Mongabay.co.id

Pandemi Corona, Waktunya Aksi Nyata Setop Deforestasi dan Perdagangan Satwa

 

 

Saya jadi korban Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Ketika menulis ini, sedang bersembunyi di apartemen saya di New York. Saya merasakan gemetar, sakit kepala, nyeri otot dan persendian yang jadi gejala Corona selama minggu pertama. Ketika tulisan dan penyakit saya berkembang bersamaan, virus menyerang jaringan di sekitar hati saya, mengirim saya ke ruang gawat darurat di rumah sakit terdekat, di mana saya terpisah dari suami dan merenungkan kemungkinan meninggal sendirian ketika menulis surat wasiat saya.

Suami saya, ironisnya adalah pakar kesehatan masyarakat spesialisasi dalam kesiapsiagaan menghadapi pandemi, juga sakit. Dalam keseharian, sementara dia berjuang untuk menyediakan akses lebih baik bagi sistem kesehatan yang dapat menyelamatkan nyawa warga termiskin dan paling rentan di dunia, saya mencoba melindungi hutan hujan. Saya investigasi dengan penyamaran kasus-kasus deforestasi, dalam kampanye meminta pertanggungjawaban perusahaan besar atas peran mereka dalam menghancurkan alam.

Infeksi ini membuat saya merefleksi, bagaimana pekerjaan saya dan suami yang bersinggungan: penghancuran hutan di planet-planet dan makhluk-makhluk di dalamnya sedang menyiapkan kita untuk menghadapi satu demi satu pandemi.

Kebanyakan epidemi, seperti yang selalu diingatkan oleh suami saya, dimulai dengan zoonosis’: ketika suatu penyakit membuat lompatan dari tempat penampungan hewan ke manusia.

CDC memperkirakan, tiga perempat penyakit menular manusia berasal dari satwa liar – mungkin ada 1,6 juta potensi virus zoonosis. MERS kemungkinan berasal dari unta dromedaris; campak dan TB dari sapi, AIDS dari primata, flu burung dari burung. Sekitar 99,8% genom SARS serupa dengan Coronavirus musang (banyak musang dibantai setelah SARS melanda. “Flu Spanyol” tahun 1918, diduga dari peternakan babi midwestern Amerika Serikat. Setelah dilacak, COVID-19 tampaknya berasal dari kelelawar melalui trenggiling.

Dalam kasus saya, saya terjangkit COVID-19 karena suami mencium saya. Dia tertular virus karena interaksi dengan orang lain yang sudah terjangkit; rantai infeksi menelusuri kembali ke “pasar basah” Tiongkok di mana trenggiling yang dianggap berharga dijual setelah direnggut dari rumahnya di hutan.

Kalau ada yang pernah berpikir masalah kesehatan dan lingkungan tak terhubung, mereka harus berpikir ulang. Deforestasi dan perdagangan satwa liar adalah persis bagaimana kita masuk ke dalam pandemi global COVID-19 ini.

 

Kelelawar. Dengan memburu, merusak habitat  dan mengkonsumsinya, mendekatkan manusia pada penularan virus dari satwa ke manusia . Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Makin kita merambah hutan, makin besar kemungkinan manusia akan kontak langsung dengan hewan-hewan yang sebelumnya tak terganggu manusia. Mereka memiliki patogen yang berpeluang mengincar korban baru yaitu, manusia. Ketika kita menghancurkan hutan, penghuninya terpaksa mencari tempat baru dan akhirnya kontak langsung dengan manusia. Saya telah menyaksikan langsung makhluk yang kehilangan arah, tersesat, dan tidak memiliki ‘rumah’ akan putus asa mencari rumah baru bahkan di daerah di mana banyak manusia.

Kedekatan baru ini membuka peluang patogen hewan liar melompat dari satwa liar ke manusia. Saya sudah mendokumentasikan kehancuran hutan hujan yang ditebang dalam skala besar untuk komoditas pertanian, dan melihat keganasan terhadap hewan liar. Perburuan liar, perdagangan, dan konsumsi satwa liar seperti hanya berjudi untuk zoonosis berulang lagi.

Saat ini, kita dapat menyelamatkan diri dengan saling menjaga jarak, mencuci tangan, dan mencari bantuan medis untuk menyelamatkan jiwa. Untuk ke depan, langkah penting harus diambil manusia guna melindungi diri dari pandemi baru dan harus jadi larangan total terhadap perdagangan satwa liar di seluruh dunia. Juga mendesak mengakhiri penggundulan hutan tropis.

Sayangnya, Presiden Trump tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan luar biasa dalam mengelola tes massal (saya dan suami di New York, seminggu pergi mencari tetapi tidak berhasil mendapatkan tes) dan kesiapsiagaan pandemi lain, serta pemerintahan juga mendukung kehancuran hutan global. Dengan melakukan itu, Trump dan pengikutnya telah menciptakan kondisi sempurna agar pandemi seperti COVID-19 dapat menyerang kita lagi.

Setiap negara harus melangkah memperjuangkan jalan jelas mengakhiri semua perdagangan satwa liar pada konferensi PBB berikutnya yang berkaitan dengan Konvensi Keragaman Hayati. Saya berharap, perwakilan dari hampir 200 negara di sana akan menyadari, mereka dapat simultan melindungi manusia dari pandemi, dan spesies hewan seperti trenggiling dari kepunahan massal-melalui larangan kuat terhadap perdagangan satwa liar, yang tampaknya harus oleh dilakukan Vietnam dan Tiongkok.

Mengakhiri perdagangan hewan juga tidak ada guna kalau rumah hutan hewan hancur, membuat mereka melarikan diri ke halaman belakang rumah penduduk. Kita harus melangkah lebih jauh dan menyatakan penghentian deforestasi untuk pertanian di komoditas paling merusak dunia, peternakan sapi, kedelai, minyak sawit, karet, kopi, dan kakao. Ini akan jadi respons yang berani dan cerdas untuk menghalau pandemi seperti COVID-19.

Kalau Anda pikir upaya ini mahal, mari merenungkan kemungkinan kerugian finansial yang menimpa kita semua dari pandemi yang sedang terjadi ini. Satu sen pencegahan bernilai sama satu juta penyembuhan. Ini terutama berlaku untuk musim panas mendatang.

 

Konsesi PT MAS di Desa Sipik, Muarojambi, pasca sebulan terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Setiap musim panas, area besar pada hutan Amazon dan hutan Indonesia dibakar dan terjadi kebakaran hutan, sebagian besar didorong industri daging sapi, kedelai, dan minyak sawit.

Ketika hutan terbakar, kabut asap beracun keluar dalam jumlah yang bahkan bisa dilihat dari luar angkasa. Pada 2015, kabut beracun dari kebakaran gambut dan hutan di Indonesia menyebabkan sekitar 100.300 kematian prematur dan menyebabkan 69 juta orang terkena polusi udara tak sehat.

Apa yang akan terjadi ketika infeksi pernapasan memuncak dari COVID-19, pada saat yang sama ketika kabut asap menyebar di Amazon dan Asia Tenggara, dalam sistem kesehatan yang rapuh? Ilmuwan Harvard baru-baru ini menerbitkan studi baru untuk Amerika Serikat yang menghubungkan polusi dengan tingkat kematian COVID-19. Kalau saya berada di dekat api kebakaran hutan, saya tidak yakin paru-paru dan jantung saya yang sudah bekerja berat bisa mengatasinya. Saya mungkin saja mati.

Jawaban cerdas bagi para pemimpin politik dan perusahaan dunia adalah kebijakan nol-pembakaran hutan langsung yang ketat diberlakukan. Membatasi paparan terhadap hewan “eksotis” dan melindungi rumah mereka di hutan adalah kuncinya, tetapi kami mengabaikan risiko transmisi dari hewan domestik “konvensional”.

Sistem pangan dunia harus direformasi agar membuat planet kita lebih aman dari pandemi. Kalau perburuan satwa bak menggulung dadu terus mengintai nyawa kita, peternakan adalah Russian roulette (bertaruh pada bisnis yang berisiko atau berpotensi merusak). Dengan sering menernakkan burung dan babi dalam kondisi tak higienis, kondisi penuh sesak, tidak heran mereka sakit, atau flu burung dan flu babi kadang-kadang lepas kendali dengan kecepatan luar biasa, ketika patogen dengan cepat bergabung kembali dan bermutasi jadi virus baru.

 

Etelle Higonnet, Foto: penulis

 

Dengan 3/4 antibiotik yang diberikan setiap tahun kepada hewan penghasil makanan di Amerika Serikat, kita berada pada jalur untuk terkena wabah serius dimana penyakit jadi resistan terhadap obat, seperti bakteri pemakan daging yang dapat melompat dari hewan ke manusia. Industri daging pada dasarnya menyediakan patogen, di mana mereka berpeluang bermutasi dan menyebar, dalam kontak dekat dengan manusia. Secara kebetulan, industri daging kita juga salah satu pendorong utama deforestasi global, yang membawa kita kembali ke siklus sama.

Solusi dan gaya kepemimpinan untuk tantangan ini bisa melibatkan pemberian insetif kepada industri daging dengan syarat memberikan uang kepada peternak kecil, bukan para miliarder. Peternak kecil memilih menjalankan peternakan dengan hewan lebih sedikit yang lebih aman. Kita membutuhkan ‘jarak sosial’ untuk hewan ternak-yaitu lebih banyak ruang, tidak padat, peternakan lebih kecil, ruang lebih bersih di mana hewan tidak berkubang dalam kotoran dan masuk kotoran mereka sendiri (sering kali adalah penyebab awal dari virus itu sendiri). Juga membantu setiap petani yang bersedia untuk beralih dari peternakan. Wortel tidak akan pernah memberi kita Coronavirus, dan tidak ada risiko “flu brokoli.”

COVID-19 menunjukkan, betapa eratnya hubungan sosial kita terjalin. Menginfeksi satu orang dapat dengan cepat membuat jutaan orang sakit. Kita manusia menang atau kalah bersama. Virus tidak mengikuti batas antar negara. Mereka tak terbatas pada satu spesies.

Nasib manusia kini menjelaskan, keterkaitan manusia dengan alam. Saya berharap, Ccoronavirus dapat mengajar kita membuka hati, untuk mencintai bumi, dan memahami bahwa memperlakukan satu bagian dari planet ini dengan cara yang semena-mena dapat membahayakan seluruh umat manusia.

Mimpi saya saat demam terus bergema, tetapi saya hampir dapat mendengar bisikan hutan di dunia: jika kita terbakar, kau terbakar bersama kami.  

 

* Etelle Higonnet,  penulis adalah Direktur Kampanye Senior Mighty Earth, organisasi kampanye lingkungan global, tempat dia berjuang untuk mereformasi industri minyak sawit, karet, kedelai, dan kakao. Dia baru-baru ini dinobatkan sebagai Chevalier dari National du Mérite Ordre Prancis (National Order of Merit) atas karyanya untuk melindungi lingkungan. Tulisan ini adalah opini dan tidak mencerminkan pandangan Mongabay.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: As a campaigner againts deforestation, almost dying of COVID-19 was ironic.  Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

***

Keterangan foto utama: Hutan, rumah hidup satwa dan wilayah ulayat orang Papua di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

Exit mobile version