Mongabay.co.id

Pengelolaan Jenis Ikan Tak Lagi di Bawah Kendali KLHK

 

Penantian panjang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 13 tahun untuk menjadi Otorita Pengelola (Management Authority/MA) jenis ikan dari Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES) akhirnya berakhir pada Kamis (30/4/2020).

Pada waktu tersebut, KKP resmi ditasbihkan menjadi MA jenis ikan untuk CITES menggantikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Penasbihan tersebut dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjdaitan dalam sebuah rapat koordinasi di Jakarta.

Dengan keputusan tersebut, di masa mendatang Indonesia akan memiliki dua MA CITES, yakni KKP dan KLHK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, KKP ditetapkan sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan.

Sementara, sesuai dengan PP No.8/1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, KLHK ditetapkan menjadi MA CITES untuk jenis tumbuhan dan satwa liar. Kedua status yang disematkan pada dua instansi Negara berbeda itu, memiliki kekuatan dan peran yang sama pentingnya untuk pengelolaan jenis tumbuhan, satwa liar, dan jenis ikan.

baca : Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?

 

Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Hiu paus merupakan salah satu satwa laut yang dilindungi. Foto : Shawn Heinrichs / Conservation International

 

Bagi KKP, pemisahan kewenangan tersebut akan lebih memudahkan proses perizinan untuk pemanfaatan jenis-jenis ikan yang masuk dalam daftar Apendiks CITES. Hal itu diakui langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam keterangan resmi yang dikirimkan KKP kepada Mongabay, pekan lalu.

“Itu salah satu tujuan dari pemisahan MA jenis ikan, yakni untuk mempercepat proses perizinan pemanfaatan jenis-jenis ikan,” ungkapnya.

Menurut Edhy, untuk bisa mengekspor jenis-jenis ikan yang masuk dalam daftar Apendiks CITES, saat ini memerlukan perizinan yang diterbitkan oleh KLHK dan juga KKP. Proses tersebut dinilai sangat panjang dan bisa menghambat pelaksanaan ekspor produk perikanan yang masuk dalam Apendiks CITES seperti kuda laut atau ikan arwana.

Di sisi lain, untuk bisa melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, itu harus dilakukan dengan proses yang lengkap atau komprehensif dari sejak hulu hingga ke hilir. Kemudian, dari mulai pengaturan kapal dan alat penangkapan ikan (API), pengaturan daerah penangkapan, penerapan standar budi daya perikanan, serta pendaratan dan pencatatan hasil perikanan di pelabuhan.

“Juga penerapan standar mutu pengolahan ikan, pemberdayaan/pembinaan dan pengawasan kegiatan nelayan dan pembudidaya ikan serta penerapan dilakukan oleh KKP,” jelasnya.

baca juga : Sebesar Apa Potensi Ekonomi Ikan Hias di Indonesia?

 

Dua orang buruh angkut membawa hiu dari kapal ke tempat lelang. Latar belakang tampak poster jenis hiu dan pari yang dilarang ditangkap dan diperdagangkan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pemisahan Kewenangan

Pengesahan KKP menjadi MA CITES untuk jenis ikan, menurut Edhy menjadi hal yang biasa karena itu menjadi implikasi dari terbentuknya KKP sebagai lembaga kementerian. Dengan demikian, segala urusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan yang sebelumnya ada di tangan KLHK, maka sekarang sudah resmi dipisah dan dilakukan dengan penuh di bawah kendali KKP.

Adapun, salah satu fungsi utama dari pembentukan KKP, adalah mengelola sumber daya ikan, termasuk dalam konteks pelaksanaan CITES. Dari situ, beberapa urusan yang sebelum KKP berdiri itu dilakukan oleh KLHK, maka saat ini menjadi tanggung jawab dan kewenangan KKP.

“Ketentuan Konvensi CITES memperbolehkan setiap negara untuk menetapkan satu atau lebih MA dan satu atau lebih Scientific Authority/SA, sehingga pemisahan MA ini sejalan dengan ketentuan Konvensi CITES,” tambahnya.

Sementara, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Aryo Hanggono menjelaskan bahwa KKP sudah menerbitkan aturan pelaksanaan sebagai bentuk pelaksanaan mandat penetapan menjad MA CITES untuk jenis ikan. Peraturan yang dimaksud, adalah Peraturan Menteri KP No.6/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau yang Tercantum dalam Appendiks CITES.

Aryo mengungkapkan, dengan adanya keputusan KKP menjadi MA CITES untuk Jenis Ikan, maka pihaknya akan terus memperkuat aspek kelembagaan, pengawasan, dan karantina. Termasuk, penguatan aspek budi daya perikanan, khususnya untuk ikan Arwana dan Napoleon.

“Kita (Ditjen PRL) tidak sendiri dalam menjalankan mandat CITES ini. Kita berbagi tugas dan didukung oleh unit kerja lainnya, seperti aspek karantina, budidaya, pengawasan, tangkap akan menjadi satu kesatuan dalam pelaksanaannya ke depan,” tambahnya.

Aryo menambahkan, sebagai bagian dari implementasi mandat, pihaknya telah meminta kesiapsiagaan dari seluruh unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Ditjen PRL untuk selalu memastikan bahwa jenis-jenis ikan yang akan diperdagangkan atau diekspor sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang konservasi ikan.

perlu dibaca : Bagaimana Cara Hentikan Eksploitasi Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Berdalih untuk dibawa ke Dinas Kelautan Polman, Sulawesi Barat, dua nelayan yang mengangkut dugong tersebut malah membawanya ke Pulau Battoa untuk dijual ke seorang pedagang ikan di pulau seharga Rp200 ribu. Padahal dugong merupakan mamalia laut yang dilindungi. Foto: Muhammad Yusri/Sahabat Penyu/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan Internal

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Augy Syahailatua mengatakan, penetapan KKP sebagai MA CITES untuk Jenis Ikan memang sudah sesuai dengan PP No.60/2007. Namun, penetapan tersebut menjadi bagian dari kebijakan secara internal sebuah negara.

Menurut dia, dalam menjalankan pengelolaan CITES, sebuah negara memang memiliki kewenangan untuk menetapkan lebih dari satu lembaga kementerian. Tetapi, untuk pengelolaan secara internasional, pengakuan CITES tetap diberikan kepada KLHK.

“Kemenlu (Kementerian Luar Negeri RI) bisa minta ke KKP kalau terkait ikan. Tetapi, kalau urusan dengan CITES yang kantornya di Swiss, itu hanya bisa dilakukan oleh KLHK,” ungkapnya kepada Mongabay.

Dengan status tersebut, maka penetapan KKP sebagai MA CITES memang hanya berlaku untuk di dalam negeri saja. Sementara untuk internasional tetap akan dilakukan oleh KLHK. Kalaupun KKP ingin bisa diakui oleh CITES, itu juga dinilai sulit karena itu artinya KKP harus mengurusi tidak hanya Jenis Ikan saja.

“Tapi juga Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar,” tuturnya.

Meski masih berpeluang, namun Augy menilau itu sangat tidak mungkin untuk diwujudkan, mengingat, wilayah kerja KKP saat ini banyak berada di zona akuatik. Jadi, walau wilayah Indonesia 70 persen adalah perairan, namun KLHK menguasai urusan satwa darat dan udara.

Diketahui selain MA, Indonesia juga memiliki Otorita Saintifik (SA) yang selama ini dipegang oleh LIPI. Sebagai SA CITES, LIPI memiliki kewenangan untuk memberikan atau menerbitkan surat rekomendasi Jenis Tumbuhan, Satwa Liar, dan Jenis Ikan yang ada di Indonesia.

Bagi Augy, LIPI akan menerima semua permohonan dari berbagai instansi, kelompok, atau perseorangan berkaitan dengan rekomendasi untuk Jenis Tumbuhan, Satwa Liar, dan Jenis Ikan yang masuk dalam daftar Apendiks CITES.

“Kami akan terus berkarya karena dibiayai oleh Negara. Itu kenapa, semua karya ilmiah yang ada di LIPI sifatnya bisa menjadi informasi publik yang bisa diakses oleh siapa saja di Indonesia. Termasuk, hasil penelitian biota laut,” tegas dia.

baca juga : Rekomendasi Satwa Laut dari LIPI untuk KKP Dipersoalkan KLHK?

 

Tim gabungan menemukan penyu hijau (Chelonia mydas), dengan kondisi yang mengenaskan, yaitu sudah dipotong dan siap dijual di Pasar Amurang di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara, pada Rabu (28/09/2016). Penyu hijau merupakan jenis satwa laut yang dilindungi. Foto : Asriade/Satker Manado -BPSPL Makassar

 

Sedangkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memberikan tanggapannya tentang penasbihan KKP sebagai MA CITES untuk jenis ikan. Menurut dia, penetapan tersebut menjadi keputusan tepat karena bisa memicu pengelolaan jenis ikan menjadi lebih efektif, mengingat tidak ada lagi dualisme MA CITES untuk jenis ikan seperti selama ini terjadi.

Ke depan, KLHK bisa lebih fokus untuk mengurusi jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dan berada di wilayah daratan. Sementara, KKP bisa lebih fokus untuk mengurusi semua satwa yang ada di wilayah perairan laut.

“Dengan penetapan ini, KKP sudah bisa 100 persen melakukan perencanaan, pengelolaan, pengawasan, dan monev (monitoring dan evaluasi) terhadap upaya pengelolaan, termasuk penegakan hukum perlu dilakukan secara optimal,” papar dia.

 

Exit mobile version