Mongabay.co.id

Masa Pandemi Corona, Pemerintah Mesti Serius Serap Sagu Papua

Sagu produksi warga Kota Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Dunia termasuk Papua, tengah mengalami krisis kesehatan gara-gara kedatangan wabah Virus Corona (Coronavirus Disease 2019/COVID-19) ini. Di tengah pandemi ini, ketersediaan pangan harus terjamin agar tak terjadi krisis pangan. Mirisnya, di tengah maha penting pasokan pangan, sumber lokal seperti sagu malah lesu karena produksi tak terserap pasar. Pemerintah diminta menyerap pangan, seperti sagu hasil panen warga (petani).

Pandemi berdampak permintaan sagu lesu seperti terjadi di Kota Jayapura. Adalah Kelompok Usaha Bersama Gakurakucho di Kampung Skouw Yambe Distrik Tami. Anggotanya, warga yang didampingi langsung Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Jayapura. Pada 2019, kelompok ini banyak menanam sagu. Sejak Januari 2020, mereka mulai memproduksi tepung sagu.

“Sangat berpengaruh wabah ini. Penjualan juga menurun. Kita kalau sebelum COVID bisa pasarkan sampai 35 karung. Sekarang kena 25 [karung] dalam satu hari,” kata Fanny Runtuboy, Ketua kelompok juga bertugas untuk pemasaran.

Sagu Kelompok Gakurakucho dipasarkan secara online. Ada juga pembeli datang langsung ke lokasi produksi. Untuk wilayah sekitar Kota Jayapura seperti Abepura, Waena, Sentani, kena biaya transportasi Rp50.000.

“Yang pesan sagu di kita itu biasa mama-mama yang ada bakar sagu di pantai itu. Mereka juga karena keadaan ini tidak berjualan jadi kita juga setengah mati dan sangat mengganggu di pemasaran.”

Karena itu, kelompok ini mengurangi jam kerja dari tiga hari dalam seminggu jadi hanya dua hari. Kondisi ini  sesuai anjuran pemerintah untuk mengurangi aktivitas di luar rumah.

Anggota kelompok ada 30 orang. Sepuluh perempuan. Mereka memakai dua mesin pemotong dan dua mesin parut. Lahan sagu yang diproduksi milik warga. Sagu dibeli dari pemilik harga Rp700.000 perpohon. Proses selanjutnya mulai dari membuka kulit batang, angkut ke lokasi produksi, parut, tapis, peras hingga mengemas hasil ke dalam karung siap jual, semua oleh anggota kelompok.

Pada masa normal, kelompok ini bekerja tiga hari dalam seminggu. Dalam sehari mereka bisa menebang dua atau tiga batang. Mereka sudah menetapkan target dalam sebulan hanya menebang sekitar 31 sagu.

“Jumlah tepung yang dihasilkan dari satu batang tergantung jenis sagu. Sagu berduri 7-8 karung. Tidak berduri 5-8 karung.”

Karung yang dimaksud adalah karung beras ukuran 15 kg yang kalau diisi tepung sagu basah mencapai 30 kg. Sagu dengan ukuran ini lalu dijual Rp300.000.

 

Mama-mama anggota Kelompok Gakurakucho, tengah olah sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pasokan sagu

Di Kota Jayapura, Papua, luas lahan sagu sekitar 200 hektar. “Kita punya sebaran sagu di Yoka, Koya Koso, Moso, Holtekamp, Skouw Mambo, Skouw Yambe, dan Skouw Sae,” kata Jean Hendrik Rollo, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kota Jayapura.

Sebaran lahan sagu ini ada di wilayah masyarakat adat Kota Jayapura. Sebelumnya, lahan sagu jauh lebih luas, namun berkurang karena alih fungsi terutama untuk pembangunan infrastruktur.

Mirisnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Jayapura 2019, tidak mencantumkan luas lahan dan produksi sagu. Yang tersedia hanya padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar.

Luasan lahan sagu yang disampaikan Rollo, lebih sedikit dibandingkan lahan padi mencapai 550 hektar dengan produksi 2.200 ton dalam setahun. Pada 2019, penduduk Kota Jayapura 297.775 jiwa dengan keluarga 70,094. Rata-rata konsumsi 120 kg perkapita pertahun, produksi padi di Kota Jayapura hanya memenuhi 10% keperluan. Sisanya, dari luar Kota Jayapura.

Jean bilang, konsumsi beras tinggi tidak lepas dari pergeseran konsumsi pangan lokal. Meski sagu dikenal sebagai makanan pokok orang asli Papua pesisir, namun kebiasaan mengkonsumsi sagu makin berkurang bahkan di kalangan penduduk asli.

“Bergesernya ekstrim. Kita lihat dari perhatikan dari pergerakan di pasar. Kalau pergerakan lambat berarti konsumsinya lambat.”

Dalam satu hektar lahan sagu, sekitar 100 tegakan siap panen dengan total berat basah mencapai 15 ton. Untuk 2020, kata Jean ada sekitar 900 batang sagu dengan total 850 ton siap panen.

Ada dua pokja sagu kini didampingi Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kota Jayapura. Keduanya ada di Skouw Sae dan Skouw Yambe Distrik Muara Tamu.

Jean mengukur penjualan sagu dari kedua kelompok ini mencapai 40 karung dalam seminggu dengan total 1,2 ton tepung tepu sagu basah.

 

Sagu basah sia[ kemas dalam karung. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Giatkan pangan lokal

Mencegah agar tidak terjadi krisis pangan, Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua, mengingatkan, pemerintah untuk mulai menggerakkan warga agar menanam lagi tanaman pangan lokal. Kebijakan pembagian pangan selama masa wabah COVID-19 untuk warga terdampak, harus juga disertai pembagian bibit tanaman pangan. Lahan-lahan kosong di Kota Jayapura ada harus dimanfaatkan sebagai lokasi penanaman.

“COVID belum tentu selesai hanya tiga sampai empat bulan. Itu akan menimbulkan kekurangan pangan bukan hanya skala nasional tapi internasional. Kita tidak bisa berharap pada impor beras dari Vietnam, Thailand karena mereka juga mulai menyimpan stok untuk negara mereka sendiri.”

Wabah COVID ini, katanya, jadi peringatan kepada pemerintah dan warga, sejauh mana kemampuan memproduksi pangan sendiri. Apalagi, Kota Jayapura luas lahan pangan belum mampu memenuhi kebutuhan pangan ratusan ribu warganya.

Untuk itu, katanya, ketersediaan sagu, ubi, keladi sudah harus pemerintah pikirkan terutama Badan Urusan Logistik (Bulog). Bulog diminta mensurvei ketersediaan pangan di lahan masyarakat, menampung hasil produksi warga untuk didistribusikan kembali.

Charles juga meminta pemerintah melindungi lahan dan hutan yang jadi sumber pangan selama ini. Pembangunan infastruktur penting, katanya, tetapi harus dengan tata kelola yang baik hingga tidak semua lahan tertutup bangunan.

“Saya sudah bicara itu empat tahun lalu untuk Pergub Perlindungan Sagu di Papua dan Papua Barat. COVID ini bagian dari titipan Tuhan untuk kita melihat kembali apa yang kita punya. Bahwa, yang sudah ada sejak lama inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat modern.”

Mengenai produksi pangan di Kota Jayapura, Jean menyatakan, sejauh ini COVID-19 tidak mengganggu kegiatan petani baik tanam, perawatan, maupun panen. Petani, yang sebagian besar skala rumah tangga masih beraktivitas dengan tetap mengikuti anjuran pemerintah untuk menjaga jarak dan tidak berkelompok.

Informasi dari beberapa warga Kota Jayapura, Pemerintah Kota Jayapura melalui rukun tetangga (RT) sudah mulai mendata warga dengan mengumpulkan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk. Warga juga tampak mulai berjaga-jaga dengan membuka lahan menanam tanaman ubi dan sayuran. Warga kota yang tidak memiliki lahan juga ikut menanam dengan memanfaatkan pot-pot di pekarangan mereka.

 

Keterangan foto utama: Sagu produksi warga Kota Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Petani sedang tebang sagu. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version