Keberadaan kura-kura leher ular rote di habitat aslinya, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, hingga kini masih terus diteliti. Gangguan manusia dan terdegradasinya habitat dituding sebagai penyebab utama makin sulitnya kura-kura endemik ini dipantau di alam. Apa yang sebenarnya terjadi?
Evy Arida, herpetologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan, kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) menjadi salah satu jenis kura-kura yang paling terancam punah di dunia. Jenis ini mengalami penurunan populasi yang begitu drastis, hingga perjumpaannya di alam dan di lokasi yang sebelumnya ditemukan kini sudah tidak lagi.
Dia mengatakan, dua tahun pasca-jenis ini dideskripsikan pada 1994, statusnya langsung Vulnerable atau Rentan yang disematkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Empat tahun setelahnya, pada 2000, predikatnya lompat menjadi Critically Endangerd atau Kritis alias satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Namun begitu, untuk menyatakan jenis ini punah, bukan perkara sederhana.
“Jika dikatakan punah, sejatinya hanya sebatas hipotesa saja. Pasalnya, untuk membuktikan punah atau tidak, kita memerlukan penelitian dan kajian ilmiah mendalam,” katanya kepada Mongabay Indonesia baru-baru ini.
Hal mendasar yang perlu diketahui bersama ialah pemahaman arti kepunahan itu sendiri. Evy menjelaskan kepunahan terbagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu kepunahan secara lokal atau regional (local extinction), kepunahan di alam (extinction in the wild), dan kepunahan sebenarnya (extinction).
“Kepunahan lokal berarti punah di salah satu sebaran habitatnya. Kepunahan di alam artinya sudah tidak ada di habitatnya, tetapi masih memungkinkan ditemukan di penangkaran maupun kebun binatang. Sementara kepunahan sebenarnya adalah punah keseluruhan, sudah tidak ditemukan di habitatnya, penangkaran, kebun binatang, dan di manapun,” paparnya.
“Ini yang perlu kita pahami terlebih dahulu. Kepunahan terjadi secara bertahap dan memiliki klasifikasinya masing-masing. Karena itu, tidak mudah untuk menyatakan bahwa jenis ini punah, kita perlu melakukan assessment menyeluruh dan berkala,” tambah Evy.
Baca: Kura-kura Leher Ular, Jenis Unik yang Hanya Ada di Lahan Basah Pulau Rote
Maslim, Reptile Project Coordinator di Wildlife Conservation Society (WCS) mengemukakan pendapat senada. Ia menegaskan, keberadaan kura-kura leher ular rote yang sudah tidak ditemukan di habitatnya, bukan berarti dinyatakan punah. Hal tersebut terlalu riskan. Perlu serangkaian riset komperehensif dan penilaian ketat membuktikannya.
Sejauh ini ungkap Maslim, keberadaannya memang sulit ditemukan sejak 2010 hingga 2014 di sejumlah titik yang menjadi habitatanya di Pulau Rote. Selain itu, berdasarkan survei terbaru yang pernah dilakukan WCS-IP bersama BBKSDA Nusa Tenggara Timur dan Balitbang LHK Kupang di sepanjang 2016-2017, sudah tidak lagi dijumpai populasi kura-kura dari marga Chelodina ini di alam.
“Hasil monitoring dan survei terakhir yang kami lakukan bersama, sudah tidak dilihat lagi di habitatnya, di Rote. Tapi, ada populasi kecil kura-kura itu di Timor Leste,” katanya. “Jadi dikatakan kura-kura ini punah, mereka tidak punah,” ungkap Maslim.
Dia menambahkan, faktor paling berpengaruh yang menyebabkan penurunan besar-besaran populasi kura-kura leher ular rote adalah perburuan masif untuk diperdagangkan. Selain itu, sebaran habitatnya yang tidak begitu luas serta siklus perkembangbiakannya yang cenderung lambat, mempercepat laju kepunahannya.
“Puncaknya terjadi akhir 1980-an hingga awal 2000-an ketika permintaan pasar internasional sangat tinggi. Pada masa itu, kura-kura leher ular rote sangat mudah dijumpai di kawasan lahan basah seperti danau dan sungai di Pulau Rote,” terangnya.
Punah di alam
Keberadaan kura-kura leher ular rote memang sudah sulit dijumpai di alam liar. Tetapi, di sejumlah tempat seperti kebun binatang dan pusat penangkaran masih ada dan populasinya diusahakan meningkat. Di antaranya di Amerika, Eropa dan Asia, termasuk di Indonesia yang tengah dilakukan breeding atau pengembangbiakan. Jenis ini juga telah dirilis oleh ZSL (Zoological Society of London) sebagai 100 Reptil Terancam Punah secara global (100 Evolutionarily Distinct and Globally Endangered Reptiles) melalui program the Edge of Existence.
Maslim mengungkapkan, reintroduksi menjadi langkah terakhir untuk mengembalikan populasi kura-kura leher ular rote ke habitat aslinya. Untuk merealisasikan itu, dia mengatakan WCS bersama BBKSDA NTT serta Balitbang KLHK Kupang bekerja sama dengan Singapore Zoo melakukan program reintroduksi.
“Inisiasi untuk mereintroduksi telah dilaksanakan sejak 2016. Program pengembangbiakan secara eks-situ juga sudah dijalankan di Singapura, jadi kita di sini siapkan habitat dan segala pendukungnya,” tutur Maslim.
Baca juga: Dirilis, Daftar 100 Reptil Paling Unik dan Terancam Punah di Dunia
Hingga saat ini, proses penilaian habitat masih dilakukan bertahap. Penilaian habitat terdiri dari pengecekan kualitas air, dengan memastikan tidak ada kontaminasi senyawa kimia berbahaya yang tercemar. Selain itu, kualitas vegetasi untuk naungan berkembang biak hingga ketersediaan pakan dan ancaman predator diperhatikan. Semua indikator itu, harus terpenuhi demi keberlangsungan hidupnya.
Faktor pendukung seperti edukasi dan peningkatan kapasitas masyarakat lokal di sekitar habitat juga harus dilakukan. Tujuannya, untuk menumbuhkan rasa memiliki mereka terhadap kura-kura endemik ini sekaligus terlibat melindunginya.
“Pada dasarnya, upaya konservasi tidak akan tercapai tanpa dukungan masyarakat, baik dari sisi pengetahuan juga keterlibatan menjaga. Meski tidak mudah, hal ini bisa dilakukan perlahan,” tuturnya.
Kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) merupakan jenis kura-kura yang termasuk dalam keluarga Chelidae. Jenis ini hidup di lahan basah di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Sesuai namanya, kura-kura ini memiliki leher panjang menyerupai ular. Ini yang membedakannya dengan jenis lainnya.
Kura-kura ini, tidak memiliki kemampuan untuk menarik kepalanya masuk ke dalam tempurung, sebab lehernya yang panjang membuatnya tidak bisa melakukan itu. Untuk melindungi bagian kepalanya, dia hanya melipat lehernya ke kanan dan ke kiri di bagian bawah sisi terluar tempurung.
Kura-kura leher ular rote pertama kali ditemukan pada 1891 oleh George Albert Boulenger dan dipisahkan menjadi spesies tersendiri pada 1994 oleh Dr. Anders Rhodin dari Chelonia Research Fondation Lunenburg, Amerika Serikat. Nama mccordi diambil dari nama William Mccordi, seorang ahli kura-kura dari Hopewell Junction, New York, Amerika. Chelodina mccordi ditetapkan sebagai spesies tersendiri, terlepas dari sebelumnya, Chelodina novaeguineae, yang tahun 1980 ditetapkan pemerintah sebagai satwa dilindungi.
Jenis ini banyak diperdagangkan oleh para kolektor reptil endemik internasional. Sehingga lebih sering ditemukan di penangkaran dibandingkan habitat aslinya. Setidaknya, hingga awal 1970-an, kura-kura ini mudah ada di hampir seluruh wilayah Pulau Rote, seperti di area persawahan, kubangan, sungai, dan di sepanjang danau kecil di pulau bagian paling selatan Indonesia. Fakta lainnya, satwa ini belum dilindungi PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Referensi:
http://www.iucnredlist.org/details/4606/0
https://www.academia.edu/3615889/Jejak_Kura-kura_leher_ular_Rote
http://www.edgeofexistence.org/species/roti-island-snake-necked-turtle/