Mongabay.co.id

Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman hayati sektor kelautan yang tinggi, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai the Amazon of the seas. Indonesia juga memiliki kawasan yang disebut The Coral Triangle yang juga kaya dengan keanekaragaman hayati.

Namun, kekayaan ini dinilai mengalami keterancaman seiring dengan rencana pemerintah menerapkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang rancangannya kini tengah dibahas di DPR.

Pro kontra Omnibus Law memang kini tengah berlangsung di masyarakat, bahkan di tengah merebaknya wabah Corona atau COVID-19 saat ini. Sektor kelautan kini menjadi salah satu sorotan karena beberapa pasal dalam RUU ini dinilai sebagai kemunduran dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir.

Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), pada diskusi yang diselenggarakan Kehati dan Mongabay Indonesia, Senin 27 April 2020, menyatakan ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut Indonesia yang begitu kaya harus menjadi salah satu pertimbangan sebelum menerapkan UU Cipta Kerja ini nantinya.

“Dalam konteks Omnibus Law kita harus hati-hati dalam melakukan investasi, meski kita belum tahu investasinya akan seperti apa, kondisi laut kita saat ini harus menjadi pertimbangan,” ungkapnya.

baca : Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

 

Perahu yang terparkir karena cuaca buruk di kawasan Tempat Pelelangan Ikan Ngaglik, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jatim pada awal Maret 2020. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Rony, tanpa adanya Omnibus Law ini saja tekanan terhadap laut dan pesisir sudah sangat besar. Tiga ekosistem penting pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove berada dalam kondisi kritis.

Salah satu penyebabnya adalah karena sebagian besar kapal penangkapan ikan adalah kapal ikan skala subsisten dan kecil yang menangkap ikan wilayah pesisir. Sementara kapal perikanan yang menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas (high seas) jumlahnya sangat sedikit.

Terkait isi RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini, Rony mengurai empat catatan penting. Pertama, terkait definisi nelayan, yang tidak lagi menyertakan ukuran kapal yang digunakan nelayan.

Ini dinilai berbeda dengan aturan yang ada saat ini. Misalnya, dalam UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan nelayan kecil berkapasitas di bawah 5 GT, sedangkan di UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam disebutkan di bawah 10 GT.

“Selama ini nelayan kecil memiliki keistimewaan, di mana mereka bisa menangkap ikan di mana saja tanpa perlu izin dan disubsidi, kecuali di wilayah konservasi. Kalau tidak ada indikator yang jelas yang mana disebut nelayan kecil maka nelayan besar pun dikhawatirkan akan mendapatkan fasilitas tersebut,” jelasnya.

Kedua, terkait penyederhanaan perizinan. Jika sebelumnya terdapat tiga izin yang harus dipenuhi yaitu Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) serta sejumlah izin lingkungan, namun kini disimplifikasi menjadi satu izin saja, yaitu izin berusaha.

Ketiga, adanya re-sentralisasi, di mana semua perizinan kini hanya bisa diberikan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini wewenang provinsi dan kabupaten dicabut.

“Ini malah bertentangan dengan semangat reformasi yang justru dulu bagaimana sentralisasi didistribusi. Kalau sentralisasi terjadi maka saya yakin pemerintah pusat akan kewalahan dalam mengelola sumber daya ikan karena rentang kendalinya akan sangat luas.”

Keempat, terkait pemberian sanksi yang hanya berupa sanksi administrasi, sementara sanksi denda dan pidana dihilangkan.

“Padahal pemberian sanksi pidana dianggap masih sangat penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran,” katanya.

baca juga : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Perahu dibawah 10 GT milik nelayan yang terparkir di di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jatim, sebelum digunakan untuk mencari ikan, rajungan dan cumi-cumi. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Mas Achmad Santoso, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), upaya pemerintah mendorong RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini tak terlepas dari visi 2045 Indonesia yang menargetkan menjadi 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dan target 2040 masuk kategori negara berpendapatan tinggi.

“Inilah yang membuat arah kebijakan pemerintah kemudian adalah percepatan investasi untuk pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi yang diselenggarakan CORAL, Rabu 29 April 2020.

Dikatakan, Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santoso, Omnibus Law sebagai metode dipilih karena memiliki sejumlah kelebihan, seperti menghemat waktu dan biaya, memudahkan kesepakatan politik dan harmonisasi.

Namun Omnibus Law juga memiliki kelemahan, seperti sifatnya yang multi and diverse subject, yang membuat kelompok kritis dalam parlemen, opisisi dan masyarakat sulit dan terbatas ikut serta dalam proses pembahasannya.

“Judulnya cipta kerja, artinya UU ini tujuannya untuk ingin menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya, tetapi kalau melihat isinya banyak hal-hal yang mungkin saya anggap ini berhubungan dengan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Di pembahasan RUU ini, Ota bahkan mensinyalir kecenderungannya adanya penyelundupan pasal-pasal yang condong pada kepentingan tertentu. Di lain sisi, pemerintah dinilai tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakat luas dalam proses penyusunannya.

Terkait semangat re-sentralisasi perizinan dalam Omnibus Law ini, Ota menilai pemerintah nantinya akan kesulitan dalam hal pengawasan kepatuhan.

“Karena tidak lagi dikenal izin sektoral semuanya diamalgasikan ke dalam perizinan usaha, pertanyaannya bagaimana pengawasan kepatuhannya dan siapa yang akan melakukannya?” ujarnya.

Ota juga menyoroti penilaian kriteria kegiatan dampak penting yang wajib Amdal yang menjadi tidak jelas. Selama ini Amdal diatur dalam UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup dengan 9 kriteria, yang dalam RUU ini dihilangkan dan selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

perlu dibaca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

 

Momentum Strategis Perikanan Tangkap

Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan bahwa saat ini perikanan tangkap Indonesia berada pada momentum sangat strategis, yang secara ekonomi dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha. Sehingga membutuhkan investasi yang serius dan upaya pengembangan potensi ekonomi yang luar biasa.

“Dengan kondisi negara yang sangat butuh seperti sekarang ini, harusnya bisa didorong sebagai kerangka strategis untuk berkembang ke depan. Namun kita juga tak ingin ini bablas, makanya instrumen-instrumen pendataan harus dikawal bersama,” katanya.

Meski demikian, ia menyadari adanya kekhawatiran berbagai pihak terkait dampak Omnibus Law ini. Misalnya terkait perizinan yang nantinya seluruhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.

“Ini menjadi salah satu concern kami, karena memang diperlukan kontrol mencegah terjadinya salah kelola dalam tata kelola kelautan dan perikanan.”

Menurutnya, meski segala bentuk perizinan ditarik ke pemerintah pusat namun kerangka yang menuju ke instrumen-instrumen tersebut masih berada di KKP. Tantangannya kemudian, bagaimana sistem perizinan tersebut terhubung secara otomatis dengan data-data yang ada, sehingga tidak menghambat dari segi proses.

“Dengan simplifikasi perizinan, semula ada SIUP, SIPI, SIKPI kemudian menjadi untuk satu instrumen saja, kita perlu memastikan kepatuhan terhadap perundang-undangan ini semakin intensif.”

 

Ikan hasil tangkapan nelayan. Perikanan tangkap Indonesia dinilai berada pada momentum sangat strategis, yang secara ekonomi dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Masalah kepatuhan ini sendiri dinilai Zulficar memang menjadi salah satu tantangan yang dihadapi sektor perikanan tangkap. Sehingga pemerintah kemudian berupaya bagaimana tingkat kepatuhan para pelaku usaha ini bisa ditingkatkan melalui sejumlah instrumen.

Sejumlah instrumen tersebut misalnya melalui logbook perikanan, yang akan mengindikasikan berapa total tangkapan ikan yang sudah dilakukan, jenis alat tangkap yang digunakan, hasil tangkapan ikannya apa sesuai izin atau tidak.

Logbook ini menjadi salah satu indikator kita untuk memantau seefektif apa tata kelola tersebut dilakukan. Logbook ini sudah berjalan meskipun belum sempurna, masih ada beberapa hal yang masih perlu dikembangkan, namun ini menjadi salah satu instrumen mendorong kepatuhan usaha tersebut.”

Instrumen lainnya adalah penerbitan surat persetujuan berlayar yang wajib dimiliki pelaku usaha perikanan ingin melaut. Izin ini tidak akan dikeluarkan hingga sejumlah aturan yang ada dipenuhi.

“Ini bisa kita dorong masuk dalam kerangka nelayan untuk memperkuat instrumen di tingkat menteri kemudian masuk juga di sini. Kemudian laporan kegiatan penangkapan akan didukung nanti dengan beberapa monitoring system dan berbagai instrumen lainnya,” tambahnya.

 

 

Exit mobile version