Mongabay.co.id

Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Kembali Ke Akarnya Asli  [Bagian 5]

Petani memanen tomat di-Desa Batur Kintamani. Tomat merupakan salah satu komoditas utama petani di Kintamani Bangli. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.

Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan, sebaliknya, melupakan pertanian, sebagai akarnya.

Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.

Tulisan ini merupakan bagian kelima dari serial bagaimana anak-anak muda di Bali kini bertani, terutama setelah terjadinya pandemi COVID-19. Tulisan pertama bisa dibaca pada tautan ini. Tulisan kedua bisa dibaca pada tautan ini. Tulisan ketiga bisa dibaca pada tautan ini. Dan tulisan keempat bisa dibaca pada tautan ini.

***

Dampak pandemi COVID-19 di Bali terus berjatuhan. Secara angka, jumlah pasien positif COVID-19 di Bali terus menanjak sejak resmi ditemukan pertama kali pada 10 Maret 2020 lalu. Hingga Jumat, 15 Mei 2020, kasus positif menjadi 343 orang. Pasien sembuh totalnya 232 orang dan meninggal 4. Secara nasional, Bali selalu masuk dalam sepuluh provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.

Meski secara angka, kematiannya termasuk kecil, tetapi Bali mengalami dampak ekonomi parah. Hingga 17 April lalu, terdapat 52.387 karyawan dirumahkan dan 1.204 diputus hubungan kerja (PHK). Nyaris semua hotel dan restoran menghentikan operasinya di Bali. Adapun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang terdampak sebanyak 18.583.

“Jumlah ini akan terus bertambah mengikuti perkembangan di kabupaten/kota masing-masing,” kata Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Bali I Wayan Mardiana sebagaimana ditulis Bisnis Indonesia. Laporan Bank Indonesia Perwakilan Bali juga menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 2020 ini melambat menjadi kisaran 3,7 persen hingga 4,1 persen. Kebijakan untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19, seperti menutup penerbangan internasional dan penghentian visa bagi warga asing menjadi penyebabnya.

baca : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1]

 

Pandemi COVID-19 membuat pariwisata Bali mati suri seperti terlihat di Bukit Jati Karangasem yang biasanya ramai dikunjungi turis. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

“Pandemi COVID-19 mengingatkan kita, Bali ini rapuh sekali. Kayak istana kardus. Begitu terjadi goncangan, pariwisatanya hancur. Semua orang kena PHK. Karena mereka melupakan pertanian,” kata AA Gede Agung Wedhatama, pendiri Forum Petani Muda Keren (PMK) Bali.

Wedha ada benarnya. Ketika pariwisata Bali kian terpuruk, menariknya, nilai ekspor barang dari Bali justru naik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor barang dari Bali melalui berbagai pelabuhan pada Februari 2020 lalu mencapai 50.764.165 dolar Amerika. Nilai itu naik 8,95 persen dibanding bulan sebelumnya atau 4,37 persen dibanding Februari tahun lalu.

Produk pertanian termasuk barang yang tetap diekspor. Pada Minggu, 26 April 2020 lalu, Bali tetap mengekspor 1 ton buah manggis dan 504 kontainer kerajinan ke Uni Emirat Arab lewat Pelabuhan Benoa, Bali. Secara rutin, ekspor buah manggis dari Bali rata-rata 17 ton yang dikirim 2 kali seminggu ke China. Totalnya, hingga minggu ketiga April lalu, total ekspor manggis dari Bali mencapai 799.000 ton atau senilai Rp86 miliar.

Saat melepas ekspor secara virtual, Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan ekspor ini merupakan langkah penting, terlebih di tengah pandemi COVID-19. “Artinya, ekonomi kita tetap menggeliat di tengah situasi seperti ini. Pertanian kita, kerajinan kita di Bali masih tetap berdenyut dan berjalan dengan normal. Bahkan mampu menembus pasar luar negeri,” kata Koster.

Fakta bahwa pertanian justru tetap berdenyut di saat pariwisata Bali itulah yang membuat wacana agar Bali kembali ke pertanian sebagai akarnya pun muncul lagi. Sebab, selama ini Bali dianggap telah melupakan pertanian.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Pantang Menyerah Berusaha [Bagian 2]

 

Selama 20 tahun terakhir, pembangunan lebih ditujukan ke pariwisata di Bali. Akibatnya ketika terjadi krisis seperti pandemi COVID-19 saat ini, ekonomi pun terguncang, seperti terihat di Batur. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Perubahan Peran

Semakin hilangnya peran pertanian dalam ekonomi Bali tersebut semakin terasa setelah Bali kian fokus pada pariwisata. Menurut Made Antara, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, perekonomian Bali telah mengalami tranformasi dari perekonomian agraris ke perekonomian pariwisata. Antara menganalisis, dalam kurun waktu  2010-2017, terjadi pergeseran struktur perekonomian dari sektor primer, yaitu pertanian dalam arti luas, ke sektor tersier yaitu jasa terkait pariwisata.

“Hal ini karena sektor tersier mampu memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) Provinsi Bali dibandingkan sektor primer dan sekunder. Penyerapan tenaga kerja di Bali didominasi sektor tersier, kemudian diikuti sektor sekunder dan sektor primer atau pertanian,” katanya.

Perubahan struktur perekonomian Bali itu sejalan dengan hasil sensus pertanian pada 2003 dan 2013 oleh BPS Provinsi Bali. Selama sepuluh tahun (2003-2013) jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun sebesar 17,09 persen. Dari 492.394 RT pada tahun 2003 menjadi 408.233 rumah tangga pada 2013.

Dalam kurun waktu sama, jumlah rumah tangga pengusaha lahan juga menurun sebesar 16,69 persen. Dari 485.531 menjadi 404.507. Begitu pula dengan rumah tangga usaha pertanian gurem, menurun 17,86 persen dari 313.111 menjadi 257.181. Fakta ini mengindikasikan bahwa pertanian di Bali semakin tidak menarik dan banyak ditinggalkan generasi muda. Mereka lebih tertarik bekerja di bidang pariwisata.

“Akibatnya pertanian di Bali semakin melemah,” ujar Antara.

Menurunnya jumlah petani kemudian diikuti dengan melemahnya peran pertanian terhadap PDRB Bali. Menurut BPS Bali terbaru, kontribusi pertanian terus menurun selama sepuluh tahun terakhir, 2010 hingga 2019. Dari 17 persen menjadi 13 persen. Sebaliknya, peran pariwisata justru terus naik dari 45 persen pada 2010 menjadi 47 persen. Perbandingan itu makin besar ketika melihat data pada 2008, di mana pariwisata hanya menyumbang 24 persen pada PDRB Bali, sementara pertanian 32 persen.

“Akibatnya, ketika pariwisata kolaps terkena dampak COVID-19, maka perekonomian Bali juga kolaps,” ujarnya.

baca : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Petani mengelola kebun jeruknya di Bangli. Rumah tangga petani di Bali terus menurun seiring berkurangnya peran sektor ini terhadap PDRB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Harus Seimbang

Menurut Guru Besar Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Bali Made Kembar Sri Budhi, struktur ekonomi Bali saat ini memang sangat tergantung pariwisata. Akibatnya, ketika pariwisata terpuruk, dampaknya sangat terasa pula pada ekonomi makro Bali. Misalnya daya beli masyarakat dan kemampuan untuk membayar kredit juga terus menurun.

“Akhirnya semua sektor akan terkena. Kalau terjadi dalam jangka panjang, maka akan terjadi resesi ekonomi,” katanya.

Meskipun demikian, Made Kembar melanjutkan, pertanian Bali justru menunjukkan daya tahan. Sektor ini memang mengalami dampak akibat mandeknya pemasaran produk pertanian ke hotel dan restoran yang tutup, tetapi di sisi lain juga kebutuhannya tetap tinggi terutama di kalangan rumah tangga. Selain itu, produk pertanian juga terhenti karena tidak bisa impor sehingga produk lokal bisa mengambil peran itu.

Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuka jalur distribusi yang ditutup selama pandemi. Saat ini, desa-desa di Bali memang melakukan penutupan wilayah (karantina) untuk mencegah penularan COVID-19. Hal ini terutama terlihat di pusat produksi pertanian, seperti Plaga, Kintamani, dan sekitarnya. Akibatnya, produk pertanian mereka tak bisa keluar dan sarana produksi juga tak bisa masuk.

“Bagaimana bisa berproduksi kalau mereka tidak dikasih keluar. Rantai nilainya bisa terhambat juga,” kata Kembar.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Terintegrasi Teknologi Informasi [Bagian 4]

 

Akibat penutupan desa-desa untuk mencegah penularan COVID-19, disribusi produk pertanian di Bali pun terhambat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk dalam jangka pendek, menurut Kembar, jalur-jalur distribusi produk pertanian di Bali harus tetap dibuka dan dijamin oleh pemerintah. Dengan demikian produk pertanian masih bisa terserap oleh pasar.

Dalam jangka panjang, Kembar menambahkan, pemerintah Bali perlu lebih serius mengembangkan sektor pertanian. Misalnya dengan investasi di tingkat hulu dan perlindungan harga di tingkat hilir. Saat ini pemerintah lebih fokus pada investasi di bidang pariwisata, tetapi cenderung melupakan sektor pertanian. Padahal, jika ada investasi di bidang pertanian, Bali juga potensial menghasilkan produk-produk pertanian berkualitas yang bisa bersaing dengan negara tetangga, seperti Thailand dan Australia.

“Boleh saja investasi pada pariwisata, tetapi harus seimbang dengan investasi bidang pertanian,” tegasnya.

Setelah dukungan investasi di hulu, perlu juga adanya jaminan pemasaran dan harga. Selama ini perlindungan terhadap pertanian di Bali lebih kecil dibandingkan sektor lain. Kalau musim panen, harganya pasti jatuh. Padahal harga sarana produksi relatif stabil. Petani pun tak bisa mendapatkan keuntungan dan bahkan sering rugi.

Pemerintah Bali perlu membuat semacam buffer stock semacam Bulog untuk memasarkan produk-produk petani, terutama hortikultura. Dengan begitu petani bisa fokus pada produksi sedangkan yang menjual lembaga lain. “Kalau diserahkan pada mekanisme pasar, ya, harganya labil. Harga bisa jatuh. Petani pun jadi bangkrut,” lanjut Kembar.

Komang Sri Mahayuni, aktivis Yayasan IDEP yang selama ini mendampingi petani di desa-desa Bali, juga mengatakan hal senada. Krisis akibat pandemi COVID-19 di Bali seharusnya bisa menjadi pengingat bahwa Bali harus kembali melihat pertanian. “Mau tidak mau, suka tidak suka, pertanian terbukti lebih memiliki daya tahan dan secara ekonomi juga berkelanjutan. Sekaranglah pembuktian bahwa Bali harus kembali ke pertanian, untuk mencukupi kebutuhan pangan maupun ekonomi warganya,” tegas Mahayuni.

 

Pasangan petani bekerja di kebunnya. Meskipun pendapatannya lebih kecil, bekerja di pertanian terbukti lebih berkelanjutan dan memiliki daya tahan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

***

Keterangan foto utama : Petani memanen tomat di-Desa Batur Kintamani. Tomat merupakan salah satu komoditas utama petani di Kintamani Bangli. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version