Mongabay.co.id

Menakar Penghapusan SVLK untuk Produk Kayu Ekspor Indonesia

Baru-baru ini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag RI Nomor 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Ketentuan baru tersebut tidak lagi mewajibkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk industri kayu ekspor.

Di dalamnya, isi aturan Permendag ini hanya memuat ketentuan verifikasi teknis terkait kayu yang bakal diekspor, seperti tingkat olahan, ketebalan, dan luas penampang kayu.

Sementara dalam ketentuan sebelumnya, -yaitu Permendag RI Nomor 84/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, Ekspor Produk Industri Kehutaan yang termasuk kelompok A (dalam Lampiran Permendag Nomor 84/2016 terdapat 52 jenis produk kayu kelompok A, salah satunya untuk perabotan kayu) wajib dilengkapi dengan dokumen V-Legal yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu.

Dokumen V-legal (Verified Legal) sebagaimana dimaksud pun digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean ekspor kepada kantor pabean.

Baca juga: Aturan Ekspor Kayu Tanpa Verifikasi Legal Ancam Tata Kelola Hutan

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), merupakan organisasi yang aktif mendorong penghapusan SVLK ini sejak empat tahun belakangan (himki-indonesia.com, 26/3/2020).

Dalam pandangannya, HIMKI menilai SVLK dengan skema mandatory telah menjadi penghambat utama dan tidak kompetitifnya industri mebel dan kerajinan nasional. HIMKI melakukan lobi dan bahkan menyurati presiden.

Sejak SVLK diterapkan dari hulu ke hilir dalam industri perkayuan, berbagai aturan ganda seperti SVLK membuat harga produk Indonesia lebih mahal di pasar ekspor, yang pada akhirnya melemahkan daya saing industri mebel dan kerajinan Indonesia.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Hubungan Antarlembaga HIMKI Abdul Sobur menjelaskan, untuk mengurus sistem SVLK, pelaku usaha harus menggelontorkan sekitar Rp40 juta per perusahaan per tahun.

Namun sulit untuk mendapat data pendukung tesis bahwa SVLK melemahkan daya saing industri mebel dan kerajinan Indonesia seperti yang diklaim oleh pihak HIMKI.

 

Kayu jati gelondongan yang berada di tempat pemotongan kayu di Bantul, Yogyakarta. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Nilai Produk Kayu Asal Indonesia

Dilansir dari Majalah Tempo (4/4/2020), Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor furnitur Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2019 mencapai USD 1,95 Milyar –naik 14,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada periode yang sama nilai ekspor industri kerajinan pun naik 3 persen menjadi USD 892 juta.

Data Kementerian Perdagangan sendiri menyebutkan antara tahun 2013 hingga 2019 nilai perdagangan kayu Indonesia terus mengalami peningkatan. Dari angka USD 6 milyar pada tahun 2013 menjadi USD 11,62 milyar pada tahun 2019.

Jika dikalkukasikan pertumbuhan nilai produk sejak tahun 2013, -tahun dimana SVLK efektif diterapkan (atau empat tahun paska pengesahan di tahun 2009), hasil produk kayu telah menyumbangkan ekspor produk kayu sebesar USD 68,37 milyar.

Dari data-data tersebut terlihat bahwa klaim SVLK menghambat perkembangan industri mebel tidak berbasiskan data pendukung. Sebaliknya, data official yang ada malah menunjukkan fakta sebaliknya.

Tak ayal, asosiasi lain di bidang yang sama malah berbeda pandangan dengan HIMKI. Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyatakan bahwa pemerintah harus konsisten dalam menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai bentuk tata kelola hutan yang baik (Bisnis.com 12/9/2019).

 

Kilas Balik SVLK

Sebagaimana diketahui, SVLK mulai disahkan sejak Juni 2009. Saat itu, MS Kaban yang menjabat sebagai Menteri Kehutanan, menyetujui usulan para pihak terkait Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PKPHL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK).

Dalam audit sistem ini, bahan baku atau kayu disebut legal apabila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.

Seluruh aturan ini pun disusun tidak dilakukan secara sepihak, namun bersama para pemangku kepentingan yang bekerja bersama memuat dan merumuskan standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian yang disepakati para pihak.

Baca juga: Pelaku Usaha Kayu Belum Maksimal Terapkan SVLK, Apa Kendalanya?

Sejak itu, PKPHL dan VLK menjadi mandatory standard dalam pengelolaan Hutan dan Hasil Hutan Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Meski pemberlakuannya baru dilakukan pada tahun 2013, menunggu kesiapan dari para pengusaha saat itu.

Dalam perkembangannya, dilakukan beberapa kali revisi peraturan. Peraturan berlaku termutakhir terkait implementasi PKPHL dan SVLK pada pemegang izin atau pada hutan hak adalah Permenhut RI Nomor 43/2014 bertalian dengan Permenhut RI Nomor 95/2014 serta Perdirjen Bina Usaha Kehutanan P.14/2014 juncto P.1/2015.

Dalam perkembangannya, SVLK hadir sebagai sebuah sistem yang bersifat wajib untuk memastikan dipenuhinya semua peraturan terkait dengan peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia. Dalam perdagangan keluar/izin ekspor produk kayu, sistem ini mensyaratkan penggunaan Dokumen V-Legal.

Dilansir dari Sistem Informasi Legalitas Kayu Dephut.go.id, dikatakan bahwa dengan adanya dokumen V-Legal pada produk kayu, konsumen di luar negeri pun tak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia.

Dengan SVLK, para petani dari hutan rakyat dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tak perlu risau hasil kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual. Para produsen mebel pun akan semakin yakin akan legalitas sumber bahan baku kayu sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri.

Kehadiran SVLK juga melengkapi upaya penindakan hukum (represif) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan kuratif ini, perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak, lewat sistem yang dipercaya kredibilitas implementasinya.

 

Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Indonesia

Bagi Indonesia memberlakukan sertifikat legalitas dalam penerapan SVLK adalah langkah awal bertahap untuk menuju ke sertifikat pengelolaan hutan lestari (sustainability) secara menyeluruh.

SVLK pun dikembangkan di tengah tren iklim dunia dalam perdagangan kayu yang legal. Pemerintah di beberapa negara importir pun telah memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor.

Kita mengenal beberapa sistem yang sekarang telah diimplementasikan di berbagai negara. Seperti Lacey Act (AS), Timber Regulation (Uni Eropa), Illegal Logging Prohibition Act (Australia), dan Green Konyuho (GoHo Wood) di Jepang.

Inti dari semua aturan di berbagai negara tersebut, semua produk kayu dan bahan bakunya harus diperoleh atau berasal dari sumber yang jelas asal-usulnya, pengelolaannya memenuhi aspek legal industriya, legal bahan bakunya, bersih alur produksinya, lengkap dokumen pemasarannya, terjamin keselamatan, serta terpenuhinya hak-hak para tenaga kerjanya.

Di bawah SVLK, seluruh operasi ekspor produk kayu ini telah mencapai penjaminan kepatuhan terhadap standar legalitas. Mulai dari pasokan bahan mentah, proses di  pabrik, hingga ke praktik dagang.

Sistem berlapis yang dilakukan dari industri hulu ke hilir perkayuan diharapkan mampu mendorong tata kelola hutan yang lebih baik dengan meminimalisir celah bagi kayu ilegal masuk dan diperjualbelikan. Termasuk didalamnya, pemanfaatan kayu oleh sumber-sumber yang tidak sah menurut hukum untuk menarik keuntungan.

Indonesia yang telah mengikatkan diri dengan perjanjian internasional untuk meredam laju pemanasan global dan perubahan iklim, dapat berkontribusi lewat penghentian laju penebangan dan perdagangan kayu illegal. Hal ini sekaligus merupakan upaya mendukung terwujudnya komitmen Indonesia dalam kesepakatan di tingkat dunia itu.

 

Marlis Kwanpenulis adalah peneliti di Fair Business for Environment. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version