Mongabay.co.id

Tekan Emisi Lewat Kendaraan Listrik, Berikut Masukan IESR

Mobil listrik parkir di tempat pengisian di Singapur. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kendaraan listrik berpotensi besar menurunkan emisi gas rumah kaca karena efisiensi sangat tinggi dibandingkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar dengan catatan menggunakan energi terbarukan.

“Mobil listrik dapat diproduksi tanpa emisi jika menggunakan sumber terbarukan,” kata Julius C Adiatma, Clean Fuel Energy Specialist Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan soal peran kendaraan listrik dalam dekarbonisasi Indonesia, akhir minggu lalu di Jakarta.

Sektor energi berkontribusi 34% dari emisi Indonesia pada 2010 dan diperkirakan meningkat 58% pada 2030. Indonesia, katanya, sudah berkomitmen ikut menurunkan emisi gas rumah kaca, 29% pada 2030 atau 41% dengan dukungan internasional. Pengurangan emisi ini, sektor energi kedua terbanyak yakni 11% setelah kehutanan 17,2%.

Menurut Climate Action Tracker (CAT) target Indonesia mengurangi 1.800 MtCO2 pada 2030 masih kurang ambisius, karena jauh dari target maksimum emisi per tahun, yakni 622MtCO2, untuk memenuhi target Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menjaga suhu bumu 1,5 derajat celcius.

“Sektor transportasi jadi sumber emisi CO2 kedua terbanyak setelah industri,” katanya.

Dalam rencana umum energi nasional (RUEN), emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi akan meningkat dari 143 MtCO2 jadi 218 MtCO2 pada 2030.

Tahun 2017, sektor transportasi tercatat menyumbang emisi sebesar 28%, kedua terbanyak setelah industri, 31%. Dari total emisi transportasi, hampir 91% berasal dari transportasi darat, sisanya tranportasi air dan udara.

“Transportasi kereta berkontribusi sangat minim, karena lebih sedikit,” kata Julius.

CAT, juga telah menyatakan, untuk mencapai target 1,5 derajat celcius, ada beberapa skenario yang bisa dilakukan Indonesia pada sektor transportasi agar mencapai 2 MtCO2e pada 2050, yakni, 100% elektrifikasi pada sepeda motor, mobil dan bus, peningkatan penggunaan tranportasi publik dan peningkatan ekonomi bahan bakar pada kendaraan konvensional.

Sayangnya, yang tercantum dalam target nationally determined contributions (NDC) Indonesia hanya soal pencampuran biofuel (B30) dan ekspansi stasiun pengisian gas. Kontribusi kendaraan penumpang yang mayoritas menggunakan bahan bakar minyak, sangat tinggi untuk emisi.

Catatan IESR, dari 2000-2018, pertumbuhan sepeda motor meningkat cepat 13,7% diikuti kendaraan penumpang 10.3%, kendaraan kargo 9,3% dan bus 8,6%. Kendaraan pribadi terutama sepeda motor adalah moda transportasi utama di daerah perkotaan seperti Jakarta.

“Sangat penting bagi kita untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi terutama kendaraan penumpang,” katanya.

 

Nissan Motor Parts Center (NMPC) di Amsterdam dengan  9.000 atap panel surya. Foto: Nissan

 

Kendaraan listrik, katanya, berpotensi besar menurunkan emisi gas rumah kaca dibandingkan kendaraan berbahan bakar kalau gunakan  energi terbarukan.

Selain itu, katanya, kendaraan listrik itu juga memberikan keuntungan lain karena tak menghasilkan polusi lokal, kondisi udara lebih sehat, mengurangi impor minyak dan membuka peluang pengembangan industri baru yakni kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV), plug-in hybrid (PHEV), dan kendaraan hibrid (hybrid electric vehicle/HEV).

Namun, katanya, kajian IESR kendaraan listrik di negara manapun hanya akan bisa tumbuh kalau ada dukungan pemerintah. Ada dua kategori kebijakan di negara lain, yakni, instrumen suplai dan permintaan.

Untuk negara maju dengan industri otomotif pesat seperti Jerman, Jepang. Amerika Serikat dan Perancis, menggunakan instrumen suplai karena industri otomotif kuat. Bagi negara berkembang dengan industri otomotif lemah, seperti Indonesia, cenderung gunakan instrumen permintaan untuk membuka pasar.

Julius bilang, ada empat insentif perlu dalam mendorong instrumen permintaan di Indonesia. Pertama, insentif fiskal berulang berupa pajak karbon dan harga listrik yang dinamis. Kedua, insentif fiskal yang ditetapkan satu kali di awal, hingga bisa mengurangi selisih biaya kendaraan listrik dan kovensional.

Ketiga, insentif lain selain non fiskal seperti infrastruktur untuk pengisian listrik, akses jalur spesial, akses ke area rendah emisi, dan pengecualian untuk jalan tol.

“Ada hal yang tidak bisa dikuantifikasi dalam bentuk uang, seperti kenyamanan untuk pengguna kendaraan listrik misal boleh lewat jalur khusus, jalur busway, atau ganjil genap. Pengembangan infrastruktur untuk charging juga penting hingga pengendara bisa tenang tanpa khawatir kehabisan listrik di jalan,” kata Julius.

Keempat, insentif lain yang bisa mendorong kendaraan listrik dan mengajak orang mengurangi kendaraan konvensional misal dengan aturan ketat emisi kendaraan.

Kalau melihat negara lain yang punya insentif kendaraan listrik, berbagai insentif sudah banyak diterapkan di negara-negara termasuk Norwegia, Belanda, Denmark, Jerman, Amerika Serikat. Tiongkok, Swedia, Perancis dan Jepang. Ada pula insentif berupa bebas biaya parkir.

“Norwegia negara paling maju dalam kendaraan listrik dengan beberapa insentif perpajakan seperti untuk membangun charging infrastructure juga insentif non finansial. Kalau Indonesia, baru insentif untuk registrasi BBNKB (bea balik nama kendaraan bermotor).”

IESR membuat simulasi dengan tiga skenario terkait berbagai insetif ini. Pertama, bussines as usual (BAU) sesuai kondisi saat ini. Tak ada insentif tambahan selain BBNKB.

Kedua, moderat, dengan insentif keringanan pajak di awal sebesar 12,5% hingga 2024, tak ada pajak tambahan seperti kendaraan konvensional, kualitas bahan bakar minimal euro4, penetapan pajak karbon untuk bahan bakar, pembangunan 28 ribu stasiun pengisian listrik dan 30% diskon untuk pengisian pada malam hari. Skenario dua ini diasumsikan dengan ada dukungan produksi kendaraan listrik dalam negeri.

Ketiga, skenario ambisius dengan pembebasan pajak penuh, penambahan pajak untuk kendaraan konvensional. Pengguanaan bahan bakar minimal euro4, penetapan pajak karbon, penambahan 600.000 stasiun pengisian listrik.

Hasilnya, skenario pertama, penetrasi kendaraan listrik sangat rendah. Hampir tak ada kendaraan penumpang beralih ke kendaraan listrik. Meski sepeda motor listrik akan meningkat cukup cepat hingga 67% pada 2050.

Menurut Julius, karena tak ada produksi mobil listrik dalam negeri, hingga harga tak akan bisa bersaing dengan mobil penumpang saat ini.

Hasil skenario kedua, penetrasi mobil listrik akan meningkat mendekati 20% dan sepeda motor hampir 80%.

“Kualitas BBM setara euro4 akan meningkatkan harga BBM.”

Skenario ini, kata Julius, belum cukup kuat dan tak sejalan dengan target Kementerian Perindustrian yakni 20% penjualan kendaraan listrik dari total kendaraan pada 2050.

Bagaimana dengan hasil skenario ketiga? “Penetrasi mobil dan sepeda motor listrik bisa meningkat jauh mencapai 80-90%,” katanya.

Instrumen paling berpengaruh untuk ini, katanya, pembebasan pajak impor dengan besar bisa mencapai 30% dari harga jual kendaraan. Kondisi ini membantu harga mobil listrik bersaing dengan mobil konvensional.

Untuk sepeda motor listrik, lebih berpengaruh untuk peningkatan penetrasi adalah ketersedian stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

 

Alihkan pembangunan PLTU, fokus ke energi terbarukan, sebagai sumber energi kendaraan listrik. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Pengaruhi emisi

Dampak penetrasi kendaraan listrik terhadap emisi gas rumah kaca masih banyak diperdebatkan. Terutama ketika sumber listrik untuk mengisi daya berasal dari energi fosil yang menimbulkan lebih banyak emisi.

Julius menegaskan, dekarbonisasi dalam jaringan listrik adalah kunci mencapai pengurangan emisi pada kendaraan listrik. Kalau merujuk pada rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019, katanya, pengalihan ke kendaraan listrik justru bikin kenaikan emisi, alih-alih penurunan.

Pengurangan emisi gas rumah kaca, katanya, hanya bisa tercapai dengan berhenti pakai PLTU batubara. Dengan skenario ketiga, yang ambisius, setop penggunaan batubara dalam bauran energi bisa menurunkan emisi 45% lebih banyak dari target RUEN.

Hal lain yang harus dicatat, katanya, pengurangan emisi karena penggunaan kendaraan listrik adalah target jangka panjang.

Untuk itu, pemerintah perlu berhenti menghentikan pembangunan PLTU setelah 2028 dan masa operasioanl PLTU harus dibatasi hanya 20 tahun.

“Penetrasi kendaraan listrik ambisius dapat mengurangi emisi gas rumah kaca 50 juta ton pada 2050. Dengan phase out batubara pengurangan bisa mencapai 70 juta ton. Ini menunjukkan kebijakan sektor ketenagalistrikan akan mempengaruhi seberapa efektif kendaraan listrik sebagai strategi penurunan emisi gas rumah kaca.”

Pengalihan ke kendaraan listrik, selain meningkatkan permintaan listrik juga menaikkan permintaan di beban puncak. Dengan skenario ambisius, beban puncak bisa naik hingga enam gigawatt dengan kenaikan tiga gigawatt per jam kalau pemilik kendaraan mengisi daya saat waktu beban puncak.

Keadaan ini, katanya, harus dihindari dengan menetapkan harga berbeda untuk waktu pengisian berbeda.

Dampak lain, penerapan skenario ketiga ini tentu pengurangan konsumsi minyak sekitar 170 juta barrel pada 2050, atau sama dengan 19% konsumsi BBM dalam RUEN. Menurut IESR, kebijakan ini bisa mengurangi impor minyak 5% pada 2030 dan 11% pada 2050.

“Yang menarik kalau kita melihat proyeksi konsumsi BBM dalam RUEN sebenarnya dengan pengalihan motor dan mobil listrik bisa menutup penambahan konsumi bahan bakar dari transportasi barang dan bus. Bahkan kalau kita mengasumsikan tidak ada kendaraan listrik untuk barang dan bus,” katanya.

Mengenai industri, menurut kajian ini, dengan skenario BAU sangat kecil peluang kendaraan listrik bisa diproduksi dalam negeri. Dengan skenario kedua, moderat, produksi lokal akan bisa tercapai pada 2030-2040. Pada skenario ambisius, penjualan bisa mencapai 100.000 per tahun dalam 3-4 tahun ke depan.

“Akan sangat disayangkan kalau kita tidak bisa mempersiapkan industri dalam negeri, sampai 4-5 tahun ke depan masih akan impor,” katanya.

Julian mengingatkan, akan ada potensi pengurangan pendapatan negara dalam periode krusial 2023-2027, karena terjadi pengurangan pajak pada skenario ambisius 7-20%. Setelah itu, katanya, akan terjadi penambahan penerimaan pajak karena ada tambahan pajak untuk kendaraan konvensional dan BBM.

Untuk biaya investasi pada unit pengisian listrik, IESR menghitung, perlu Rp 500 miliar per tahun untuk membangun infrastruktur ini. Dibandingkan subsidi energi di Indonesia, Rp125 triliun per tahun, angka ini sangat kecil.

Menanggapi kajian ini, Mohammad Mustofa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konservasi Energi BPPT mengatakan, kajian ini cukup menjawab berbagai hal yang jadi perhatian BPPT.

“Beberapa tahun belakangan BPPT fokus pada SPKLU,” katanya.

Peraturan Presiden No 55 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang terbit tahun lalu, fokus pada persiapan industri dalam negeri.

“Kajian ini cukup menjawab dari sisi dekarbonisasinya seperti apa.”

Hanya, katanya, dalam konsep industri persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum jadi parameter.

Hal lain yang perlu jadi perhatian, katanya, model bisnis SPKLU, dalam masa transisi belum begitu menarik investor.

Untuk mengatasi polusi dari pembangkitan listrik, kata Sarinanto, perlu ada skenario pembangkit listrik energi terbarukan skala besar.

“Ada masa-masa transisi 3-5 tahun ke depan sebelum bisa melangkah seperti negara lain,” katanya.

Saat ini, katanya, Kemenko Maritim dan Investasi mendorong berbagi institusi untuk membuat regulasi turunan Perpres 55/2019.

Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia menilai, menerapkan kajian ini pemerintah perlu mensikronkan tata ruang wilayah dengan transportasi terutama untuk angkutan umum massal.

Kendaraan listrik, akan menarik karena 60% masyarakat Indonesia tinggal di perkotaan. “Jika skenario ketiga ini diterapkan, sangat bagus untuk industri otomotif. Untuk kendaraan penumpang parameter utama adalah insentif fiskal, begitu juga sepeda motor karakter SPKLU akan jadi pertimbangan utama,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Mobil listrik di Singapur tengah di tempat pengisian baterai. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version