Mongabay.co.id

Derita Warga Terkena Banjir dan Longsor di Masa Pandemi

Longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang menyebabkan satu orang tewas dan empat luka-luka. Foto: BPBD Bogor

 

 

Dunia termasuk Indonesia, tengah menghadapi bencana wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Data Gugus Tugas COVID-19 Indonesia, per 13 Mei 2020, data positif 15.438 orang, sembuh 3.287 dan meninggal dunia 1.028 orang. Di tengah pandemi ini, bencana alam seperti banjir dan longsor juga terjadi di berbagai daerah, dari Sulawesi Barat, Aceh, maupun Pulau Jawa, seperti Bogor dan Lebak, Banten dan lain-lain.

Di Lebak, Banten, pada Rabu (13/5/20), banjir 50-75 cm merendam sekitar 55 rumah warga di Desa Sipayung dan Bintang Resmi, Kecamatan Cipanas. Satu jembatan terputus.

Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lebak, bencana dipicu intensitas hujan tinggi hingga Sungai Ciberang meluap dan merendam puluhan rumah warga.

BPBD Kabupaten Lebak dibantu tim gabungan tengah melakukan kaji cepat, pendataan dan pembersihan puing sisa banjir.

Di Bogor, Jawa Barat, pada hari sama, longsor terjadi di Desa Wangunjaya, Kecamatan Leuwisadeng, dan menewaskan satu orang. Laporan BPBD Kabupaten Bogor, seorang warga diduga tertimbun material longsoran setinggi empat meter dan belum ditemukan. Empat warga luka-luka.

Raditya Jati, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilis mengatakan, bencana alam dipicu intensitas hujan tinggi dan kontur tanah labil. Longsor menyebabkan, 14 rumah rusak berat. Sebanyak 69 keluarga atau 242 jiwa terpaksa mengungsi ke lokasi lebih aman.

Raditya mengatakan, banjir bandang juga menerjang Aceh Tengah. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) melaporkan terjadi banjir bandang di Desa Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, dipicu intensitas hujan tinggi ditambah kondisi tanah perbukitan labil.

“Air beserta lumpur mengalir deras membawa material lain bahkan sejumlah kendaraan juga turut terseret,” kata Raditya dalam siaran pers.

Sunawardi, Kepala Pelaksana BPBA, menerjunkan tim untuk kaji cepat dan mendata korban jiwa serta kerugian.

Ishak, Kepala Pelaksana BPBD Aceh Tengah, mengatakan, bencana ini berdampak di tiga desa, yakni, Paya Tumpi Baru, Paya Tumpi Induk dan Daling Bebese.

Banjir juga menyebabkan ruas Jalan Takengon menuju Bireun dan beberapa jalan di sekitar terputus.

Awal Mei, banjir dan longsor juga menerjang beberapa daerah di Sulawesi Barat. Para penyintas mesti menanggung beban di bawah bayang pandemi Virus Corona.

Provinsi ini, saban tahun, ketika masuk pertengahan bulan—sebagai peralihan musim—orang-orang yang tinggal di wilayah rawan bencana banjir dan longsor berwaspada. Pada masa ini, bencana bisa datang tanpa terduga.

Dalam data indeks risiko bencana 2018 dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sulbar menyabet skor 162,92. Skor itu membuat Sulbar duduk di posisi tiga provinsi paling berisiko se-Indonesia.

 

Banjir di Aceh Tengah. Foto: Badan Penanggulangan Bencana Aceh Tengah

 

 

***

Usai berbuka puasa, Sahar hanya berdiam di rumah, bersama seorang ponakan, adik, dan orangtuanya. Mereka berkumpul di lantai atas. Di luar sedang gerimis, seperti dua malam terakhir.

Rumah Sahar bermodel panggung dengan belasan tiang balok sebagai pancang. Di depan ada tangga yang menghubungkan teras atas.

Malam itu, 1 Mei, di Dusun Pangana, Desa Ompi, Pasangkayu, Sulbar, hening, hawa dingin dari gunung menyusup ke rumah. Sahar sesekali bermain dengan ponakan dan berbincang singkat dengan sang adik.

Ndak lama kemudian datang banjir,” kata Sahar.

Sahar tetap di rumah. “Kan rumah panggung ji di sini.”

Kami berbincang melalui panggilan Messenger Facebook, sepekan setelah banjir merendam kampung Sahar.

Bagi Sahar, banjir merupakan hal lazim yang saban tahun merendam kampungnya. Tidak parah. Karena itu, pemuda 26 tahunan itu anteng saja. Banjir kali ini beda. Air cepat meninggi dengan deras.

“Ini sudah banjir bandang!” pikir Sahar. “Pas dalam mi air, mengungsi sudah.”

Sahar bersama keluarga lari ke gunung, yang terpaut seratus meter dari rumahnya. Di gunung itu, ratusan tetangga turut mengungsi.

Evakuasi baru dilakukan keesokan hari. Tiga dusun, Tata, Benteng, dan Buluhera, sudah terisolir. Akses jembatan sudah runtuh tersapu banjir dan jalan belum dapat ditembus. Tim SAR jadi kesulitan.

Awal evakuasi, tim gabungan polisi dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya mampu mengevakuasi warga Pangana. Dengan menyulap lima batang pisang jadi rakit, satu demi satu warga dievakuasi ke mesjid di Dusun Pangana, yang sudah tersedia dapur umum dan keperluan lain. Tak ada korban jiwa, tetapi dua rumah milik warga hanyut.

“Ada juga warga beberapa yang tidak mau dievakuasi, yang masih tetap bertahan di rumahnya,” kata Andi Rudi, Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Pasangkayu.

Untuk sementara, menurut BPBD, banjir itu kiriman dari hulu Lariang, sungai terpanjang di Sulawesi. “Kalau kemarin itu curah hujan di hulu tinggi,” kata Muliadi, Kepala BPBD Pasangkayu melalui panggilan suara.

“Satu hari habis hujan, ketiga harinya baru turun, tidak langsung hujan langsung turun. Tidak. Biasanya mungkin di atas tertampung dulu.”

Sungai Lariang terbentang dari Lore Utara, Poso, Sulawesi Tengah hingga Desa Lariang, Pasangkayu, Sulbar. Mengalir sepanjang 245 km. Dari hulu terluar, lekukan sungai mengikuti patahan Palu Koro sebelum melintasi Sulbar dan sebagian masuk dalam Taman Nasional Lore Lindu.

Di Pasangkayu, Lariang melintasi puluhan kampung. Kanan-kiri DAS Lariang hilir, ada kebun sawit yang menghampar luas. Ompi, jadi desa pertama yang terhantam bila terjadi limpasan. Desa Lariang dan Sumbersari, setelah itu.

Pada era Hindia Belanda, Sungai Lariang berfungsi jadi lintasan kano dan kapal pengangkut kopra, sementara di darat ada perkebunan kelapa luas.

 

Banjir bandang terjang Desa Ompi, Pasangkayu, awal Mei. Foto: BPBD Pasangkayu

 

 

Desa Ompi adalah lembah dengan kontur berbukit dan landai. Separuh Ompi ada hutan lindung. Beberapa tempat, permukaannya cekung.

Orang Ompi, membudidaya sawit, dengan selingan jagung dan tanaman jangka pendek lain. Saat banjir itu, jagung rusak sebelum panen. “Pokoknya banyak mati,” kata Sahar.

Banjir di Lariang bukan hal baru.

Pada era kolonialisasi Belanda, Lariang pernah meluap. Peristiwa itu diabadikan dalam tiga foto yang kini dikoleksi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV).

Foto ini, kini bisa dijumpai di laman koleksi digital Universitas Leiden yang menampilkan banjir di kebun Lariang (sekitar Donggala dan Mamuju Utara), milik usaha dagang Hindia Belanda, Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM). Foto itu dipublikasi tahun 1926 (foto 1, foto 2, dan foto 3).

Bagi Kepala BPBD Pasangkayu, Muliadi, apa yang dialami Ompi saban tahun itu seperti takdir, kecuali penduduk Ompi relokasi. “Kalau berbicara soal hutan dan sebagainya, aduhh, bikin rugi saja anggaran. Tetapi kan, memang itu sudah (faktor) alam.”

Apa penyebab banjir di Ompi? “Mungkin gara-gara penebangan kayu di hutan, di atas,” kata Sahar, menduga.

Tias Setijono Nugroho, Kepala Sub Bagian Tata Usaha KPH Lariang Pasangkayu mengklaim, tutupan hutan sekitaran Ompi masih lebat, status hutan lindung bisa menjamin kawasan daripembalak liar. Kawasan kelolaan KPH Lariang Pasangkayu ada di bagian selatan DAS Lariang, desa Ompi.

“Cuma yang sebelah utara, wilayahnya Sulteng itu sudah rata-rata APL (area penggunaan lain-red), lepas dari kawasan. Rata-rata sudah kebun kakao, kebun-kebun jagung.”

Di sekitar Lariang hilir, kata Tias, ada empat desa, yaitu Ompi, Kastabuana, Lilimori, dan Bukit Harapan, berstatus hutan produksi (HP), yang penuh sawit dan tanaman jangka pendek macam jagung. Sawit berbeda dengan pohon yang memiliki banir dalam menahan laju air. Akar sawit yang berserabut, justru hanya mempercepat pengikisan lapisan tanah bila terjadi banjir.

“Kalau logikanya begitu,” kata Tias. “Kalau yang di Desa Ompi, kondisinya sudah sebagian besarlah, sudah hampir bersawit. Kemungkinan 60-70% sudah kebun masyarakat.”

Penyebab banjir, kata Tias, karena limpasan hulu sungai dengan curah hujan tinggi.

Agus, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Majene mengatakan, dari 27 April-3 Mei, curah hujan tinggi di Sulteng. “Itu di hulu sungai,” katanya melalui telepon.

“Sungai yang mengalir di Sulbar ini hulu ada di Sulteng. Hingga hujan yang terjadi di hulu, walaupun di wilayah bawah hujan kurang, di deras. Air itu turun dari sana seperti bah.”

Dua tahun lalu, Ompi diusulkan masuk perhutanan sosial tetapi gagal pada tahap verifikasi. Pada tahun sama, KPH Lariang juga menanam pohon durian lokal, aren, dan nantu, di tepi sungai yang berada di luar kawasan, kondisi sudah krisis. Banjir 2019 menyapu bibit yang belum sempat besar itu. Kini tertinggal sebagian aren.

Bagi Tias, Lariang, urusan tiga provinsi, Sulteng, Sulbar, dan Sulsel. Hulu Lariang tak hanya di Sulteng, di Luwu Utara, Sulsel, juga ada.

Celakanya, hulu yang di Sulteng, sudah jadi kebun. “Ya… Saya juga tidak menyalahkan Sulteng, toh.”

Deforestasi sekitar Lariang hulu cukup massif. Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) pernah mendata itu saat studi rantai pasok industri sawit di hulu Lariang.

“Tidak banyak, cuma kalau ditarik panjang sungai itu digabung Sulteng-Sulbar-Sulsel itu kemarin 50.000-an hektar,” kata Givents, Direktur Komiu.

Dari data Komiu bersama Tuk Indonesia, 2001-2018, ada 57.959,96 hektar kawasan hutan sekitaran hulu Lariang mengalami deforestasi. Di Sulteng, 35.739,78 hektar, Sulsel, 1.439,81 hektar, dan 20.780,37 hektar di Sulbar.

Givents tidak ingin buru-buru menyimpulkan penyebab banjir di hilir karena deforestasi semata. Curah hujan sudah pasti jadi penyebab. Selain itu, pergerakan sesar palu koro.

Menurut Givents, pergerakan palu koro membuat badan Sungai Lariang, berubah. Di Sigi dan Poso, misal, semua badan sungai itu bergeser lima atau enam meter. “Jadi, sungai itu cari jalan sendiri, hingga pas hujan naik banjir bandang.”

Givents bilang, gempabumi 28 September 2019 telah memicu sesar lain dan beberapa segmen sesar Palu Koro. Segmen itu ada empat: Palu, Meloi, Moa, dan Saluki. Yang terakhir, berada di belakang Sungai Lariang.

Dia bilang, pergerakan itu memicu longsor di bagian hulu Lariang, di sekitar Lore dan menyebabkan perubahan badan sungai. Givents cukup yakin, itulah yang menyebabkan banjir bandang menerjang Kecamatan Lore Utara dan Barat, pekan lalu.

“Ketika dicek itu Taman Nasional Lore Lindu, tidak ada deforestasi. Di situ ternyata bageseri, yang di Lore utara,” kata Givents. “Ah… Bisa jadi yang bageser beberapa anak-anak Sungai Lariang itu. Kalau bageser, banjir bandang pasti. Karena gelondongan-gelondongan kayu pohon-pohon besar semua itu yang turun karena longsor.”

Statemen itu baru dugaan Givents. “Memang, belum ada ahli kesana dan belum ada penelitian di perbatasan Sigi dan Pasangkayu, itu hanya bagian Poso. Takutnya kita tulis ilegal logging, ternyata geologi yang berpengaruh, artinya kita harus obyektif juga,” katanya.

 

Warga saat membantu korban longsor di Tumonga, Kelapa Dua, Polman. Foto: dokumentasi warga

 

 

***

Empat hari berselang, 5 Mei, di Dusun Tumonga, Desa Kelapa Dua, Polewali Mandar, juga terkena bencana longsor. Rumah panggung yang didiami keluarga Pandi, tertimpa longsor. Depan rumah itu jalan poros meliuk ke Mamasa. Tumonga berada di dataran cukup tinggi, dengan banyak jurang.

Beberapa jam sebelumnya, Pandi usai salat magrib. Lelaki 38 tahunan itu ingin berangkat tarawih. Dia urungkan niat karena depan rumahnya longsor.

“Saya keluar. Jadi ndak jadi bapak tarwih,” Ita, istrinya, cerita melalui panggilan telepon.

Petani kopi itu kemudian mengangkat timbunan yang halangi saluran air. Pandi dibantu dua tetangganya, Umar dan Ali.

Saluran air itupun bersih. Mereka bersantai di kolong rumah. Tiga lelaki itu larut dalam perbincangan, habiskan waktu senggang. “Dia bilang banyak nyamuk di bawah,” kenang Ita. “Saya kasih menyalakan obat nyamuk. Sudah itu, saya naik lagi.”

Di atas, Ita berbaring depan teve. Tiga anaknya, Nirwana (17), Ikra (11), dan si bungsu Rifki (4), bermain di ruang tamu. “Ada kayaknya sekitar 15 menit, datang mi longsor susulan hantam rumah,” kata Ita.

Longsor menyeret rumah itu hingga ke jurang. Pohon besar yang roboh menghantam rumah Ita. Pandi, Umar, dan Ali tertimbun. Satu mobil dan empat motor ikut terbawa. Anak-anaknya ditemukan jauh di atas dan Ita juga terkubur longsor.

Di situasi sesak itu, Ita menggapai kayu. Dia menjolok tanah yang menutupi dan bikin lobang buat bernapas. Dia selamat. Sang suami meregang nyawa begitu pula Umar dan Ali. Anak-anaknya selamat.

“Bapak dikubur di atas, ada perkuburan keluarga, dekat sini,” kata Ita.

Menurut Pejabat Sementara (PJS) Kepala Desa Kelapa Dua, Fajri, daerah itu longsor kerap terjadi. Tanah yang mengikat bukit di Tumonga, didominasi tanah liat yang rentan bergeser ketika hujan. Baru kali itu, longsor mengenai rumah penduduk. Di atas bukit, katanya, juga ada kebun warga.

Tumonga, lebih banyak basah ketimbang kering. “Itu daerah puncak. Di atas mendung terus. Ndak pernah ndak hujan,” kata Fajri, melalui panggilan telepon.

Tiga hari berturut-turut, wilayah Kelapa Dua hujan dengan intensitas tinggi. Data Stasiun Meteorologi Majene menunjukkan, pada 3 Mei, debit air 65 mm, lalu naik drastis keesokan hari, 85 mm, dan di hari saat peristiwa itu, 52 mm per detik.

Agus, Kepala BMKG Majene, mengatakan, di Majene dan Polman, ketika musim peralihan curah hujan amat tinggi dan dipengaruhi topografi. “Waktu musim hujan curah hujan tidak terlalu tinggi.”

Menurut Agus, perubahan iklim juga turut berpengaruh atas kejadian ini, meski tidak terlalu besar. Yang paling pengaruh adalah hutan berkurang.

“Kita selama ini yang hutan banyak, udara bagus, karena disaring oleh hutan, sekarang hutan sudah krisis, inilah yang mempengaruhi iklim cepat sekali merusak dan makin berkurangnya hutan-hutan yang menahan air, hingga air ini cepat mengalir, terjadi banjir.”

Afandi Rahman, Kepala BPBD Polman sadar, Tumonga sesungguhnya rentan longsor. “Kami sempat ke sana memberi edukasi kembali. Tapi, warga di sana sudah cukup lama bermukim, meskipun kondisi geografis setempat yang agak-agak curam juga.”

 

***

Keterangan foto utama: Longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang menyebabkan satu orang tewas dan empat luka-luka. Foto: BPBD Kabupaten Bogor

 

Exit mobile version