Mongabay.co.id

Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.

Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan, sebaliknya, melupakan pertanian, sebagai akarnya.

Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari serial bagaimana anak-anak muda di Bali kini bertani, terutama setelah terjadinya pandemi COVID-19. Tulisan pertama bisa dibaca pada tautan ini. Dan tulisan kedua bisa dibaca pada tautan ini.

***

I Nengah Sumerta, 38 tahun, punya mimpi besar. Kurang dari sepuluh tahun nanti, penduduk Bali tidak akan lagi bergantung kepada pasokan buah dan sayur dari luar Bali. Apalagi impor. Nantinya, tidak hanyamampu mencukupi kebutuhannya, dia bermimpi petani Bali bahkan bisa menjual buah dan sayur itu pulau atau bahkan negara lain.

Impian itu berangkat dari fakta dan data betapa Bali sangat tergantung pada pasokan pangan dari luar Bali, terutama sayur dan buah-buahan. Bersama teman-temannya sesama petani muda, mereka menelusuri fakta itu pasar-pasar. “Padahal dari sisi sumber daya alam dan manusia, Bali ini sangat bisa mencukupi kebutuhannya sendiri jika dikelola dengan baik,” ujarnya.

Saat ini, alumni Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali itu sedang berjuang mewujudkannya. Kebun di Banjar Pempatan, Desa Pemuteran, Kecamatan Rendang, Karangasem menjadi salah satu lahan untuk mewujudkan mimpi itu. Di desa sejuk berjarak sekitar 60 km dari Denpasar itu Nengah bekerja sama dengan pasangan petani lokal, I Komang Badung dan Ni Wayan Mertana.

Mereka mengerjakan dua hektare kebun milik Badung dan Mertana dengan sistem bagi hasil. Nengah menyediakan modal sarana produksi, sedangkan pasangan petani itu yang mengerjakan budi daya. Selain itu dia juga memberikan modal Rp15 juta kepada Badung dan istrinya pada tahun pertama, diluar gaji kepada mereka sebagai pekerja di kebun.

baca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Nengah Sumerta tengah berbincang dengan petani lain di lahan yang dia kelola. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bagi Hasil

Komoditas yang mereka tanam ada tiga dengan sistem tumpang sari: sayur kol untuk jangka pandek, pisang cavendish untuk jangka menengah, dan alpukat untuk jangka panjang. Menurut Nengah, tiga komoditas itu menjadi pilihan karena kebutuhannya besar di Bali, tetapi belum bisa dipenuhi petani lokal. “Misalnya, pisang. Orang Bali itu hampir semua pengguna pisang karena dipakai keperluan yadnya (upacara). Itu baru untuk sembahyang, belum untuk konsumsi,” katanya.

Dalam perhitungan Nengah, Bali memerlukan sekitar 32 ton pisang per hari. Kebutuhan itu dipasok dari luar Bali, seperti Bima (Nusa Tenggara Barat), Flores (Nusa Tenggara Timur), dan Lumajang (Jawa Timur). “Pasokan dari petani lokal masih di bawah 25 persen,” lanjutnya. Maka, dia pun menanam pisang selain sayur kol dan alpukat.

Dia mengatakan model penggunaan lahannya bukan, mengontrak, tetapi bagi hasil. “Kalau kontrak itu tidak fair. Kapitalis sekali. Aku tidak mau begitu,” ujarnya. Menurut Nengah, uang sewa untuk pemilik lahan itu dia masukkan sebagai saham. Nantinya, pemilik lahan juga tetap bisa menjual sayur kepadanya. Uang hasil penjualan sayur tetap masuk ke petani pemilik lahan sedangkan dia sendiri mendapat keuntungan dari selisih penjualan sayur itu ke pihak lain.

“Makanya, ini bukan bisnis. I want to make them happy. Kalau kita hanya fokus pada keuntungan, apa bedanya dengan Belanda,” lanjutnya.

baca juga : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Petani di Desa Pemuteran Karangasem menunjukkan sayur kol siap panen. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Meski mengaku bukan bisnis, Nengah mengeluarkan modal cukup besar, Rp1,7 miliar untuk modal usaha taninya. Uang itu dia gunakan antara lain untuk pembelian bibit, pembuatan irigasi tetes, dan gaji pegawai. Dia yakin ketika panen alpukat 7 tahun lagi hasilnya akan habis di pasar lokal karena disukai konsumen. “Mimpiku yang tidak lucu adalah bagaiamana menghentikan impor (alpukat) itu,” ujarnya.

Pasangan petani Badung dan Mertana mengaku, sistem kerja sama yang ditawarkan Nengah sangat membantu mereka. Berkebun di daerah ketinggian, di atas 1.000 mdpl, dan jauh dari sumber air menjadi tantangan tersendiri bagi petani di daerah ini. Sebelumnya, mereka pun sangat tergantung air hujan atau membeli pada musim kemarau. Mereka pun terpaksa membeli airnya. Bisa sampai Rp2 jutaan hanya untuk air. Belum termasuk bibit, pupuk, dan pestisida.

“Jadi petani di sini lebih banyak utang daripada untungnya,” kata Badung.

Mereka kini tak perlu pusing memikirkan biaya produksi karena ditanggung sepenuhnya oleh Nengah. Malahan, mereka juga mendapatkan Rp15 juta untuk tunjangan hidup selama setahun pertama pengerjaan kebun.

menarik dibaca : Uniknya Kebun Hidroponik Tenaga Surya di Noja Bali

 

Komang Badung (paling kanan) dan istrinya Ni Wayan Mertana (dua dari kiri) bersama tiga anak kecilnya dan para petani muda yang mengelola lahan mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Perantara dan Pengelola

Model pertanian yang dipakai Nengah merupakan salah satu cara baru yang digunakan petani muda di Bali saat ini. Meski tidak memiliki lahan sendiri, petani-petani muda Bali ini bertani di atas lahan orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil. Selain Nengah, petani lain yang melakukan hal sama adalah Dwitra J Ariana, akrab dipanggil Dadap.

Seperti halnya Nengah, Dadap juga mengelola beberapa kebun cukup luas, antara 20 are sampai 2 hektare. Tak hanya di desanya sendiri di Desa Jeruk Mancingan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Dadap juga mengelola lahan-lahan di tempat lain. Dadap bekerja sama dengan pihak lain sebagai penyewa, tetapi dia yang mengolah lahan tersebut dengan modal dari penyewa.

“Idenya adalah menghubungkan petani pemilik lahan menganggur dengan teman-teman yang ingin punya usaha bertani,” katanya. Daripada lahan menganggur, menurut Dadap, lebih baik dikelola orang lain tanpa harus menjual. Dadap pun menjadi semacam perantara sekaligus pengelola.

Komoditas yang dia pilih umumya yang berumur panjang dan bernilai jual tinggi, misalnya vanili. Kini, bersama salah seorang ekspatriat di Bali, Dadap bahkan bersiap-siap untuk membuka usaha kebun di pulau lain untuk komoditas lada.

Dadap, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara film-film dokumenter, menggunakan media sosial untuk mengenalkan lahan-lahan tak terpakai kepada teman-temannya. Lalu, si teman itu akan memberikan modal kepada Dadap untuk mengerjakan lahan tersebut.

Hingga April lalu, ada sekitar delapan temannya yang mempercayai Dadap untuk bekerja sama. Mereka menyewa lahan tak terpakai kepada petani lokal dengan masa cukup panjang, 10-25 tahun, lalu memberikan modal kepada Dadap untuk mengerjakan lahannya.

baca juga : Kisah Aira, Bocah Kota yang Bercita-cita Menjadi Petani

 

Dwitra J Ariana memeriksa pohon vanili di salah satu lahan yang disewa temannya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Salah satu teman Dadap yang kemudian tertarik dengan sistem tersebut adalah Made Tom Kris, 32 tahun. Pegawai negeri dari Penebel, Tabanan ini mengaku tertarik dengan model yang ditawarkan Dadap. Sejak 2016 lalu, dia pun menyewa lahan seluas 20 are di Jeruk Mancingan selama 25 tahun lewat Dadap. Lahan itu mereka tanami vanili.

Tom membayar Rp 50 juta untuk sewa selama itu sekaligus biaya produksi awal. Menurut Tom, sistem kerja sama mereka amat tradisional. Dia memberikan modal di awal untuk membeli bibit dan keperluan awal. Nanti ketika panen nanti mereka akan berbagi hasil, Tom dapat 40 persen, Dadap 60 persen. “Selama sebelum panen, saya tidak ada keluar dana lagi,” katanya.

Tom mengaku tertarik dengan sistem tersebut karena dia yakin komoditas yang ditanam prospektif. Apalagi dia sendiri juga memang memiliki kebun di kampungnya dengan sistem kerja sama kurang lebih serupa: bagi hasil dengan petani yang mengelola. “Sejauh ini kerja samanya berjalan dengan baik meski belum panen tetap,” lanjutnya.

Bagi para petani muda seperti Nengah dan Dadap, bertani di Bali saat ini tak lagi sekadar menanam komoditas, tetapi menjaga identitas kultural tanah kelahiran mereka, Bali. Dadap, misalnya, pada awalnya lebih banyak dikenal sebagai sutradara film dokumenter sebelum kemudian total kembali bertani di tanah kelahirannya. Begitu pula dengan Nengah yang sebelumnya bekerja di lembaga milik pemerintah Bali.

 

Lomba mendorong pemanfaatan buah lokal di sesajen atau gebogan Bali ini karena makin banyaknya penggunaan buah impor dan snack atau minuman ringan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Menurut Nengah, pertanian di Bali terkait erat dengan tradisi di Bali. Ritual-ritual di Bali tak bisa dilepaskan dari tradisi agraris. Pada saat Galungan dan Kuningan, misalnya, umat Hindu Bali akan mempersembahkan hasil-hasil pertanian kepada Sang Hyang Widhi. Wujudnya bisa berupa penjor (batang bambu berisi aneka persembahan) dan gebogan (sesaji) berisi hasil-hasil pertanian, seperti padi dan buah-buahan.

“Kalau segehan (persembahan) berisi buah impor, itu bukan segehan lagi. Karena tujuan orang bikin segehan yang mempersembahkan apa yang ada di tanahnya sendiri,” ujar Nengah. Kondisi Bali yang sedang linglung karena dihantam pandemi, lanjutnya, bisa menjadi pengingat bahwa Bali seharusnya kembali ke pertanian sebagai akarnya.

Petani-petani muda ini tak sekadar berwacana. Mereka memilih kembali ke kebun-kebun di pelosok Bali meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dianggap lebih bergengsi. Namun, agak berbeda dengan pendahulunya yang bertani secara tradisional, Nengah, Dadap, dan petani-petani muda di Bali saat ini kini menggunakan metode lebih modern. Tak hanya dari sisi budidaya yang lebih mekanis, seperti irigasi tetes, tetapi juga sistem keuangan dan aplikasi untuk memasarkan ke konsumen.

 

Exit mobile version