Mongabay.co.id

Berkolaborasi Selamatkan Mangrove di Sulawesi

Aksi penanaman mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019) oleh puluhan mahasiswa dari Aquaculture Celebes Community (ACC), dan pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Ade Saskia Ramadina gundah setengah mati. Ia memperlihatkan hamparan mangrove yang telah rata dengan tanah. Tersisa hanya sedikit akar yang belum sempat dipindahkan. Upaya bertahun-tahun dilakukannya dan warga setempat ludes dalam sehari.

“Lokasinya yang agak jauh dari pemukiman membuat agak susah dikontrol. Kami baru tahu ada penebangan itu setelah beberapa hari kemudian,” katanya, Minggu (10/5/2020).

Untunglah kasus mangrove yang terjadi di Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan itu segera ditangani pihak berwajib setelah menjadi sorotan publik.

Kabar terakhir, adanya pernyataan dari pihak kejaksaan yang akan mengusut tuntutan kasus ini, terkait dugaan korupsi dalam penerbitan sertifikat hak guna milik lahan, yang menjadi justifikasi pihak PT. Tompo Dalle dalam melakukan aktivitasnya.

Meski kasusnya telah berjalan dan sanksi administrasi pun telah diberikan, Ade melihat upaya mereka mengawal kasus ini tidak sampai di sini saja. Ancaman serupa bisa saja terjadi jika tidak ada upaya untuk mengawal dan terus mengampanyekannya.

“Saya bersama teman-teman sedang menyusun gerakan bersama untuk terus mengawal mangrove di daerah kami ini. Kasus ini bisa menjadi momentum bagi warga dan generasi muda di sini untuk lebih peduli pada mangrove,” ungkapnya.

baca : Kasus Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar Terus Diusut, Aktivis Harap Ada Sanksi Pidana

 

Kasus penghancuran mangrove di Lantebung Makassar menyadarkan berbagai pihak perlunya upaya bersama dalam rangka menyelamatkan mangrove, khususnya di Sulsel. Foto: Ade Saskia/Mongabay Indonesia.

 

Upaya menjaga dan terus memedulikan mangrove ini, menurut Ade, bukanlah hal yang mudah. Sebagian warga belum melihat perlindungan mangrove sebagai hal yang penting, padahal banyak manfaat yang bisa diperoleh secara ekonomi.

“Kadang merasa putus asa juga dan kami malah sering disebut orang gila,” katanya frustrasi.

Ade dan teman-temannya dalam komunitas Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL) kini tengah merancang aksi bersama penyelamatan mangrove dan berharap ini tidak hanya akan berlaku untuk Lantebung saja, tetapi di Sulawesi Selatan pada umumnya.

Tidak hanya Ade, kepedulian terhadap mangrove ditunjukkan oleh Idham Malik. Melalui aktivitasnya di WWF Indonesia di Sulawesi Selatan, ia memobilisasi berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat dan mahasiswa untuk peduli terhadap pelestarian mangrove.

Sepanjang 2017-2020, bersama sebuah komunitas yang dibentuknya berhasil melakukan penanaman mangrove di sepanjang pesisir utara Sulsel, di 9 kabupaten/kota. Jumlah bibit yang ditanam mencapai 128.685 bibit, dengan total mangrove yang tumbuh dengan baik mencapai 62 persen, atau sekitar 115.068 pohon.

Menurutnya, meski telah ada kesadaran berbagai pihak dalam menanam mangrove, namun ia masih menemukan beberapa kegiatan penanaman mangrove hanya bersifat seremonial saja.

“Ada sebuah kegiatan di mana jumlah orang yang terlibat lebih banyak dibanding mangrove yang ingin ditanam. Kebanyakan yang datang malah hanya untuk foto selfie lalu pulang tanpa melakukan apa-apa,” katanya.

baca juga : Pengrusakan Mangrove di Lantebung Makassar, Bukti Lemahnya Penegakan Hukum di Wilayah Pesisir

 

Perlu didorong upaya-upaya pengelolaan mangrove berkelanjutan di tingkat tapak, karena bekerja bersama dengan semua pihak adalah kunci dari pengelolaan mangrove berkelanjutan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ia juga menyesalkan adanya wilayah yang telah ditanami mangrove kini malah dirusak oleh pejabat pemerintah sendiri, seperti di Kabupaten Pangkep, di mana kawasan mangrove dibongkar dikonversi menjadi tambak.

Meski menghadapi banyak tantangan, Idham melihat upaya kolaborasi tetap penting dilakukan, termasuk membangun komitmen berbagai pihak untuk turut melestarikan mangrove sebagai benteng pesisir.

Menurutnya, pengalaman kasus Lantebung dan sejumlah kasus perusakan mangrove lainnya demi kegiatan pembangunan menjadi peringatan penting betapa rentannya mangrove ini dari upaya-upaya penghancuran.

“Semua pihak harus bergerak bersama, termasuk pemerintah harus bisa lebih tegas dalam menerapkan kebijakan perlindungan mangrove ini. saya pikir banyak kebijakan nasional yang bisa diadopsi di tingkat lokal,” katanya.

 

Ancaman dan Upaya Pelestarian

Menurut Yusran Nurdin Massa, peneliti senior dari Blue Forests, kondisi mangrove di Indonesia saat ini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan, sehingga butuh upaya khusus untuk perlindungannya.

“Kondisi mangrove di Indonesia kita mengalami tekanan yang cukup berarti, di mana sekitar 40% mangrove Indonesia hilang dalam 3 dekade terakhir. Mayoritas disebabkan oleh alih fungsi menjadi peruntukan lain utamanya pengembangan tambak dan belakangan terkait pembangunan di kawasan pesisir, seperti pelabuhan, kawasan industri dan prioritas pemerintah kabupaten lainnya,” ungkapnya.

Ancaman alih fungsi mangrove memang masih saja menjadi masalah utama di Indonesia, termasuk di Sulsel. Baik itu di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.

“Ancaman sangat nyata terutama terjadi di luar kawasan hutan atau lahan berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) di bawah kewenangan pengelolaan pemerintah kabupaten atau kota. Luas mangrove di kawasan ini mencapai 1.2 juta hektar,” jelasnya.

Menurutnya, kawasan ini diatur peruntukannya di dalam RTRW Kabupaten/kota. Peruntukan APL disesuaikan prioritas pemerintah. Biasanya kawasan mangrove ditetapkan sebagai kawasan sempadan pantai atau lindung setempat sebagaimana diatur dalam Perpres 51 tahun 2016 tentang sempadan pantai.

“Daerah yang belum memasukkan wilayah sempadan pantai minimal 100 m atau sesuai kerentanan atau mitigasi bencana dalam 5 tahun harus merevisinya dalam RTRW.”

perlu dibaca : Mangrove Terjaga, Kesejahteraan Nelayan Meningkat di Lantebung

 

Lantebung adalah kawasan wisata mangrove yang banyak dikunjungi warga di akhir pekan. Kawasan ini menjadi lokasi penanaman mangrove berbagai pihak, termasuk Pemprov, Pemkot, TNI, BUMN, mahasiswa, komunitas , dll. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Yusran menjelaskan bahwa sejak 2010 kondisi ini menjadi keresahan bersama penggiat, praktisi, akademisi dan pemerintah, bagaimana mendorong sinergi dan koordinasi untuk pengelolaan mangrove lestari, serta mengendalikan pemanfaatan dan mendorong pelestarian melalui sinergi semua pihak.

“Hal ini yang melandasi lahirnya Perpres No.73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove atau SNPEM, agar semua strategi makro pengelolaan mangrove dirumuskan bersama sehingga konflik, tumpang tindih kewenangan bisa diatasi.”

Wujud nyatanya juga melalaui pembentukan KKMN (Kelompok Kerja Mangrove Nasional) yang diisi multi pihak untuk bekerja bersama. Kelembagaan ini juga dibentuk di daerah baik kabupaten dan provinsi, untuk semangat yang sama, pengelolaan mangrove lestari yang menyinergikan langkah para pemangku kepentingan.

“Sayangnya, perlindungan mangrove belum menjadi prioritas pemerintah daerah. Kalah saing dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi dan peruntukan lain. Banyak kawasan mangrove dialihfungsikan menjadi kawasan gudang, pemukiman atau peruntukan lain. Lihat saja misalnya di kota-kota besar seperti Makassar, Batam dan lain-lain,” katanya.

Terkait aktivitas lembaganya Blue Forests, Yusran menjelaskan bahwa selama ini mereka mendorong lahirnya upaya-upaya pengelolaan mangrove berkelanjutan di tingkat tapak, karena bekerja bersama dengan semua pihak adalah kunci dari pengelolaan mangrove berkelanjutan.

“Hanya dengan berkolaborasi energi dan intensi bersama bisa disatukan untuk mencapai maslahat bersama. Kami sangat fokus untuk membangun contoh-contoh baik di tingkat tapak, di level desa,” katanya.

Blue Forests juga belajar bersama dengan masyarakat untuk mengelola mangrove bentuknya melalui Sekolah Lapang, Pendidikan Lingkungan Hidup, FMLG, dan lain-lain.

“Melestarikan dengan memanfaatkan secara baik, mengelola sembari melindungi dan merehabilitasi yang rusak. Menguatkan pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola mangrove dan mempromosikannya untuk menjadi rujukan.”

baca juga : Begini Pemberdayaan Nelayan Sekaligus Pelestarian Mangrove Dengan Ekominawisata di Lantebung. Seperti Apa?

 

Mangrove penting dilestarikan karena peranannya yang sangat penting untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Dalam hal ini mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon atau 1/3 stok karbon pesisir global. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

 

Blue Carbon sebagai Solusi

Menurut Yusran, pentingnya mangrove dilestarikan karena peranannya yang sangat penting untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon atau 1/3 stok karbon pesisir global.

Sehingga, lanjutnya, penting untuk mengangkat isu blue carbon dalam kerangka pengendalian pemanfaatan ekosistem mangrove di Indonesia. Carbon sequestration mangrove lima kali lebih besar dari vegetasi hutan tropis. Apalagi carbon stock yang mencapai 10 kali lebih besar dari hutan tropis. Dengan potensi penyerapan karbon sebesar 1025 Mq C per hektar per tahun, mangrove vital perannya untuk isu pengurangan emisi karbon.

“Jika kita mampu mencegah deforestasi mangrove di Indonesia kita bisa memenuhi 1/4 dari 26 persen target pengurangan emisi karbon NDC dengan usaha nasional. Sangat besar tentunya,” tambahnya.

Hanya saja, tambahnya, justru kondisi saat ini kontraproduktif dengan tingginya laju deforestasi mangrove di Indonesia. Beberapa catatan menunjukkan angka 20.000 ha per tahun dan sebagian menyatakan 52.000 ha per tahun.

***

 

Keterangan foto utama : ilustrasi. Aksi penanaman mangrove di kawasan wisata mangrove Dewi Biringkassi, Desa Bulu Cindea, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu pagi (7/4/2019) oleh puluhan mahasiswa dari Aquaculture Celebes Community (ACC), dan pencinta alam Greenfish Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version