Mongabay.co.id

Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi

 

 

 

 

Wabah Virus Corona menyebar dengan cepat. Sebanyak 215 negara terinfeksi dan mengakibatkan ratusan ribu kematian. Roda ekonomi berjalan lambat, rantai pasokan komuditas terhambat. Di Sulawesi Selatan, toko, pasar, pedagang kaki lima, buruh, hingga sektor wisata seperti terhantam benturan keras. Wabah ini, menyerang hingga ke pelosok negeri, dari mulai pusat kota, hingga ke titik terpencil.

Lima tahun sebelumnya, melalui jejaring Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pemerintah sedang marak membuat program kampung wisata. Sebuah konsep panduan berlibur yang melibatkan orang-orang dalam kampung. Wilayah yang memiliki keindahan alam dan kelestarian budaya yang terjaga.

Awal Mei 2020, ketika saya mengunjungi Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, sebuah kampung wisata berkeliling karst sedang sepi. Pemerintah daerah menutup semua lokasi wisata pada 17 Maret 2020, termasuk Bantimurung dan Taman Prasejarah Leang-leang.

Awalnya, Rammang-rammang dikenal sebagai kawasan yang menolak tunduk pada izin usaha pertambangan marmer. Gunung (Bulu’) Baraka, yang berdiri tepat di Sempadan Sungai Pute, jadi sasaran. Warga khawatir, kalau gunung runtuh, nasib mereka akan sama dengan kampung tetangga di Desa Tukamasea, yang diliputi debu oleh pengolahan pabrik semen Bosowa.

Tak hanya itu, di tebing Bulu Baraka, memiliki situs prasejarah Leang Batu Tianang. Goa itu punya banyak aretfak, mulai sampah dapur, hingga lukisan dinding. Gambar di dinding goa ini beragam, dari cap tangan, hewan laut yang mirip teripang, hingga figur manusia. Lukisan di situs ini juga punya dua warna, hitam dan merah.

 

Suasana di Sungai Pute Rammang-rammang yang sepi tanpa hilir mudik pengunjung. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Tak mengherankan, pada 2011, beberapa mahasiswa arkeologi, ikut serta menolak tambang itu. Warga dan beberapa elemen lembaga serta kemonitas, berembug bersama. Di dekat Bulu Baraka, mereka membangun tenda dan menjaga kawasan seluas 33 hektar, agar tak tersentuh. Bersama warga, mereka melayangkan surat ke Bupati Maros pada 21 Juli 2011, menentang rencana izin pertambangan marmer oleh PT Grasada Multinasional. Perjuangan membuahkan hasil, pada 2013, perusahaan hengkang.

Saya berdiri di Dermaga Kampung Rammang-rammang pada Sabtu, 9 Mei 2020, menghadap Bulu Baraka. Ada elang alap terbang santai, lalu hinggap di pepohonan. Di pohon lain, kirik-kirik Australia terbang menawan memamerkan sayap yang berwarna cerah. Di ceruk tebing yang tinggi, kalau beruntung akan melihat kawanan monyet berlarian.

Rasanya melihat Rammang-rammang tenang, sungguh membuat hati damai. Seperti puluhan tahun lalu ketika mengunjunginya pertama kali. Saat aliran Sungai Pute beriak karena kipas mesin kapal dan dorongan dayung kapal.

Warga tampak menyambangi lahan pada pagi hari hingga menjelang siang, kembali lagi pada sore hari. Di Kampung Berua, orang-orang menanam padi di petak masing-masing. Ketika lelah, mereka duduk di pematang sawah sambil berbagi cerita. Hal yang sungguh sukar ditemukan lima tahun belakangan ketika wisata sudah ramai.

Di Berua, persawahan mengandalkan pengairan dari hujan. Setahun mereka panen dua kali. Selain sawah basah, warga juga mengelolah tambak. Melepas bandeng, atau ikan air tawar seperti mujair.

Tambak-tambak warga berada di pinggiran Sungai Pute, yang menyediakan persediaan air sepanjang waktu. Sungai ini, berhulu di koridor dinding karst di ujung Kampung Berua. Air itu menerobos rekahan batuan, mengalir kecil, lalu membesar membentuk sungai, hingga bermuara di laut, dengan jarak garis lurus sekitar 20 km.

Sungai Pute ini, mengikuti gelombang pasang surut air laut. Pagi hari, permukaan sungai akan tinggi dan menjelang sore akan kembali rendah. Airnya yang payau membebaskan ikan muara terlihat melintas di bawah permukaan. Nipah dan beberapa jenis mangrove berjejer di sepanjang aliran.

Jelajah sungai dengan perahu katinting inilah yang jadikan atraksi wisata di Rammang-rammang menyenangkan. Untuk mengaksesnya, dari Makassar jarak tempuh dengan sepeda motor sekitar satu jam. Rammang-rammang punya dua dermaga. Hingga 2019, perahu bermesin mencapai 200 unit.

Tahun 2018, pengunjung Rammang-rammang mencapai 74.708 orang, pada 2019 turun jadi 50.000 orang. Jumlah itu, dalam hitungan pengelola kawasan putaran uang yang masuk mencapai Rp7,4 miliar, dengan asumsi setiap pengunjung mengeluarkan antara Rp100.000-Rp150.000, dari mulai jasa parkiran, sewa perahu, hingga makanan.

Muhammad Ikhwan, pengelola dan penggagas awal kawasan wisata mengatakan, pandemi Corona, memberi ruang kepada warga kembali berpikir. “Bahwa, wisata bukanlah tujuan utama. Identitas orang Rammang-rammang adalah petani. Itu yang harus utama,” katanya.

Menikmati kesejukan karst di Rammang-rammang hanyalah titik kecil dalam bentangan karst Maros dan Pangkep yang mencapai 44.000 hektar. Di kawasan karst itu termasuk zona lindung Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, goa-goa prasejarah, kampung-kampung tua, tambang marmer, dan tambang semen. “Di bentangan karst Maros-Pangkep, ada banyak lebih indah dari Rammang-rammang. Tapi ingat, di Rammang-rammang dengan kekuatan dan keteguhan warganya, mereka menyelamatkan sumber kehidupan,” kata Ikhwan, yang akrab disapan Iwan Dento.

 

Warga menanam padi di Kampung Berua, Rammang-rammang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Wisata hanya bonus

Syahril adalah petani muda di Kampung Berua. Dia lahir 1989. Di depan rumah orangtuanya, dia sedang menanam padi. Syahril membentangkan tali nilon dan menarik garis lurus, satu persatu bibit padi dia tancapkan ke tanah. “Beginilah jadi petani. Menanam, panen dan makan hasil sendiri. Tenang,” katanya.

Syahril seperti sedang memberi pernyataan filosofis, tetapi tak mengada-ngada. “Di Berua, kami tak menjual padi. Kami simpan dan makan sendiri. Itulah kenapa kami tahu sumber makanan sendiri, saya kira itu cukuplah.”

Kini, Rammang-rambang sudah menjelma sebagai kampung wisata. “Seandainya tidak ada Corona, pasti kita sudah liat banyak orang lalu lalang. Ada baiknya, ada kurang baiknya. Jadi harus cepat-cepat bekerja di sawah, nda enak juga dilihat-lihat orang yang berkunjung,” katanya.

Di warung milik keluarga Syahril, yang sepi, sudah tak menyediakan cemilan dan pemesanan kopi atau mie rebus. Bangunan itu berdiri di atas lahan sawah. “Kalau belum tutup wisata, warung bisa ramai. Apalagi sebelum puasa, biasa akan sangat ramai. Setelah Lebaran juga akan membludak. Tahun ini pasti tidak ada pengunjung,” katanya.

“Orang-orang mulai terbiasa dengan jasa wisata. Uang berputar dengan cepat. Tapi pandemi ini, menyadarkan saya, kalau ini tidak selamanya.”

Kami menghadap ke tebing karst yang menjulang kokoh. Ada beberapa ceruk terlihat. Salah satunya sarang kelelawar. “Di sana, kotoran kelelawar itu menumpuk banyak sekali. Orang tua kami menggunakan untuk pupuk di sawah.”

Ketika penjualan pupuk makin tinggi, dan menerobos masuk ke pelosok, warga mulai meninggalkan penggunaan kotoran kelelawar. Pupuk kimia bisa dengan praktis. Angkut, sobek karung, lalu tebar. “Praktis,” kata Syahril.

Sementara kotoran kelelawar di tebing karst, harus berusaha lebih tekun. Harus memanjat dan hati-hati. Kotoran itu, juga harus dipilih dengan cermat, gunakan lapisan yang sudah mengendap lama, bukan kotoran baru.

“Ada banyak orang utang pupuk. Saya pikir kenapa tidak pake pupuk kelelawar itu lagi? Kini saya dan tiga orang teman memulainya. Pelan-pelan saja,” katanya.

Pertanian alami, begitulah Syahril memahami konsep itu sekarang. Padahal, orangtua mereka sudah melakukan sejak awal. Akhir 2019, dia ujicoba kembali. Menanam di petak kecil, dengan luasan tak sampai 100 meter persegi. Kotoran kelelawar itu dia fermentasi. Setelah panen, hasil sampai satu karung. “Akhirnya, ada kebanggaan sendiri memakan beras seperti masa kecil,” katanya.

 

Karst seperti tandon raksasa air, digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Iwan Sumantri, arkeolog cum antropolog Universitas Hasanuddin, mengatakan, akses banyak orang menuju Rammang-rammang, menjadi pintu masuk perubahan budaya. Dari yang seharusnya identitas pertanian ke pelaku wisata. “Nilai positif dari pandemi COVID-19 ini seperti alarm, untuk melihat kembali. Berhenti sejenak berpikir jika wisata hanyalah kegiatan sampingan,” katanya.

Sumantri, mengunjungi Rammang-rammang sejak awal 1990-an. Sebelumnya, Husni Siame, mahasiswa arkeolog telah mengeksplor Rammang-rammang antara 1985-1986, dan menemukan beberapa lukisan dinding di Goa Karama, termasuk gambar cumi-cumi.

“Sejak saat itu, perhatian beberapa arkeolog mulai melirik kawasan itu,” kata Sumantri.

Pada masa-masa awal penelitian, akses Rammang-rammang hanya bisa dengan perahu melalui Pasar Kali Bone di Jalan poros Maros-Pangkep. Lalu, perusahaan semen Bosowa membuka akses (sebagai jalan utama arus lalu lintas barang) dan membangun jembatan di Salenrang. Setelah itu, pembukaan jalan desa dari gardu listrik PLN, menembus Rammang-rammang bersisihan dengan situs Batu Tianang.

Bagi Sumantri, temuan artefak situs di Rammang-rammang, adalah bukti peradaban untuk mengukuhkan identitas warga. Manusia yang menghuni kawasan ini diperkirakan antara 5.000-7.000 tahun lalu. Bersamaan dengan kedatangan para penutur Austronesia ke Sulawesi.

Kedatangan bangsa penutur Austronesia di Sulawesi identik dengan pertanian dan domestikasi. “Jika sekarang, warga kembali melakukan aktivitas sama seperti sebelum wisata marak, itulah mereka,” katanya.

Wisata, menciptakan putaran uang dengan cepat juga mengubah pola pikir dengan cepat. “Di Rammang-rammang, jika bukan akhir pekan, saat minat pengunjung hanya ada puluhan, anak muda yang menjalankan perahu menunggu di dermaga. Mengisi waktu dengan bermain kartu,” kata Sumantri.

Pada 9 Mei 2020, menjelang magrib saya meninggalkan Rammang-rammang. Langit mulai jingga disapu cahaya senja dan pucuk-pucuk punggungan karst seperti bercahaya. Sebuah tempat nan tenang, dan menyimpan sikap untuk menolak tunduk.

 

 

Keterangan foto utama: Ketika wisata sepi dampak pandemi Corona, warga lebih banyak mencurahkan waktu bertani. Mereka merenung, bahwa, bertanilah, yang telah turun menurun mereka lakukan, bukan wisata.

Exit mobile version