Mongabay.co.id

Meski Pandemi, Perusakan Hutan Leuser Tidak Berhenti

 

 

Pandemi virus corona [COVID-19] tidak berdampak pada aktivitas perusakan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Hutan ini tetap saja dirambah untuk kegiatan perkebunan.

Muhammad Rusdi, masyarakat Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, akhir April 2020 menuturkan, meski virus corona tengah menghantui masyarakat, kegiatan perambahan hutan untuk lahan perkebunan tidak berhenti.

“Saya melihat pembukaan lahan mengikuti musim. Saat kemarau akan banyak titik,” ujarnya.

Muhammad Rusdi mengaku, dia mengenal beberapa orang yang membuka kebun, justru di hutan lindung dan hutan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] di Kabupaten Aceh Tenggara. Mereka adalah masyarakat yang dulunya bekerja di luar Aceh Tenggara dan baru pulang ke kampung halaman setelah COVID-19 merebak.

“Beberapa orang yang saya kenal melakukan itu karena mereka tidak bisa bekerja di luar,” ungkapnya.

Baca: Hutan Leuser Rusak Akibat Perambahan dan Pembalakan Liar

 

Pembakaran lahan yang dilakukan di wilayah konsesi PT. PT. Indo Alam di Aceh Timur, Aceh. Foto: RAN

 

Hal senada dikatakan Sanusi, warga Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Sebagian besar masyarakat yang sebelumnya bekerja di luar daerah, pulang kampung karena corona. Tidak ada pekerjaan, mereka memilih membuka lahan.

“Umumnya, setelah kebun dibuka akan ditanami tanaman tua. Bisa juga nantinya mereka menjual lahan itu,” terangnya.

Sanusi mengungkapkan, dia termasuk salah seorang yang memiliki lahan di hutan lindung, dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Namun, tidak membuka lahan sendiri.

“Karena tidak ada kesibukan, saya membeli lahan itu dari masyarakat. Selama imbauan pemerintah agar tetap di rumah, saya telah menanami lahan jenis tumbuhan usia lama, seperti durian dan lainnya,” ujarnya.

Sanusi mengaku, ketimbang stres di rumah lebih baik berkebun. “Ada beberapa orang seperti saya, mereka menghilangkan jenuh dengan berkebun atau membuka hutan untuk kebun,” jelasnya.

Baca: Pembangunan Jalan Jantho – Keumala dan Geumpang – Pameu, Walhi Aceh: Pertimbangkan Fungsi Hutan dan Habitat Satwa Liar

 

Kondisi TNGL yang dilihat dari Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terkait perambahan di TNGL, sebelumnya Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL], Sudiro, Kamis [9 April 2020] menjelaskan, kegiatan ilegal masih terjadi di TNGL. Petugas balai taman juga beberapa kali melakukan penertiban dengan melibatkan lembaga penegak hukum.

“Baru-baru ini kami melakukan penertiban illegal logging di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, dan Gayo Lues. Beberapa kasus telah kami serahkan ke pihak kepolisian,” ujarnya.

Saat ditanya apakah terjadinya kegiatan ilegal di TNGL karena kesadaran masyarakat yang masih kurang terhadap pentingnya hutan TNGL, Sudiro mengakui hal tersebut.

“Kurangnya pemahaman masyarakat menjadi penyebab terjadinya kegiatan ilegal. Namun, kami tetap berupaya memberikan pengertian,” tegasnya.

Baca: Laporan RAN: Sawit Ilegal di Rawa Singkil, Diindikasikan Digunakan Perusahaan Makanan Ringan Dunia

 

Jalan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Laporan RAN

Rainforest Action Network [RAN] mengungkap temuan mereka. Ketika dunia terhuyung akibat pandemi corona, RAN menemukan adanya pembukaan hutan KEL oleh perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Timur.

“Tim penyelidik lapangan RAN telah mengungkap adanya aktivitas pembakaran hutan ilegal di wilayah yang sangat penting sebagai habitat gajah sumatera yang tersisa di dunia. Pembukaan lahan dengan cara membakar itu terjadi pada April 2020,” jelas Gemma Tillack, Direktur Kebijakan RAN.

Gemma mengatakan, penggunaan api untuk membersihkan lahan perkebunan merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia, dan pelanggaran terhadap kebijakan nol deforestasi perusahaan produsen makanan dunia.

“Pembukaan dan pembakaran habitat ini terjadi di konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Indo Alam yang diketahui menyuplai minyak sawit kepada merek-merek besar di pasar global. Perusahaan ini terungkap melakukan deforestasi terakhir pada Mei dan Juli 2019,” ungkapnya.

Gemma mengaku, RAN telah meminta perusahaan makanan ringan dunia untuk mengeluarkan PT. Indo Alam dari daftar suplai mereka atas dasar pelanggaran kebijakan Nol Deforestasi. Tujuan ini sebagai langkah membangun sistem pemantauan hutan yang proaktif dan transparan di KEL.

“Lebih 530 hektar hutan hujan dataran rendah terancam di wilayah konsesi PT. Indo Alam. Hingga saat ini lebih 130 hektar hutan di konsesinya ditebang sejak pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium sawit,” jelasnya.

Baca juga: Setahun Kebijakan Moratorium: Sulitnya Benahi Tata Kelola Sawit

 

Degradasi hutan Rawa Singkil yang dibuka untuk kebun sawit. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

Selain pembukaan lahan di KEL wilayah Kabupaten Aceh Timur, RAN juga menemukan pembukaan lahan oleh perusahaan sawit di Kota Subulussalam, Aceh. Hutan Singkil – Bengkung, yang terhubung melalui hutan Soraya merupakan salah satu kawasan penting untuk satwa liar sebagai jalur perlintasan.

“Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di hutan Singkil – Bengkung dilakukan PT. Indo Sawit Perkasa sejak Februari hingga April 2020,” tambahnya.

Gemma mengatakan, perusahaan ini telah membuka hutan sekitar 124 hektar yang berada di konsesinya sejak akhir Februari 2020. Padahal, beberapa peneliti mengungkapkan, deforestasi dan kerusakan lahan untuk perkebunan telah mengurangi habitat satwa liar.

Kondisi ini meningkatkan interaksi antara manusia dengan satwa liar. Faktor-faktor yang berkontribusi pada munculnya zoonosis, penyakit menular disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, dan jamur yang ditularkan hewan ke manusia akan terjadi.

“Selain itu, konflik antara satwa liar dengan menusia akan meningkat,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version