Mongabay.co.id

Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana

 

Kasus penghancuran mangrove di Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada pertengahan April lalu terus menyita perhatian banyak pihak. Berbagai pihak merespons cepat, termasuk Pemda, dan sejumlah aktivis di Kota Makassar.

Mendapat laporan warga, Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar dan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi langsung menerjunkan tim investigasi ke lokasi dan melakukan penyegelan.

“Kita lagi kumpulkan semua informasi dan data terkait, Mas. Saya kira perlu banyak kajian dan pengumpulan data dan fakta, untuk proses lebih lanjut. Kita tunggu saja informasinya,” ungkap Dodi Kurniawan, Kepala Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, lewat pesan Whatsapp ketika dikonfirmasi Mongabay, Kamis (23/4/2020).

baca : Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar, Bukti Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir

 

Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel bersama Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar dan Balai Penegakan Hukum KLHK wilayah Sulawesi langsung menerjunkan tim investigasi ke lokasi dan melakukan penyegelan. Foto: Kamal/Mongabay Indonesia.

 

Sebelumnya, DLH Kota Makassar bersurat ke Dinas Tata Ruang Kota Makassar, meminta penjelasan terkait posisi Lantebung dalam Rencana Pola Ruang Wilayah di RTRW Kota Makassar pada 21 April 2020.

Keesokan harinya, Dinas Tata Ruang memberi balasan yang pada intinya menjelaskan bahwa kawasan Lantebung masuk dalam kawasan lindung dengan arahan peruntukan Ruang Terbuka Hijau sesuai Perda Kota Makassar No.4/2015 tentang RTRW Kota Makassar.

“Kita sedang pelajari kasusnya,” ujar Andi Iskandar, Plt. Kepala DLH Kota Makassar.

Di hari yang sama terbitnya surat dari Dinas Tata Ruang ini, 22 April 2020, Pemprov Sulsel, menyurati Walikota Makassar yang berisi rekomendasi penanganan masalah ini.

Dalam surat yang ditandatangani Sekretaris Provinsi Sulsel Abdul Hayat ini antara lain berisi rekomendasi pemberian sanksi administrasi kepada PT. Tompo Dalle, dan segera menghentikan segala usaha dan/atau kegiatan pembukaan lahan mangrove tanpa adanya dokumen lingkungan dan izin lingkungan.

Pemprov juga meminta agar Pemkot melakukan pemasangan papan bicara di lokasi kegiatan perusahaan dan membuat Berita Acara Pemasangan Plang penyegelan lokasi, serta memerintahkan pelaku pengrusakan untuk melakukan pemulihan lingkungan.

Rekomendasi selanjutnya adalah meminta Pemkot melakukan pengamanan sempadan pantai di pesisir wilayah Kota Makassar. Khusus untuk kawasan Lantebung segera dilakukan penegasan tata batas dengan pemilik lahan.

Pemkot juga diminta melakukan koordinasi dengan Dinas Kehutanan Sulsel dan BPKH dalam rangka inventarisasi/penetapan kawasan lindung mangrove Lantebung.

“Proses administrasi dan perdata tidak menghalangi proses pidana apabila ditemukan adanya indikasi atau dugaan tidak pidana,” isi bagian akhir rekomendasi tersebut.

baca : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung

 

Sebanyak 200 pohon mangrove yang berusia puluhan tahun di Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, dicabut menggunakan alat berat oleh PT. Tompo Dilla. Perusahaan beralasan memiliki sertifikat namun tidak memiliki izin lingkungan. Foto: Ahmad Yusran/Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Yusran, Human Resource and General Affairs PT. Tompo Dalle, dalam berita acara pemeriksaan DLH Sulsel, mengklaim pihaknya telah memiliki alasan hak atas lahan tersebut, terdiri dari tiga dokumen Hak Guna Bangunan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Makassar.

Ketiga HGB tersebut adalah No.20036 tanggal penerbitan 16 Maret 2007 dengan luas 112.035 m2, HGU No.20185 yang ditertibkan pada 8 Oktober 2009 dengan luas 185.000 m2, dan HGU No 20224 tanggal penerbitan 29 April 2010 seluas 103.300 m2.

Diakui juga bahwa aktivitas tersebut dilakukan tanpa memiliki izin dan dokumen lingkungan dari instansi yang berwenang.

Pembabatan mangrove tersebut dilakukan untuk pembukaan jalan inspeksi lahan untuk lokasi dan batas lahan perusahaan. Aktivitas ini telah diakukan sejak 9 April 2020 namun terhenti di hari yang sama karena alat berat yang mereka gunakan tenggelam.

 

Sanksi Pidana untuk Efek Jera

Menanggapi kedua surat tersebut, Yusran Nurdin Massa, dari Blue Forests menilai respons cepat tersebut sebagai adanya tindakan sigap dan sinergi yang baik antara ketiga institusi dalam penanganan kasus ini.

Menurutnya, ada dua hal pokok yang perlu dilakukan nantinya. Pertama, mengusut tuntas dan memberi efek jera terhadap pelanggaran penebangan mangrove yang sedang terjadi. Kedua, memperkuat posisi sempadan pantai dan mangrove agar tidak lagi mudah dirusak dan dialihfungsikan di kemudian hari.

“Rekomendasi tersebut memberikan petunjuk terhadap dua hal ini,” tambah Yusran.

perlu dibaca : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?

 

Sejumlah nelayan melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir Lantebung, Makassar, Sulsel. Sekitar 20 ribu bibit mangrove yang ditanam hari melengkapi sekitar 80 ribu pohon mangrove yang sudah ditanam sejak 2010 lalu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Yusran menambahkan bahwa penting dipastikan izin lingkungan dan dokumen lingkungan sebagaimana dimaksud dalam rekomendasi tersebut tak diberikan di wilayah mangrove Lantebung, mengingat kawasan ini masuk dalam Rencana Kawasan Lindung.

“Dalam Perda RTRW Kota Makassar dijelaskan bahwa kegiatan yang dibolehkan bersyarat dan sesuai di kawasan ini hanya untuk kepentingan ruang publik dan tidak mengganggu RTH. Sehingga diharapkan rekomendasi terkait ini tidak dianjurkan,” jelasnya .

Ia juga menilai pentingnya rekomendasi pemasangan plang dan pemulihan kembali mangrove yang rusak agar semua kegiatan pengrusakan yang terjadi di lokasi tersebut dapat dihentikan.

“Ini juga untuk memperkuat posisi sempadan pantai dan mangrove dari pengrusakan di kemudian hari, rekomendasi untuk penegasan tata batas mangrove dan pemilik lahan sangat penting dilakukan,” tambahnya.

Yusran juga berharap adanya transparansi peruntukan kawasan ini agar bisa mengendalikan upaya-upaya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Dalam hal ini ia meminta agar Pemerintah Kota Makassar segera melakukan hal sehingga fungsi RTH yang diharapkan bisa dijamin keberlanjutannya di kemudian hari.

Yusran berharap Lantebung ditetapkan sebagai kawasan lindung khusus, berupa Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang tetap di bawah pengelolaan pemerintah Kota Makassar namun difungsikan sebagai fungsi lindung.

menarik dibaca : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi

 

Lantebung diusulkan untuk ditetapkan sebagai kawasan lindung khusus, berupa Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang tetap di bawah pengelolaan pemerintah Kota Makassar namun difungsikan sebagai fungsi lindung. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sedangkan Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulsel, menilai keberadaan rekomendasi tersebut sebagai titik terang penyelesaian kasus Lantebung.

“Sejak pengrusakan mangrove Lantebung diketahui publik, protes serta kecaman terus berdatangan terkhusus dari kalangan aktivis lingkungan hidup baik di Makassar maupun di nasional,” katanya.

Terkait surat dari Dinas Tata Ruang, Amin menilai informasi tersebut sebenarnya terlambat. Pemkot juga dinilai tak pernah melakukan upaya pencegahan dengan memasang papan informasi di dalam kawasan mangrove.

“Sehingga, kami minta agar pemerintah kota melakukan sosialisasi secara terbuka ke publik terkait status kawasan mangrove Lantebung,” katanya.

Terkait rekomendasi dari Pemprov, Amin menilai rekomendasi tersebut semakin memperkuat keyakinannya selama ini bahwa perbuatan pengrusakan mangrove di Lantebung adalah pelanggaran, walaupun berada di lahan yang diklaim oleh perusahaan.

“Dengan demikian, kami mendukung sepenuhnya rekomendasi tersebut untuk segera ditindaklanjuti, baik melalui penyegelan lokasi, pemberian sanksi administrasi, penghentian aktivitas dan merestorasi mangrove yang telah rusak.”

Amin selanjutnya mendesak Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sulsel untuk menuntaskan penyelidikan dan melakukan penegakan hukum serta membongkar asal muasal penerbitan sertifikat tanah di sempadan pantai Lantebung tersebut.

 

 

Lantebung adalah kawasan wisata mangrove yang banyak dikunjungi warga di akhir pekan. Kawasan ini menjadi lokasi penanaman mangrove berbagai pihak, termasuk Pemprov, Pemkot, TNI, BUMN, mahasiswa, komunitas , dll. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Edy Kurniawan, aktivis LBH Makassar, poin penting dalam surat tersebut adalah PT. Tompo Dalle telah melakukan usaha/kegiatan pematangan lahan dan pembuatan jalan tanpa dokumen izin lingkungan.

Poin ini dinilai bisa menjadi pintu masuk pemberian sanksi, tidak hanya sanksi administrasi, tetapi juga sanksi pidana berdasarkan Pasal 109 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Namun harus ditekankan yang dijerat pidana dalam kasus ini bukan hanya individu pelaku lapangan, tapi badan usaha, dalam hal ini PT. Tompo Dalle, berdasarkan Pasal 116 UU No.32/2009, dalam hal ini diwakili oleh pengurusnya,” jelasnya.

Edy berharap melalui kasus ini dapat memberikan efek jera bagi perusahaan. Bukan hanya pelaku lapangan yang dijadikan tumbal, sebagaimana biasanya terjadi.

Dia menilai adanya sertifikat kepemilikan lahan yang dimiliki perusahaan adalah hal yang harus diusut.

“Faktanya sudah terang mengarah pada pidana lingkungan. Sedangkan pengusutan sertifikat dengan sendirinya akan muncul dalam prosesnya nanti. Karena penyidik bisa saja memanggil pihak-pihak terkait yang terbitkan sertifikat untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi.”

Menurutnya, jika nanti ditemukan ada pelanggaran dalam penerbitan, maka Pemkot bisa meminta kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tersebut atau melalui pengadilan tata usaha negara.

“Jika ditemukan ada pemalsuan atau penyalahgunaan kewenangan oleh pihak-pihak yang terbitkan sertifikat, maka bisa diusut pidananya,” tambahnya.

Edy berharap masyarakat sipil terus mengawal terus kasus ini agar menutup pintu ‘masuk angin’ atau mental di tengah jalan.

“Kasus ini harus terus dikawal, minimal setiap 2 minggu diminta progres penanganan kasusnya,” tambahnya.

 

Exit mobile version