Tulisan ini sengaja disajikan sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran dari berbagai situasi dan kondisi lingkungan, terkait dengan kondisi cuaca/iklim yang sepertinya berubah dari kondisi biasa.
Dari pandangan ilmiah hal ini dapat ditarik dengan adanya fenomena kurang giatnya kegiatan di permukaan matahari yang diperlihatkan dengan kehadiran bintik-bintik matahari (sunspot) dan ledakan matahari (solar flare) . Kegiatan matahari yang kurang giat sepertinya telah menghantar pada situasi dan kondisi muka bumi yang cenderung dingin. Hal ini seperti pernah dikemukaan oleh para ahli NASA Amerika Serikat sekitar tahun 2009 yang lalu.
Menurut hasil penelitian, periode siklus matahari 2009 – 2020 akan cenderung mendingin (cooling). Adapun kondisi bumi hangat (warming) dan dingin (cooling) umumnya dikaitkan dengan episode gejala alam yang dinamai El Nino (warming/hangat) dan alam La Nina (cooling/dingin).
Baca juga: Jawa dan Nusa Tenggara Langganan Bencana Kekeringan, mengapa?
Hasil sementara menunjukan bila bintik matahari dan ledakannya meningkat di atas 100 hingga 300 bintik/bulan maka akan ada korelasi dengan kegiatan gejala alam El Nino yang dominan. Sebaliknya bila terjadi 100 bintik/bulan atau kurang, maka dominasi gejala alam El Nino akan menjadi lebih pendek dan lebih cenderung dengan kemunculan La Nina.
Kondisi ini mengacu pada data olahan saat terjadi kondisi matahari giat mulai tahun 1960 hingga 2007 yang mendorong gejala alam El Nino; dan periode 2009 – 2020 yang merupakan dominasi kegiatan gejala alam La Nina.
Pemeriksaan kegiatan gejala alam El Nino sebelum tahun 2009 diperoleh pandangan tentang episode gejala alam El Nino mulai 12 hingga 48 bulan. Setelah memasuki tahun 2009 hingga 2020 gejala alam El Nino kian pendek rentang waktu kegiatan 9 bulan (2015 – 2016) dan 6 bulan (2018 – 2019).
Berdasarkan penelitian, dari simpangan suhu muka laut di Kawasan Tropis Samudera Pasik periode 1960-2007 dengan simpangan positif 1-3 C. Namun dalam periode 2009-2020 simpangan lebih rendah antara positif 0,5-1,5 C. Lebih lanjut kondisi suhu muka laut dengan simpangan negatif lebih dominan terjadi pada periode tahun 2009-2020.
Kondisi Kawasan Perairan Indonesia
Gejala alam El Nino maupun La Nina memberi dampak yang nyata dengan kondisi cuaca dan iklim di wilayah Indonesia, secara khusus suhu permukaan lautnya.
Gejala El Nino dengan suhu hangat di Samudera Pasifik mengakibatkan suhu muka laut di kawasan perairan Indonesia menjadi lebih rendah atau kondisi dingin. Sebaliknya saat gejala alam La Nina bergiat dengan kondisi dingin kawasan perairan Samudera Pasifik menyebabkan kondisi hangat di kawasan perairan Indonesia dan sekitarnya.
Jika kondisi suhu muka laut dingin maka akan berkaitan dengan kondisi udara lapisan permukaan yang minim penguapan dan bertekanan udara tinggi. Akibatnya, di daratan akan sulit terbentuk awan dan hujan alias akan terjadi periode kekeringan.
Hal berbeda terjadi sebaliknya. Jika suhu muka laut yang hangat maka akan mendukung penguapan, sehingga awan dan hujan akan terbentuk. Kondisi tekanan rendah pun akan memudahkan badai terbentuk.
Untuk perkembangan setahun terakhir, sekitar pertengahan tahun 2019 gejala alam El Nino ‘lemah giat’ kemudian berkembang terjadi suhu laut dingin yang meluas dan berlangsung di kawasan perairan Indonesia.
Angin timuran yang bertiup meningkatkan adukan dari dasar laut naik ke atas dan menjadi penyebab suhu muka laut menjadi lebih dingin. Fenomena ini bukan saja di wilayah Indonesia, juga terjadi di kawasan barat dan selatan Australia.
Kondisi suhu muka laut dingin mulai pertengahan 2019 terjadi bersamaan dengan matahari yang memasuki episode ‘kurang giat’, ditandai dengan hari-hari tanpa bintik dan ledakan matahari hingga memasuki awal tahun 2020 dan kini akan memasuki kuartal II 2020.
Kawasan Jawa bagian Barat sepertinya menerima curahan hujan yang cukup besar dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia hingga akhir bulan Maret 2020.
Dengan kondisi ini, juga menjadi catatan adanya penyimpangan keseringan kejadian genangan air atau banjir untuk musim hujan 2019/2020 di kawasan Jakarta dan sekitarnya, untuk pertamakalinya sejak pencatatan curah hujan dimulai di Indonesia pada abad ke-19 yang lalu.
Baca juga: Mengapa Akhir-Akhir ini Cuaca Ekstrim Makin Sering Terjadi di Jabodetabek?
Kondisi ini pun menjadi isyarat bahwa kondisi suhu udara normal hingga di bawah normal seperti telah, sedang dan akan berlangsung secara menyeluruh di Kawasan Indonesia. Dan periode musim angin barat sepertinya berlangsung sekitar bulan Februari hingga awal Maret 2020 yang menunjukan kondisi yang relatif singkat.
Dari sisi awal musim hujan, kawasan musim Indonesia yang sepertinya berawal dari awal 2020 menunjukan adanya kelambatan yang cukup mencolok. Bahkan untuk sebagian besar kawasan Indonesia bagian Tengah menunjukan mundurnya awal musim hujan seperti yang terjadi di Kawasan Australia Utara yang umumnya mundur sekitar 3 – 4 bulan.
Dari catatan pengalaman mundurnya awal husim hujan lebih dari dua bulan, umumnya dipengaruhi oleh kehadiran gejala alam El Nino menengah hingga kuat. Adapun kejadian peristiwa yang telah berlangsung saat ini merupakan suatu kondisi baru yang perlu dicatat dan diperhatikan untuk masa mendatang.
Secara musiman yang mungkin sesuai dengan perkembangan adalah jumlah kegiatan badai tropis yang giat di sekitar Indonesia dan Australia Utara, dimana jumlah kegiatannya tidak segiat dalam kondisi normal mengingat angin musim barat berlangsung singkat atau mungkin terpendek selama musim hujan dengan catatan kegiatan gejala alam tidak menunjukan kegiatannya.
Dari berbagai penyimpangan kondisi cuaca yang telah, sedang dan akan berkembang di wilayah Indonesia sepertinya nuansa matahari tanpa kegiatan di permukaan matahari dengan bintik dan ledakan matahari merupakan era baru yang akan kita hadapi bersama di muka planet bumi yang tercinta ini.
Pemanfaatan dan pengaruh simpangan pada kondisi lingkungan merupakan kondisi yang seyogyanya dikaji, diteliti dan dicermati dalam menyikapi perkembangan kondisi lingkungan. Dengan adanya masukan kondisi perkembangan alam khususnya dinamika dan fisika udara saat sang surya yang minimum akan menambah pengetahuan dalam menyikapi dinamika perkembangan lingkungan di muka planet bumi yang tercinta ini.
Foto utama: Ledakan di permukaan matahari. Dok: NASA.gov
* Dr Paulus Agus Winarso, penulis adalah pensiunan aparatur sipil negara. Merupakan praktisi, pengamat dan peneliti meteorologi. Artikel ini merupakan opini penulis.