Mongabay.co.id

Menelisik Sumber Dentuman di Jakarta dan Jawa Tengah. Darimana Asalnya?

Suara yang menyerupai dentuman yang berlangsung berkepanjangan telah terdengar dini hari sesaat pasca pemberlakuan PSBB di bulan April lalu di kawasan DKI Jakarta. Peristiwa itu sebulan kemudian berulang kembali di kawasan Solo-Sragen dan Boyolali.

Dentuman di Jakarta sendiri penulis rasakan langsung. Dentuman terjadi mulai terjadi sekitar 00.45 hingga 01.39 WIB (11/04). Penulis melihat sendiri kaca sekitar tempat tinggal penulis yang berada di Kawasan Bintaro, -perbatasan DKI Jakarta dan Tangerang Selatan, bergetar beberapa kali.

Suara getaran itu mengikuti suara dentuman yang terdengar sangat jauh. Suaranya menyerupai suara ledakan senjata (seperti suara bom) yang berasal dari jarak radius sekitar 25-100 kilometer. Menilik arah sumber, sepertinya suara berasal dari arah barat atau barat laut arah Jakarta.

Sebulan kemudian, peristiwa yang sama terjadi di sekitar Boyolali, Solo dan Sragen (11/05) Jawa Tengah. Seperti suara di Jakarta, hingga kini pun masih belum ada kejelasan asal suara dentuman.

Dalam tulisan ini, dengan ilmu yang dimiliki, penulis coba untuk menelisik beberapa potensi asal sumber suara yang dapat membuat fenomena itu terjadi.

Kemungkinan pertama suara dentuman berasal dari kegiatan manusia. Namun teori tentang hal ini rasanya dapat dengan mudah disingkirkan, saat semua aktivitas pergerakan sosial dibatasi dalam masa PSBB. Apalagi sejauh ini, tidak ada laporan aktivitas manusia yang mengklaim sebagai sumber suara dentuman tersebut.

Untuk itu penulis coba untuk mencari tahu berbagai opsi sumber dentuman yang berasal dari fenomena alam.

 

Aktivitas kebumian

Dari sumber dan arah dari barat dari Kawasan Bintaro perbatasan Jakarta – Tangerang Selatan, publik umum mengarahkan petunjuk pada kegiatan letusan anak Gunung Krakatau. Malam sebelumnya, Anak Gunung Krakatau mengalami letusan beberapa kali dengan tinggi asap letusan dalam kisaran masih kurang dari 1.000 meter.

Informasi dari lembaga terkait, yaitu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Nasional menyatakan saat itu status Anak Gunung Krakatau pada Level 2 (waspada). Petunjuk ini mengindikasikan bahwa peluang terjadinya dentuman yang keras, yang berasal dari aktivitas vulkanik sepertinya sangat kecil terjadi.

Demikian juga teori yang menyatakan bahwa dentuman berasal dari dorongan letusan dari Gunung Merapi di Jawa Tengah, rasanya kecil kemungkinan untuk dapat diterima. Dorongan energi vulkanik perlu amat besar, untuk dapat menghasilkan dentuman yang menggelegar seperti ledakan bom yang dapat menggetarkan kaca.

Baca juga: Fenomena Ledakan Permukaan Matahari dan Penyimpangan Kondisi Cuaca Bumi

 

Iustrasi: Awan mammatus yang difoto di Texas. Foto: Wikipedia Under Creative Commons 3.0/Derrich

 

Lalu bagaimana dengan kegiatan tektonik lempeng?

Kondisi ini juga menghantar pada indikasi adanya letusan rongga di sekitar kawasan Jawa bagian barat. Namun dua Lembaga yang menangani masalah kebumian, yaitu Badan Geologi dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan kondisi di kulit bumi pada saat terjadi ledakan atau dentuman, baik yang terjadi di Jakarta dan Jawa Tengah amat kondusif atau mantap.

Dari penjelasan BMKG yang memantau kegiatan tektonik, maka kecil pula kemungkinan terjadinya pergeseran lempeng atau sesar yang aktif di sekitar kawasan Jabodetabek. Penjelasan ini mendukung teori yang menyatakan bahwa suara dentuman tidak berasal dari kulit bumi.

 

Aktivitas di angkasa

Jika kondisi kebumian tidak memungkinkan suara ini terjadi, lalu darimana sumber suara dentuman berasal? Penulis merujuk pada pemikiran bahwa hal itu bisa jadi berasal dari sumber luar angkasa (sky quake).

Saat ini matahari berada dalam kondisi minimum. Ditandai dengan munculnya jumlah bintik dan ledakan di permukaan matahari yang dapat dikaitkan dengan pancaran energi gelombang elektromagnet dan radiasi matahari.

Meskipun demikian penjelasan ini perlu diketahui lebih jauh. Apakah energi dari matahari minimum menjadi stimulan terhadap kondisi energi bumi saat terjadi dentuman?

Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh siapapun. Namun menjadi penting untuk menjadi  bahan pertimbangan dalam menyingkap hubungannya dengan peristiwa kebumian.

Bagaimana dengan situasi cuaca yang menyebabkan petir dan awan badai?

Dari pantauan penulis yang mengkaji dan menganalisis kondisi cuaca pada tanggal 11 April 2020, memang ada semacam kondisi udara yang mendukung awan dan hujan terbentuk di kawasan Jabodetabek hingga Banten dan Jawa Barat bagian barat daya.

Awan yang terbentuk tersebut berkaitan dengan pembentukan awan konveksi akibat hadirnya kondisi tekanan udara yang menarik udara sekitarnya.

Tarikan udara sekitarnya yang basah membentuk awan dan hujan yang diikuti dengan petir atau badai guntur yang diikuti hujan pada malam hari, sebelum terjadinya dentuman. Bahkan, hingga dini hari masih tersisa hujan rintik, meski petir dan guntur tak lagi terus terjadi.

Bila petir atau guntur terjadi di kawasan pegunungan maka kecil pula peluangnya, mengingat kala itu gangguan cuaca regional di puncak gunung lebih giat pada siang-sore. Dengan demikian pandangan yang menyatakan bahwa petir atau guntur adalah sumber yang mengeluarkan suara keras di dini hari tanggal 12 April 2020 sulit untuk diterima atau terjadi.

Hal sama terjadi saat peristiwa serupa terjadi sebulan kemudian di Jawa Tengah. Sesuai penjelasan BMKG, kondisi cuaca yang yang mengarah kepada badai yang menghasilkan petir tidak tercatat, dengan perkecualian di sekitar Tunggul Wulung, Cilacap, yang letaknya jauh dari lokasi terdengarnya fenomena dentuman.

Terkait dengan kemungkinan petir sebagai asal suara dentuman, perlu dicatat bahwa memasuki bulan Mei 2020, Jawa Tengah mulai memasuki musim kemarau. Peluang awan badai muncul peluangnya kecil. Hal ini diperkuat dengan pengamatan awan satelit cuca yang tidak menunjukkan awan di waktu-waktu tersebut.

 

Penutup

Meski belum dapat diketahui secara pasti sumber suara dentuman, fenomena ini amat menarik perhatian, – apalagi dentuman sudah terjadi dua kali tepat dalam selang waktu sebulan. Apakah ini bakal menjadi fenomena alam baru di Indonesia, secara khusus di Pulau Jawa?

Peristiwa ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu disibak oleh para saintis, meski mungkin di tengah kesulitan, termasuk dalam mengumpulkan pelbagai bukti dan data pendukung yang ada.

Semoga catatan di atas dapat menjadi petunjuk bagi para ahli untuk mencari jawaban yang lebih pasti, sehingga dapat menjadi penjelasan berbasis ilmiah bagi publik Indonesia.

 

Dr Paulus Agus Winarso, penulis adalah pensiunan aparatur sipil negara. Merupakan praktisi, pengamat dan peneliti meteorologi. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version