Orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis], yang hidup di Ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, resmi dinobatkan sebagai jenis baru, November 2017. Hasil penelitian Alexander Nater et al, berjudul “Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a New Orangutan Species” yang dipublikasikan di Jurnal Current Biology menasbihkan temuan yang diteliti sejak 1997 tersebut.
Orangutan tapanuli menjadi jenis ke tiga yang hidup di Indonesia, selain orangutan sumatera [Pongo abelii] dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus].
Pemerintah Indonesia telah menetapkan orangutan tapanuli sebagai spesies dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No.P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Melalui SK No.308/MENLHK/KSDAE/ KSA.2/4/2019 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia Tahun 2019-2029 yang diluncurkan 12 Agustus 2019, Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan rencana aksi pelestarian orangutan tapanuli sebagai target prioritas nasional.
Bagaimana kondisi orangutan tapanuli saat ini?
Haryanto R. Putro, Sekretaris Umum Kelompok Kerja Nasional Pengelolaan Lansekap Batang Toru Berkelanjutan, yang merupakan tim penulis Buku “Ekologi Orangutan Tapanuli” mengatakan, pentingnya kolaborasi melestarikan orangutan tapanuli adalah langkah kunci yang diperlukan untuk menjaga jenis ini.
“Gambaran state of the art penelitian orangutan tapanuli harus terus dilakukan, jangan berhenti,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Senin, 28 Oktober 2019.
Berikut terangkum 7 fakta unik orangutan tapanuli yang disarikan dari Buku “Ekologi Orangutan Tapanuli” terbitan Kelompok Kerja Pengelolaan Lansekap Batang Toru Berkelanjutan, IPB 2019.
Mengejutkan
Orangutan tapanuli, sebelum diumumkan sebagai jenis baru, sejatinya sudah dikenal masyarakat setempat dan juga para peneliti orangutan di Sumatera. Tidak ada yang menyangka bila spesies yang telah dipublikasikan lebih seabad ini merupakan jenis berbeda dari dua jenis orangutan yang ada.
Orangutan tapanuli hidup pada habitat sangat terbatas, dalam areal sekitar 132 ribu hektar di bentang alam Batang Toru dan beberapa habitat lain yang terus diteliti. Kondisi habitatnya juga terpisah, karena faktor alam maupun akibat pembangunan wilayah.
Perbedaan Jumlah
Dugaan angka populasi orangutan tapanuli masih ada perbedaan. Penelitian Nater et al, 2017 menyatakan kisaran 800 individu, sementara Kuswanda [2018] memprediksi antara 495-577 individu.
Pemerintah Indonesia dalam Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Orangutan 2019- 2029, menggunakan angka 577-760 individu, di habitat seluas 1.051,32 kilometer persegi yang tersebar pada dua metapopulasi. Lokasi itu adalah Batang Toru Barat dan Batang Toru Timur [Sarulla Timur].
Berdasarkan habitat potensial orangutan tapanuli tersisa, diperkirakan sekitar 34% berupa hutan primer, 52% hutan sekunder, dan 14% merupakan tutupan lahan lain.
Sementara dari sisi fungsi kawasan, sekitar 7 % habitat orangutan tapanuli berada di cagar alam yang wilayah pengelolaan dibawah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Provinsi Sumatera Utara. Berikutnya, 64% berada di hutan lindung dan 4% di hutan produksi yang pengelolaannya berada di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah X Padangsidimpuan dan Wilayah XI Pandan. Sisanya, 25% di areal penggunaan lain yang dikelola pemerintah daerah kabupaten dan masyarakat.
Jenis Berbeda
Orangutan tapanuli awalnya diduga sebagai populasi orangutan paling selatan dari spesies orangutan sumatera [Singleton et al. 2004]. Studi genetik lebih lanjut yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan mendasar dengan orangutan yang berada di utara Danau Toba, sehingga dapat dinyatakan sebagai sub-spesies baru untuk spesies orangutan sumatera atau Pongo abelii tapanuliensis [Rianti 2015].
Namun, berdasarkan penelitian lebih mendalam, secara taksonomi, orangutan tapanuli lebih dekat dengan orangutan kalimantan. Dengan begitu, populasi orangutan sumatera di Batang Toru dinyatakan sebagai spesies baru bernama Pongo tapanuliensis [Nater et al. 2017].
Berdasarkan studi filogenetik menggunakan analisis komponen utama dan model genetik populasi, pada sampel genetik 37 orangutan liar dan analisis morfologi kerangka 34 jantan dewasa orangutan sumatera dan orangutan kalimantan, hasilnya menunjukkan bahwa populasi orangutan di Batang Toru memang merupakan spesies berbeda.
Gen Terpisah
Orangutan tapanuli berdasarkan gen mitokondria diperkirakan telah terpisah dengan garis keturunan orangutan sumatera dan orangutan kalimantan sejak 3,5 juta tahun silam.
Isolasi terjadi setelah terjadinya erupsi Danau Toba yang mengakibatkan kekhususan mutasi gen dan peningkatan alel orangutan tapanuli.
Berdasarkan data mikrosatelit autosomal, keanekaragaman alel [gen yang memiliki lokus [posisi pada kromosom] yang sama, genom DNA mikondria, dan mitokondria HVR-I menunjukkan bahwa orangutan tapanuli merupakan spesies orangutan paling terisolasi di Sumatera.
Hal ini menunjukkan bahwa populasi orangutan di Batang Toru berbeda dengan populasi orangutan yang ada di Sumatera keseluruhan dan Kalimantan.
Berdasarkan DNA mitokondria, orangutan betina di Batang Toru memiliki kekerabatan lebih dekat dengan orangutan kalimantan dibandingkan orangutan sumatera.
Rambut Tidak Sama
Rambut orangutan dapat digunakan sebagai pembeda. Secara umum, orangutan tapanuli lebih mirip dengan orangutan sumatera dalam hal bentuk tubuh, warna, dan banyaknya rambut.
Orangutan tapanuli memiliki rambut lebih panjang dan lebat sehingga bagian ujung rambut cenderung keriting. Umumnya, betina dan jantan dewasa memiliki rambut yang tumbuh mulai dari atas bibir sampai dagu. Sementara, kepala orangutan tapanuli lebih kecil dan bentuk wajahnya lebih rata.
Pohon Sarang
Pohon yang dijadikan sarang orangutan tapanuli di Batang Toru diperkirakan sebanyak 91 jenis, terdiri 27 famili. Fagaceae banyak dipilih karena pohon relatif kuat yang mampu menopang tubuh orangutan, serta memiliki percabangan horizontal rapat dengan daun tidak berbulu dan bergetah. Daunnya tidak terlalu besar dan lembut.
Namun, ketika pepohonan dari Famili Fagaceae berbuah, orangutan tapanuli justru tidak menggunakannya sebagai sarang. Alasannya, menghindari perjumpaan dan persaingan dengan satwa lain yang juga ingin memanfaatkan pohon tersebut. Rata-rata tinggi pohon yang digunakan untuk bersarang sekitar 16 meter lebih.
Status Kritis
Keunikan lain orangutan tapanuli adalah satu-satunya populasi orangutan di hutan dataran rendah tanah kering yang menggunakan alat pada buah cemengang [Neesia sp.] yang sebelumnya hanya ditemukan pada orangutan di hutan rawa [van Schaik 2009].
Sebagai flagship species berstatus Kritis [Critically Endangered] berdasarkan IUCN Red List, orangutan tapanuli bisa dijadikan simbol peningkatan kesadaran konservasi, sekaligus penyelamatan ekosistem hutan dan pembangunan berkelanjutan.
Silakan unduh: Buku Ekologi Orangutan Tapanuli_Pokja Batang Toru 2019
Silakan unduh: Buku Ekologi Orangutan Tapanuli_Pokja Batang Toru 2019 [English]