Mongabay.co.id

Banjir di Siberut, Izin Pengusahaan Hutan Harus Ditinjau Ulang

 

 

Banjir melanda lima kecamatan di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dua rumah dilaporkan hanyut dan 1.796 rumah terendam banjir hingga 2,5 meter, akibat hujan deras yang turun sejak Kamis [30/4] hingga Jumat [01/5/2020].

Berdasarkan data sementara Pusdalops Mentawai, lima kecamatan tersebut adalah Siberut Barat, Siberut Utara, Siberut Tengah, Siberut Selatan, dan Siberut Barat Daya. Sedikitnya, 12 desa terdampak langsung bencana ini.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai menetapkan status tanggap darurat bencana selama 10 hari, terhitung Jumat hingga Minggu [10/5/2020].

Wakil Bupati Mentawai, Kortanius Sabeleake, sebagai Ketua Tim Tanggap Darurat Penanganan Banjir menyebutkan, banjir mulai surut dan sebagian masyarakat terdampak sudah pulang, meski sebagian masih mengungsi. Perekonomian masih lumpuh, ladang dan lahan pertanian terendam.

“Jembatan penghubung terbenam,” kata Kortanius Sabeleake saat dihubungi Mongabay, Rabu [06/5/2020].

Untuk mobilitas, sebagian masyarakat menggunakan sampan atau perahu kayu. “Bantuan sudah kami serahkan, Senin [04/5] pagi, menggunakan sampan. Pendistribusian hingga ke kampung-kampung, sehingga tim harus bermalam di lokasi. Selain makanan, masyarakat juga membutuhkan selimut, tikar, dan kelambu. Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit sudah meninjau lokasi, Rabu,” ujarnya.

Baca: Nasib Siberut Utara Kala Hutan di Hulu Terus Tergerus

 

Banjir di Siberut awal Mei 2020 yang menyebabkan ribuan rumah terendam dan masyarakat harus mengungsi. Foto: Istimewa

 

Banjir terbesar

Kortanius menambahkan, banjir ini termasuk yang terparah sejak 1986. Saat ditanya apakah penyebabnya, dia menyatakan, selain curah hujan tinggi, kemungkinan lain adanya pembukaan hutan yang masif di Pulau Siberut.

“Tidak dipungkiri wilayah terparah adalah di Siberut Utara. Di sini paling banyak izin hak pengusahaan hutan [HPH] dan hutan tanaman industri [HTI] dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Namun apakah ini penyebab utamanya harus ada kajian lebih lanjut, dan kami belum sampai ke sana,” jelasnya.

Selain izin-izin perusahaan kayu, menurut Kortanius seiring mulai terbukanya akses jalan, penduduk sekitar Siberut juga mulai membuka lahan untuk berkebun.

“Masyarakat sudah bisa menjual hasil kebun berupa pinang dan pisang keluar Mentawai. Apakah itu juga menjadi dampak, belum ada kajian. Tapi menurut masyarakat dua hari berturut-turut hujan terjadi,” terangnya.

Kepala Dusun Sirisurak, Abilon Sabeilai, mengatakan banjir kali ini yang terbesar. “Isi rumah dan tempat tidur terendam. Tidak ada korban jiwa, namun ternak banyak hanyut,” katanya seperti dikutip MentawaiKita.com, Sabtu [02/5/2020].

Hingga dua hari menjelang berakhirnya tanggap darurat banjir, data kerugian bencana belum diterima pemerintah desa. “Belum ada yang masuk datanya di kecamatan hingga hari ini,” kata Sekretaris Camat Siberut Utara, Immanuel, masih dikutip dari MentawaiKita.com, Jumat [08/5/2020].

Baca juga: Made in Siberut, Elegi Kedaulatan Pangan di Mentawai

 

Rumah masyarakat terendam akibat banjir yang terjadi awal mei di Siberut. Foto: Fredianes

 

Bukan kali ini banjir

Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah [RTRW] Mentawai, daerah-daerah yang mengalami banjir sudah dikategorikan wilayah dengan risiko sedang dan tinggi. “Selain sifatnya yang alami, kejadian tersebut tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang,” kata Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai [YCMM], Rifai Lubis dalam keterangan tertulisnya kepada Mongabay, Selasa [05/5/2020].

Tidak tepatnya model pemanfaatan hutan untuk daerah tersebut, membuat Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai akan memasukkan dalam skema perhutanan sosial. “Namun RTRW ini kandas, karena adanya izin HPH dan HTI,” jelasnya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan YCMM, banjir ini akibat meluapnya sungai-sungai di hulu dan daerah tangkapan air yang telah mengalami eksploitasi hutan [kayu]. Daerah hulu Sungai Siberut [Sarereiket dan Silakoinan] yang menyebabkan banjir di Rogdok/Madobag dan Salappak merupakan bekas konsesi HPH PT. CPPS.

Daerah hulu dan tangkapan air Sungai Sikabaluan di Siberut Utara yang menyebabkan banjir di Bojakan, Sotboyak, Monganpoula, dan Sikabaluan merupakan daerah konsesi HPH Salaki Summa Sejahtera yang masih beroperasi.

Banjir dari air sungai yang menggenangi Dusun Simoilaklak dan Sirisurak di Desa Saibi, Kecamatan Siberut Tengah merupakan daerah tangkapan air yang bagian wilayah konsesi HPH Koperasi Andalas Madani.

“Kini, di daerah itu terbit izin baru untuk HTI PT. Biomas Andalan Energi. Sementara di daerah Malancan yang salah satu dusunnya juga mengalami banjir, dulu bekas konsesi IPK KUD Sikabaluan dan IPK KSU Mitra Sakato dengan luas 1.200 hektar,” sebutnya.

 

Kayu besar di hutan Siberut Utara yang menjadi incaran perusahaan kayu. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Secara alamiah, wilayah tersebut rawan banjir. Mitigasi perlu dilakukan, tidak boleh terjadi deforestasi. Tidak boleh ada juga bukaan lahan skala luas. “Ini model pemanfaatan alam yang harus didukung, “Tinungglu” sebagai sistem agroforestry khas masyarakat adat Mentawai,” ujarnya.

Atas kejadian ini YCMM, menurut Rifai, menegaskan tiga hal. Pertama, Pemerintah/KLHK harus menarik izin pemanfaatan hutan yang sudah dikeluarkan. Kedua, Pemerintah/KLHK meninjau ulang kelayakan izin HTI PT. Biomas Andalan Energi. Ketiga, Perusahaan pemegang izin, juga bisa mengembalikan izin yang sudah diperoleh, sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap alam, lingkungan, dan masyarakat.

 

Peta konflik ruang hidup Masyarakat Adat Siberut menurut Yayasan Citra Mandiri Mentawai.  Sumber: YCMM

 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Iindonesia [WALHI] Sumatera Barat, Chaus Uslaini mengatakan, kebijakan pemerintah khususnya kehutanan di Kabupaten Kepulauan Mentawai sejak puluhan tahun lalu terbukti belum berpihak pada lingkungan dan masyarakat.

Kepulauan Mentawai dengan karakter wilayah basah, dilalui banyak aliran sungai dengan pemukiman warga, sangat potensial terhadap ancaman banjir. Kerusakan wilayah hulu karena perambahan sangat mempengaruhi kemampuan wilayah ini menghadapi tingginya curah hujan.

“Bahkan, saat masyarakat dan alam sudah mulai memulihkan diri setelah berakhirnya operasional Koperasi Andalas Madani, malah diterbitkan izin IUPHHK HTI untuk PT. Biomas Andalan Energi, atas nama pengembangan energi terbarukan. Untuk suply listrik biomassa. Pemberian izin pembukaan kawasan hutan ini jelas tidak mempertimbangkan keselamatan masyarakat dan lingkungan,” tegasnya kepada Mongabay, Rabu [06/5/202].

 

 

Exit mobile version