkan telapak tangan.

“Kita sudah nanam, rehabilitasi rhizopora, nipah, dan tanaman hutan lain. Juga memperbaiki paluh-paluh yang tertutup, tapi selalu dapat hadangan dan halangan,” katanya.

Oleh orang-orang tak bertanggung jawab, katanya, tanaman mereka dirusak. Saat warga menancapkan plang izin kemitraan ada yang mencabutnya.

“Apapun itu, kami akan terus bergerak melawan siapa saja merusak ekosistem mangrove desa kami.”

Mereka berharap polisi dan aparat penegak hukum lain berani mengambil tindakan tegas terhadap pemodal sawit yang merusak mangrove desa itu.

Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi, Kampanye dan Kajian Walhi Sumut mengatakan, perusakan hutan mangrove di pesisir Langkat masih terjadi hingga hari ini, seperti dialami Kelompok Tani Nipah.

Menurut dia, masalah konflik tenurial dan perusakan tanaman swakelola mangrove oleh perkebunan sawit ini, harus disikapi serius.

Ketika bertemu perwakilan masyarakat Desa Kwala Serapuh, banyak hal terungkap.

Walhi Sumut, katanya, melihat perlu ada perlindungan hukum oleh KPH I Stabat atas pengelolaan hutan Kelompok Tani Nipah. Dia meminta, aparat penegak hukum menindak tegas oknum-oknum tak bertanggung jawab membuka perkebunan sawit di hutan produksi kelolaan warga ini.

“Aparat penegak hukum harus menindak tegas para pelaku perusak hutan mangrove di pesisir Langkat,” kata Ari, sapaan akrabnya.

Meski telah mengantongi surat keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kondisi di lapangan, belum menjamin kelompok ini bisa mengelola penuh hutan produksi seluas 242 hektar itu. Di sana, ada perkebunan sawit sekitar 64 hektar.

Perkebunan sawit diduga ilegal ini, kata Ari, menyebabkan mangrove hancur karena ditebang dan dibakar.

“Kita akan agar ad proses hukum terkait perusakan ekosistem mangrove di sana. KPH I Stabat harus mendampingi kelompok ini mengelola kawasan. Di sana, mereka diteror dan proses rehabilitasi hutan mangrove terus mendapat hambatan.”

 

***

Keterangan foto utama: Biota laut seperti udang, kepiting dan ikan kembali datang setelah mangrove kembali tumbuh.Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version