Mongabay.co.id

Pandemi, Krisis Pangan, dan Kearifan Lokal Dewi Tapa

 

Seperti halnya terorisme, pandemi virus corona [COVID-19] telah melahirkan ketakutan dahsyat secara global. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia [WHO] menyebut virus corona jauh lebih mengancam dan lebih berbahaya ketimbang terorisme.

“Dunia harus bangkit dan menganggap virus ini sebagai musuh publik nomor satu. Sejujurnya, virus corona lebih kuat dalam menciptakan pergolakan politik, sosial, dan ekonomi ketimbang serangan teroris,” Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengungkapkan pernyataannya sebagaimana diberitakan berbagai media nasional maupun internasional, beberapa waktu lalu.

Apa yang dinyatakan Tedros Adhanom tidak berlebihan. Realitanya, di samping menimbulkan gangguan kesehatan secara masif dan kerusakan psikologis, berupa menurunnya tingkat rasa aman masyarakat, pandemi corona juga melahirkan konsekuensi negatif bagi pembangunan ekonomi. Corona membawa kelesuan pada sejumlah sektor, seperti penerbangan dan pariwisata, yang memang sangat sensitif dipengaruhi isu keamanan.

Pandemi juga menurunkan investasi dan transaksi perdagangan, yang berimbas pada goyahnya pertumbuhan ekonomi. Pada saat yang sama, serangan virus turut membengkakkan jumlah dana yang harus dikeluarkan negara, lantaran melonjaknya ongkos untuk penanganan wabah.

Menurut Organisasi Buruh Internasional [ILO], pandemi corona merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II dan sekaligus ujian terbesar dalam kerja sama internasional selama lebih 75 tahun. Kajian terbaru ILO menyimpulkan, sekurangnya 1,25 miliar pekerja, dari total tenaga kerja global yang berjumlah 3,3 miliar, berisiko terkena pemutusan hubungan kerja [PHK] dan pengurangan upah serta jam kerja.

Di Indonesia, jumlah pekerja yang mengalami PHK hingga awal Mei lalu ditaksir telah mencapai sekitar 1,7 juta orang. Dalam skenario paling buruk, sebagian kalangan memprediksi jumlah PHK di negeri ini bisa mencapai 3-5 juta orang.

Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?

 

Hasil pertanian yang dikumpulkan dan disimpan di depan Bale Saresehan, Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat, pada momen Ngemban Taun. Sejak 1924, masyarakat Cireundeu menjadikan singkong sebagai makanan pokok mereka. Foto: Djoko Subinarto

 

Ancaman krisis pangan

Pandemi corona juga mengancam ketahanan pangan. April lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia [FAO] telah mengingatkan negara-negara anggotanya, ikhwal ancaman krisis pangan global. FAO meminta rantai pasokan makanan tetap terjaga.

Merespon peringatan FAO, Presiden Joko Widodo telah meminta BUMN membuka lahan baru untuk persawahan. Hal ini dimaksudkan selain sebagai bentuk antisipasi tersendatnya pasokan impor beras, juga sebagai antisipasi ancaman kekeringan ekstrim yang bakal mengganggu panen.

Seperti kita ketahui, dalam upaya memutus rantai penyebaran virus corona, nyaris semua negara memberlakukan pembatasan sosial, yang berimbas pada terbatasnya pergerakan dan aktivitas masyarakat. Sedikit banyak, ini menganggu lalu-lintas logistik. Beberapa negara bahkan telah memutuskan untuk menghentikan ekspor pangan. Salah satunya adalah Vietnam yang selama ini menjadi pengekspor beras ke Indonesia.

Sebagai negara yang sejauh ini mengandalkan beras sebagai makanan pokok mayoritas penduduknya, Indonesia harus bisa menghadapi ancaman krisis pangan. Ketergantungan akan beras semestinya mulai dihindari.

Diversifikasi makanan pokok adalah sebuah keniscayaan. Kita sesungguhnya dapat belajar pada kelompok-kelompok masyarakat kampung adat yang tersebar di sejumlah daerah di negeri ini. Salah satunya, masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Hingga kini, warga Cireundeu tidak bergantung pada beras. Pasalnya, sejak tahun 1924, mereka telah menjadikan singkong alias sampeu, dalam Bahasa Sunda, sebagai makanan pokok. Oleh warga, singkong diolah menjadi rasin alias beras singkong. Rasin inilah yang kemudian mereka masak sebagai makanan pokok keseharian, layaknya nasi.

Baca: Tidak Andalkan Perkebunan, Desa Sekitar Gambut di Sumsel Terjaga Pangannya

 

Warga Cireundeu mengangkut hasil panen saat prosesi acara Ngemban Taun. Kampung Cireundeu kini dijuluki sebagai Dewi Tapa alias Desa Wisata Ketahanan Pangan. Foto: Djoko Subinarto

 

Kekeringan

Sejarah lokal Kampung Cireundeu mencatat, tradisi menjadikan singkong sebagai makanan pokok bermula tatkala terjadi kekeringan luar biasa menimpa sawah-sawah masyarakat tahun 1920-an. Haji Ali, tokoh masyarakat Cireundeu waktu itu, meminta warganya menanam singkong. Perintah tersebut tetap dipatuhi hingga sekarang.

Berkat ketidaktegantungan pada beras, Kampung Cireundeu, yang memiliki luas empat hektar serta dihuni sekitar 340 jiwa yang terdiri 70 kepala keluarga, tidak pernah menghadapi masalah pangan. Kampung ini bahkan mendapat julukan sebagai Dewi Tapa alias Desa Wisata Ketahanan Pangan.

Selain masih mempertahankan tradisi tidak menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok, warga Kampung Cireundeu juga mempertahankan tradisi Ngemban Taun. Acara ini sebagai bentuk syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas hasil pertanian yang telah diperoleh, sekaligus berharap hasil lebih baik lagi di tahun berikutnya.

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Warga berkumpul untuk berdoa bersama di Bale Saresehan, Cireundeu, sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta atas hasil pertanian yang telah mereka peroleh. Foto: Djoko Subinarto

 

Ngemban Taun biasanya digelar akhir tahun yang didasarkan pada sistem penanggalan Sunda Wiwitan. Ritual Ngemban Taun diawali dengan arak-arakan hasil panen pertanian masyarakat. Rutenya, dari Gerbang Utama Kampung Adat Cireundeu hingga berakhir di balai pertemuan adat yang disebut Bale Saresehan.

Acara kemudian dilanjutkan dengan membacakan sejarah Kampung Adat Cirendeu, wejangan dari tokoh serta sesepuh masyarakat, dan memanjatkan doa bersama. Melengkapi acara, ditampilkan pula berbagai pertunjukan seni dan budaya tradisional, termasuk kaulinan barudak [permainan anak-anak] serta pagelaran wayang golek semalam suntuk.

Sebagai sebuah Kampung Adat dan Kampung Wisata, Cireundeu terbuka bagi siapa saja, termasuk wisatawan lokal maupun mancanegara. Bagi yang tertarik belajar kearifan lokal, toleransi, keberagaman, juga ketahanan pangan tak ada salahnya bertandang. Banyak hal yang bisa kita kaji dan tafakuri di sana.

 

*Djoko Subinartokolumnis dan bloger, tinggal di Bandung [Jawa Barat]. Tulisan ini opini penulis.

 

 

Exit mobile version