Mongabay.co.id

Sheherazade dan Upaya Menyelamatkan Spesies Terabaikan di Sulawesi

 

 

Pulau Sulawesi masuk dalam kawasan biogeografi Wallacea yang memiliki ragam flora dan fauna unik. Pulau dengan luas 17,46 juta hektar ini adalah pulau terbesar ke-11 di dunia. Keragaman ekosistemnya memberikan sumbangsih yang tinggi pada tingkat keanekaragaman spesies dan keberadaan spesies endemik. Namun, agenda prioritas konservasi belum begitu banyak diberikan di pulau ini.

Meski demikian, beragam upaya telah dilakukan banyak pihak untuk mempertahankan keanekaragaman hayati di Sulawesi, dari berbagai ancaman kepunahan yang dipicu ulah manusia. Seperti yang dilakukan di Pulau Mantawalu Daka, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Di ujung timur Sulawesi itu, seorang perempuan muda tanpa kenal lelah memprakarsai komunitas lokal agar memberikan perhatian konservasi untuk satwa-satwa yang terabaikan.

Baca: Sulit Ditemukan, Kura-kura Leher Ular Rote Menuju Kepunahan?

 

Sheherazade yang selalu semangat menjalankan kegiatan konservasi. Foto: Dok. Sheherazade

 

Nama perempuan itu Sheherazade. Sejak 2017, ia rela menjauh dari hiruk pikuk kota dan terjun bersama masyarakat lokal. Diusianya yang masih 26 tahun, ia telah membangun kepedulian bersama masyarakat setempat untuk lebih perhatian terhadap keanekaragaman hayati di Sulawesi.

Bersama rekan-rekannya, Sheherazade membuat sebuah lembaga bernama Progres [Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi]. Tujuannya, mendukung gerakan pemuda-pemudi lokal dalam konservasi jenis-jenis terancam punah dan terabaikan di Sulawesi. Ia sendiri menjadi manager program di lembaga ini.

“Perhatian konservasi banyak tertuju pada spesies-spesies tertentu. Misalkan harimau, gajah, atau hewan yang dianggap kharismatik, besar, dan lucu. Di Sulawesi, walaupun terancam punah, perhatian konservasi masih kurang, baik dari segi penelitiannya atau program konservasinya,” kata Sheherazade dalam “Bincang Alam bersama Mongabay Indonesia”, Minggu, 10 Mei 2020.

Baca: Mengenal Satwa-satwa Purba dari Sulawesi

 

Sheherazade membuat sebuah lembaga bernama Progres [Prakarsa Konservasi Ekologi Regional Sulawesi]. Salah satu jenis satwa liar yang tak begitu banyak diperhatikan adalah poniki atau kalong sulawesi dan ini yang dilakukannya. Foto: Dok. Sheherazade

 

Menjaga Poniki

Diusianya yang masih muda, Sheherazade sudah melakukan banyak hal dalam konservasi. Ia berbagi pengalaman bagaimana melakukan penelitian satwa liar, melindunginya, berkolaborasi dengan pemerintah lokal, hingga mengintegrasikan kegiatan konservasi dengan pengembangan desa.

Menurutnya, setidaknya 75 persen mamalia terancam punah dan 90 persen jenis amfibi terancam punah belum mendapatkan perhatian konservasi dunia. Kegelisahannya melihat kondisi tersebut, membuat Sheherazade terjun langsung mengajak pemuda dan pemudi desa untuk melindungi salah satu jenis satwa liar yang tak begitu banyak diperhatikan. Satwa itu adalah poniki, sebutan masyarakat setempat untuk kalong sulawesi atau Acerodon celebensis.

 

Kalong hitam [Pteropus alecto] dengan nama lokal poniki hitam. Foto: Dok. Sheherazade

 

Di Pulau Mantawalu Daka, terdapat tiga jenis poniki, yaitu kalong abu-abu [Pteropus griseus] dengan nama lokal poniki abu-abu, kalong sulawesi [Acerodon celebensis] nama lokalnya poniki Sulawesi, dan kalong hitam [Pteropus alecto] dengan nama lokal poniki hitam.

Di pulau ini juga ada berbagai jenis burung laut, penyu, hiu, pari, dan terumbu karang yang indah. Pulau seluas 42.11 hektar tersebut dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Keputusan Bupati Banggai Nomor 523/1209/Dislutkan.

Pelan tapi pasti, anak-anak muda di sini mulai memahami kerja-kerja konservasi poniki. Untuk mempermudah identifikasi komunitas lokal, para pemuda dan pemudi yang melakukan konservasi kalong tersebut menyebut diri mereka dengan nama Gersal [Gerakan Anak Salu].

“Poniki endemik Sulawesi dan masuk kategori terancam punah. Tapi sayangnya tidak dilindungi. Faktanya terus diburu dan diperdagangkan secara intens di Sulawesi untuk dimakan. Di buru hampir di seluruh Sulawesi lalu diperdagangkan di pasar hewan di Tomohon, Sulawesi Utara.”

Karena terancam punah dan tidak begitu banyak perhatian konservasi terhadap poniki, Sheherazade memperkuat kapasitas pemuda setempat untuk melindunginya. Beberapa intervensi yang dilakukannya adalah melakukan pemantauan populasi setiap dua minggu sekali di Pulau Mantawalu Daka.

Angka populasi kalong menjadi indikator apakah perlindungan kawasan dari perburuan berjalan efektif. Selain itu, mereka menangkap kalong untuk mengkoleksi polen dari tumbuhan yang dimakan serta memantau status reproduksinya setiap bulan. Kalong yang diteliti dilepaskan kembali.

“Pada mulanya jumlah kalong hanya 300-an ekor. Sekarang hampir 30.000-an ekor. Artinya, program konservasi kami berdampak baik,” ungkap perempuan berkacamata itu dengan bangga.

 

Kalong sulawesi [Acerodon celebensis] nama lokalnya poniki sulawesi. Foto: Dok. Sheherazade

 

Sheherazade beranggapan, apa yang dilakukan pemuda lokal bisa dibilang satu-satunya aktivitas pemantauan kalong dalam jangka waktu lama sejak 2018. Selain pemantauan, mereka juga melakukan patroli perburuan, misalkan jika ada kapal yang datang ke pulau itu, akan dinterogasi dulu.

Bagi pemuda-pemudi desa, kalong dijadikan sebagai ekowisata dan sesuatu yang dibanggakan. Saat ini sudah ada menara pemantau setinggi delapan meter. Selain berfungsi sebagai pendukung penelitian populasi kalong, menara tersebut juga dibangun untuk turis yang ingin melihat kalong, pemandangan pulau, dan keindahan laut sekitar.

“Program konservasi bukan hanya tentang satwa liarnya, tapi bagaimana mendukung pengembangan desa, salah satunya melalui ekoturisme,” ujarnya.

Selain itu Sheherazade juga banyak melakukan diskusi dengan masyarakat setempat dan pemerintah lokal, serta edukasi dan penyadartahuan kepada anak-anak dan kelompok nelayan. Semua itu bertujuan mendapatkan dukungan dan penguatan kapasitas komunitas lokal.

 

Kalong abu-abu [Pteropus griseus] dengan nama lokal poniki abu-abu. Foto: Dok. Sheherazade

 

Kura-kura Sulawesi

Selain poniki, Sheherazade juga memberikan perhatian pada spesies lain yang terabaikan, yaitu kura-kura sulawesi atau baning sulawesi [Indotestudo forstenii]. Namun kali ini lokasinya lebih mendekati bagian tengah, tepatnya di Lembah Palu, di Kabupaten Sigi dan Desa Kawatuna. Di lokasi ini, meski dimulai 2019, ia melakukan hal sebagaimana di Pulau Mantawalu Daka, yakni membantu komunitas lokal melakukan konservasi hewan tersebut.

“Nasibnya juga sama dengan poniki, yaitu endemik, tidak dilindungi, dan distribusinya berada di luar kawasan konservasi,” katanya.

Sheherazade mengajak pemuda lokal untuk melakukan ancaman penilaian, studi populasi, dan konservasi dengan model in situ atau pelestarian di habitat aslinya, serta pengembangan ekowisata. Menurutnya, spesies ini mengalami ancaman eksploitasi berlebihan karena perburuan yang marak.

“Kami survei bersama Desember tahun lalu. Hasilnya, sangat susah menemukan jenis ini. Banyak yang bilang kayak mencari hantu. Kalau dicari tidak ketemu, kalau tidak dicari ada. Artinya, sudah sangat sulit dilihat di alam. Satwa ini diburu untuk dipelihara atau dikonsumsi,” ujarnya.

 

Bersama pemuda lokal di Pulau Mantawalu Daka, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Sheherazade memantau perkembangan populasi kalong. Foto: Dok. Sheherazade

 

Aktivitas Sheherazade dengan komunitas lokal bukan tanpa tantangan. Dinamika di desa selalu saja membawa dampak pada kerja-kerja mereka. Misalkan, dinamika politik desa yang berpengaruh pada program dan komitmen desa itu sendiri. Beruntung kelompok pemuda dan nelayan yang telah diberi penguatan kapasitas tetap semangat menjalankan gerakan konservasi.

Sheherazade merupakan alumni Ekologi dan Konservasi Satwa Liar di University of Florida, Amerika Serikat, pada 2018. Ia pertama kali bersinggungan dengan dunia konservasi sejak berstatus mahasiswa strata satu Jurusan Biologi pada Universitas Indonesia. Ketika itu ia sedang melakukan penelitian perdagangan satwa liar di Sulawesi Utara tahun 2013.

Pada 2014, setelah tamat dari Universitas Indonesia, ia mulai bekerja di Aliansi Konservasi Tompotika [Alto], yang banyak melakukan konservasi pada satwa liar terutama burung maleo [Macrocephalon maleo] di Desa Taima, dekat kaki gunung Tompotika, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Setelah itu, ia mendapatkan beasiswa dari CIFOR dan USAID untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat.

Selain mendirikan Progres, Sheherazade juga ikut membuat organisasi Tambora Muda Indonesia, ia sendiri sebagai ketuanya. Tambora Muda Indonesia adalah organisasi berbentuk perkumpulan yang didirkan Desember 2015, memiliki jaringan nasional untuk anak-anak muda yang bergelut di bidang konservasi.

“Fokus kami untuk peningkatan kapasitas generasi muda yang sudah dan ingin bekerja di bidang konservasi biodiversitas,” paparnya.

 

 

Exit mobile version