Mongabay.co.id

Untuk Kasus Orangutan Tapanuli, Apakah Kita sedang Mengabaikan Sains?

Kabar buruk itu datang baru-baru ini. Saat satu individu orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) penuh luka berbelatung dijumpai tak jauh dari lokasi proyek PLTA Batang Toru.  Orangutan ini ditemukan saat berada di perkebunan warga di Desa Aek Batang Paya, Sipirok.

Kasus ini bukanlah yang pertama kali ditemukan sejak orangutan tapanuli diidentifikasi sebagai spesies baru.

Sebelumnya, dalam laman instagram Indoflashlight diperlihatkan video orangutan tapanuli yang hendak diamankan di lokasi proyek PLTA. Video itu sempat direspon oleh Triawan Munaf, mantan kepala Badan Ekonomi Kreatif, yang menyebutkan kasus itu masih dan akan tetap dimonitoring oleh patroli KLHK sejak Oktober 2018.

Kasus keluarnya orangutan dari habitatnya yang terganggu diperkirakan kedepannya akan terus berjalan, meski perusahaan pembangun PLTA (PT NSHE) telah melakukan serangkaian pelatihan kader konservasi untuk orangutan di sekitar proyek PLTA Batang Toru.

Baca juga: Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya

Mengacu pada teori Van Schaik (2004), -terkait kehilangan habitat, perlu menjadi perhatian, Khususnya untuk orangutan betina yang secara filopatrik cenderung tidak bergerak ketika mereka kehilangan bagian dari wilayah jelajah mereka. Orangutan betina ini amat berisiko kelaparan atau terbunuh ketika ini terjadi.

Lalu bagaimana nasib orangutan tapanuli kedepannya?

 

Peta keterancaman orangutan tapanuli. Sumber: The Tapanuli orangutan: Status, threats, and steps for improved conservation

 

Habitat Makin Menyempit

Habitat orangutan tapanuli sekarang berada di tiga blok hutan terpisah. Masing-masing Batang Toru Blok Barat, Batang Toru Blok Timur dan Sibual-buali. Hutan Batang Toru blok Barat adalah habitat Orangutan Tapanuli yang paling viable (layak dengan indikator populasi dianggap mampu bertahan jangka panjang jika tidak ada gangguan) sedangkan dua blok hutan lainnya sudah non viable.

Berkaca dari sejarah perjalanan waktu, habitat orangutan tapanuli pernah eksis di rawa gambut di sekitar pantai barat yang telah menghilang akibat perubahan fungsi lahan. Tidak menutup kemungkinan, orangutan yang tersisa akan bernasib sama, menyusul orangutan rawa gambut yang telah punah. Secara khusus, saat kita tidak bijak dalam membuat keputusan.

Ancaman terhadap masa depan orangutan tapanuli sangat beragam. Mulai dari perburuan (yang sudah lama berlangsung), industri pertambangan, perkebunan hingga pembangkit listrik. Semuanya menyebabkan hilangnya habitat asli yang berujung pada konflik manusia dengan orangutan.

Para ilmuwan terkemuka di dunia jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa dengan adanya proyek PLTA Batang Toru maka akan membawa dampak signifikan terhadap keberadaan orangutan tapanuli.

Yang menjadi perhatian para ahli adalah fragementasi habitat, pembukaan ruang tempat hidup mereka untuk berbagai kepentingan proyek, seperti jalan. Sebuah analisis ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa orangutan tapanuli hanya dapat bertahan hidup di mana tidak ada jalan akses.

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

 

Nature based Solutions

Indira Nurul Qomariyah dari Center of Orangutan Protection (COP) mengatakan dengan semakin berkurangnya orangutan maka juga akan mengancam ekosistem hutan. Menurutnya, keberadaan orangutan adalah penanda keberlangsungan kehidupan di hutan.

Jika PLTA Batang Toru mengklaim upaya mitigasi perubahan iklim dari sisi energi, maka yang lebih penting untuk diketahui adalah jauh sebelum hadirnya proyek PLTA, telah ada fungsi Hutan Batang Toru dimana orangutan tapanuli adalah bagian dari kesatuan di dalam ekosistemnya.

Orangutan tapanuli besar kaitannya dengan masa depan peradaban Orangutan menjadi indikator keberlangsungan hidup di hutan. Apalagi saat masyarakat dunia kini amat khawatir dengan permasalahan perubahan iklim.

Dalam dunia konservasi, upaya mitigasi perubahan iklim ini dikenal sebagai nature based solutions yaitu upaya  mempertahankan maupun menambah hutan dan keragaman hayati di dalamnya untuk memitigasi perubahan iklim.

Jika PLTA Batang Toru ada, maka yang perlu dihitung adalah berapa nilai nature based solutions yang hilang akibat proyek. Indikatornya adalah keberadaan orangutan dan berbagai keragaman hayati yang ada di dalam hutan di masa mendatang.

Kenyataannya, saat proyek proyek PLTA berlanjut, dengan lebih dari 400 hektar lahan masyarakat dan habitat satwa yang akan dibuka. Diakui, bahwa energi terbarukan memang sangat penting, tetapi untuk kasus mitigasi perubahan iklim di Batang Toru sepertinya sudah ada nature based solutions dan sudah ada potensi dari Gheotermal Sarulla yang bisa dimaksimalkan hingga 1000 MW.

Seperti mengutip dari pernyataan pakar ekologi hutan Bill Laurance dari Alert sebagai berikut:

“Ini bukan masalah pembangunan versus konservasi. Sumatera Utara dapat memiliki peningkatan listrik dan masa depan bagi orangutan Tapanuli — [ancaman dapat dihentikan] hanya jika Bendungan Batang Toru dihentikan sebelum terlambat. Proyek PLTA hanya akan menghasilkan pasokan energi sederhana (510 mega-watt), yang dapat dengan mudah dihasilkan melalui perluasan PLTPB Sarulla di dekatnya.”

Berkaca dari kasus Orangutan Tapanuli yang ditemukan terluka dengan belatung di dekat lokasi proyek PLTA, apakah kita masih akan mengabaikan apa yang dikatakan oleh para ilmuwan?

Politikus dan para perancang kebijakan kita, sudah seharusnya mengambil keputusan dengan mengikuti sains. Ini bukan hanya untuk Batang Toru sekarang ini, tetapi juga untuk anak cucu kita, generasi penerus di masa depan. Resiko kehilangan orangutan tapanuli dan kehilangan keragaman hayati sebagai indikator keberlangsungan hutan apakah sebanding dengan 510 MW Energi bersih?

Sangat disayangkan jika para pembuat keputusan mengabaikan apa kata ilmuwan, sementara itu diseluruh dunia sedang berbondong-bondong dalam gerakan united behind the science.

Orangutan yang ditemukan dengan luka-luka di sekitar proyek PLTA telah menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia. Ini bisa jadi permulaan dan tidak menutup kemungkinan kedepan akan muncul kasus-kasus serupa.

Ingatlah apa yang dikatakan oleh pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati”, atau taruhannya kita akan kehilangan semuanya untuk selamanya.

 

* Arrum Harahap, penulis adalah pemuda pegiat lingkungan-iklim dari Tapanuli. Ia juga pengurus di Youth For Climate Change Sumatera Utara. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version