Mongabay.co.id

Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak perizinan sumber daya alam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Presiden Joko Widodo [Jokowi] memerintahkan Badan Usaha Milik Negara [BUMN] mencetak persawahan baru demi mencegah krisis pangan akibat pendemi virus corona [COVID-19] di Indonesia.

Upaya ini sebaiknya jangan di lahan gambut. Harus di kawasan-kawasan yang tidak merusak secara ekologis.

“Kita harus belajar dari gagalnya pemerintahan era Soeharto yang membuka lahan satu juta hektar gambut untuk sawah di Kalimantan Tengah. Harusnya pembukaan lahan baru diprioritaskan di kawasan HGU terlantar, kawasan marginal yang bisa disentuh teknologi BUMN, serta terintegrasi dari hulu ke hilir,” kata Achmad Jacob, Anggota Komite Audit Dewan Pengawas Perum BULOG, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [02/5/2020].

Pernyataan ini menanggapi apa yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Dalam berita tersebut, Airlangga menjelaskan terdapat lahan basah atau lahan gambut di Kalimantan Tengah. Dari 900 ribu hektar, sekitar 300 ribu hektar sudah siap, dan sekitar 200 ribu hektar dikuasai BUMN. Saat ini sudah dibuat perencanaan agar lahan tersebut dapat ditanami padi.

Baca: Pandemi Corona: Perkuat Keragaman Pangan, Indonesia Sehat Bukan Hanya Beras

 

Nasib petani harus diperhatikan agar kondisi pertanian Indonesia stabil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, dikutip dari Wikipedia, proyek lahan gambut satu juta hektar dilakukan pada era pembangunan Orde Baru yang digagas Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan [PPH] Siswono Yudo Husodo, di daerah dominan lahan gambut, terutama Kalimantan Tengah. Proyek tersebut awalnya diluncurkan pada 1995 sebagai bagian ambisi pemerintahan Soeharto untuk mencapai kembali posisi swasembada beras.

Pada 26 Desember 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut [PLG] Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuan proyek, menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut.

Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam serta dampak hidrologi dari proyek itu.

Baca: Lahan Gambut Eks PLG Satu Juta Hektar, Bagaimana Kabarnya Saat ini?

 

Lahan gambut sisa terbakar 2015 lalu yang terletak di eks PLG Satu Juta Hektar Kalimantan Tengah. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Butuh waktu lama

Azwar Hadi Nasution, peneliti INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [02/5/2020] mengatakan, proses pembentukan tanah menjadi sawah membutuhkan waktu lebih tiga tahun. Bahkan sampai 12 tahun. Tergantung jenis tanahnya.

Proses hidromorfik sangat dibutuhkan dalam pembentukan tanah sawah. Sifat morfologinya yang khas harus membentuk, Pertama, horison eluviasi tereduksi [lapisan olah tanah dan tapak bajak]. Kedua, horison eluviasi teroksidasi. Ketiga, horison eluviasi yang secara berkala tereduksi dan, Keempat, horison yang selalu tereduksi.

Krisis pangan bukan hanya karena kurang lahan tanah sawah atau menjadikan beras sebagai pangan utama. Melainkan juga, dihilangkannya lahan sumber pangan utama lain seperti sagu, jagung, sorgum menjadi perkebunan sawit atau non-pangan lainnya.

“Jadi, sebaiknya pemerintah mengevaluasi dulu program cetak sawah yang dilakukan Kementan 2014-2019 lalu,” katanya.

Momen ini, kata Azwar, sebaiknya dijadikan peluang oleh pemerintah untuk mewujudkan distribusi lahan. Atau, menambah luas lahan petani untuk reaktivasi dan revitaliasi sumber keragaman pangan yang berbasis ekologi dan sosiologi setempat. “Bukankah dunia sedang menginstal ulang seluruh perabotnya menjadi DE-GRWOTH dan Agroekologi, dimana keberagaman sedang dijujung tinggi.”

Sebelumnya, dalam Rapat Terbatas tentang Lanjutan Pembahasan Antisipasi Kebutuhan Bahan Pokok di Istana Bogor, Selasa [28/4/2020], Presiden Jokowi menyatakan sejumlah bahan pangan seperti beras, jagung, cabai, bawang merah, telur ayam, gula pasir, dan bawang putih sudah mengalami defisit pasokan. Khusus beras, defisit pasokan sudah terjadi di 7 provinsi di Indonesia. Sementara jagung terjadi di 11 provinsi, cabai besar di 23 provinsi, bawang merah di satu provinsi, telur ayam di 22 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, dan bawang putih di 31 provinsi.

Selain itu Presiden Jokowi juga menyoroti peringatan kelangkaan bahan pangan seperti diungkapkan FAO di tengah pendemi corona. Jokowi mengingatkan jajarannya untuk menjaga ketersediaan bahan pangan.

Baca juga: Empat Tahun BRG: Daya dan Upaya Pulihkan Gambut Negeri

 

Peta Sebaran dan perkiraan luas lahan gambut di Indonesia. Sumber peta: Pantau Gambut.id

 

Belajar dari RPPK

Selain jangan membuka persawahan baru di lahan gambut, Achmad Jacob menjelaskan beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan [beras].

Pertama, intensifikasi dengan inovasi teknologi pertanian. Tentunya dengan karakter pertanian Indonesia yang berbasis keluarga dan berlahan sempit, sehingga perlu modifikasi dan ramah alam.

Kedua, diversifikasi pangan. Bagaimana kultur makanan bangsa Indonesia di masa lalu tidak hanya berbasis beras, namun ada sagu, umbi-umbian, jagung, dan sumber karbohidrat lainnya.

Ketiga, ekstensifikasi lahan [perluasan melalui percetakan sawah baru] baik oleh masyarakat, swasta dan negara.

“Dalam hal ini pemerintah mendorong pembukaan lahan baru merupakan hal strategis, mengingat konversi lahan pertanian ke non-pertanian setidaknya 500.000 hektar per tahun,” katanya.

Namun, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah terkait rencana mencetak persawahan baru. Pertama, pemerintah harus menyampaikan dan belajar dari program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan [RPPK] 2005 lalu. RPPK juga menetapkankan lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan beririgasi dan 15 juta hektar lahan kering.

“Hal ini penting disampaikan ke publik sejauh mana keberhasilannya, berapa anggaran yang digunakan dan kendalanya seperti apa. Tujuannya, agar pemerintah saat ini bisa mengambil langkah strategis.”

 

Kondisi cetak sawah di Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang hanya sebagian dapat dimanfaatkan karena terendam air. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Kedua, pemerintah harus menetapkan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Jadi kita tahu berapa kawasan pangan tersebut, di mana dan produktivitasnya. Hal ini perlu untuk menentukan berapa luas lagi kebutuhan lahan pangan, untuk menjamin ketersediaan pangan secara nasional khususnya beras.

Ketiga, pembukaan lahan pertanian baru dimaksud haruslah di kawasan-kawasan yang tidak merusak secara ekologis seperti kawasan gambut.

Keempat, pembukaan lahan pertanian baru juga seharusnya merupakan pelaksanaan Reforma Agraria, dengan BUMN sebagai agen pembangunan bersama subjek reforma penerima lahan.

Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia dua tahun terakhir, terkait program cetak sawah di lahan gambut di Sumatera Selatan, tidak berjalan mulus. Sebagian belum memproduksi padi. Bahkan, sebagian tidak dapat ditanam karena selalu tergenang air saat musim hujan.

Misalnya di Desa Perigi Talangnangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan. Dari ratusan hektar lahan gambut yang dijadikan cetak sawah, hanya sebagian yang dapat dimanfaatkan atau padinya tumbuh subur. Lainnya selalu gagal, karena sawahnya tergenang air ketika hujan.

 

 

Exit mobile version