Mongabay.co.id

Anggrek Biru, Si Cantik dari Pulau Waigeo yang Belum Dilindungi

 

 

Anggrek sudah lama dikenal oleh manusia, sekitar 371-287 SM, di Yunani Kuno. Theophrastus dari Eresus yang mengenalkan tanaman cantik ini. Ada juga nama lain seperti Dioscorides dan Pliny yang menjadi dasar pengetahuan tentang anggrek selama lebih dari seribu tahun. Pada masa itu, anggrek sudah muncul dalam seni dan arsitektur klasik.

Hingga kini, tercatat lebih dari 25.000 jenis anggrek di dunia. Tempat hidup anggrek sesungguhnya kosmopolitan, namun kebanyakan ada di daerah tropis dan subtropis. Anggrek bisa ditemukan dari permukaan laut hingga ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut, kecuali perairan terbuka dan gurun.

Anggrek kebanyakan epifit yaitu mengembangkan akar sukulen dan melekat pada batang pohon lain, dengan tidak merugikan pohon inang. Namun begitu, dapat tumbuh terestrial di tanah atau humus daun.

Baca: Tidak hanya Maleo, Waigeo juga Kaya akan Satwa Liar

 

Anggrek Dendrobium azureum, epifit dari dekat. Foto: Yanuar Ishaq Dwi Cahyo/Fauna & Flora International-Indonesia Programme

 

Menurut Kartikaningrum dkk dalam karya tulisnya di buletin Plasma Nutfah pada 2017, habitat yang mulai rusak menyebabkan anggrek spesies alam akan mudah mengalami kepunahan.

“Anggrek di alam sudah menjadi salah satu pertimbangan untuk penentuan keputusan konservasi sumber daya genetik [SDG]. Habitat yang mulai rusak dapat dengan mudah menyebabkan anggrek spesies alam mengalami kepunahan,” tulis Kartikaningrum.

Hebatnya, dari 25.000 spesies anggrek di dunia, sekitar 5.000 jenis ada di Indonesia. Kawasan Sulawesi dan Maluku utamanya, sekitar 493 jenis [60%] di antaranya jenis endemik.

Baca: Tarian Memikat Cendrawasih Botak Menaklukkan Pasangan

 

Anggrek Dendrobium azureum, epifit di salah satu pohon di Cagar Alam Pulau Waigeo. Foto: Yanuar Ishaq Dwi Cahyo/Fauna & Flora International-Indonesia Programme

 

Anggrek biru endemik Pulau Waigeo

Kawasan Waigeo juga menjadi wilayah endemik anggrek Dendrobium azureum Schuit. Atau, dikenal anggrek biru. Jenis ini menjadi perhatian dunia setelah perempuan Inggris bernama Lucy Evelyn Cheesman menemukannya tumbuh di pohon diketinggian 700 meter di atas permukaan laut, saat perjalanannya ke Pulau Waigeo, Papua Barat pada 1938. Ketika itu, usianya 60 tahun.

Lucy berhasil membawa anggrek yang saat itu ia belum diketahui jenisnya. Dia membawanya sebagai spesimen dengan menuliskan keterangan “Anggrek Dendrobium, tumbuh di pohon, berwarna biru tua” yang kemudian diserahkan ke museum di London. Hasil jelajahnya,  ia tuliskan dalam buku “Six Legged Snakes in New Guinea”.

Tahun 2002 dan 2005 tiga peneliti, Iwein Mauro, Campbell Webb, dan Sebastian Schmidt, melakukan riset di Pulau Waigeo. Namun, mereka tidak menemukan anggrek terebut.

Baca: Bulbophyllum irianae, Spesies Anggrek Baru di Papua

 

Anggrek jenis Coelogyne veitchii di hutan Pulau Waigeo. Foto: Yanuar Ishaq Dwi Cahyo/Fauna & Flora International-Indonesia Programme

 

Pada 2013, peneliti dari National Herbarium di London, André Schuiteman, secara tidak sengaja melihat spesimen anggrek yang tampak biasa saja. Namun, setelah ia membaca informasi keterangan spesimen lebih detil, ia ingin lebih dalam mempelajarinya. Spesimen anggrek tersebut yang pernah dibawa Lucy Evelyn Cheesman.

Menurut André, ketakjubannya pada keterangan spesimen yang menjelaskan anggrek Dendrobium berwarna biru tua. Menurut dia, anggrek pada marga Dendrobium di alam, kebanyakan warna pelangi.

Ia pun lanjut mengamati warna spesimen kering yang berwarna keabuan ketimbang warna coklat yang umumnya terlihat saat bunga anggrek kering. Menyadari spesimen tersebut memiliki warna yang langka, Andre mendeskripsikan menjadi jenis baru yang ia namakan Dendrobium azureum, yang berarti biru tua. Dari 17 ribu anggrek epifit hanya jenis ini yang memiliki warna biru tua.

Baca: Ada Ratusan Jenis Anggrek dari Hutan Batang Toru

 

Anggrek jenis Anoectochilus cf. reinwardtii yang ditemukan di Taman Nasional Manusela. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2016, staf Fauna & Flora International-Indonesia Programme, Maurits Kafiar melakukan penelitian burung di hutan Pulau Waigeo. Tanpa sengaja, ia mendokumentasikan anggrek biru di sebuah batang pohon. Setelah melihat literature, barulah ia menyadari anggrek tersebut adalah Dendrobium azureum. Ini kali kedua penemuan anggrek biru di alam setelah 78 tahun dari penemuan Lucy sebelumnya.

Empat tahun berselang, tepatnya pada 2020, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat dan Fauna & Flora International – Indonesia Program melakukan ekspedisi mencari anggrek biru. Hasilnya menggembirakan, berhasil ditemukan.

Budi Mulyanto, [Plt.] Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat menjelaskan, kondisi hutan Pulau Waigeo relatif terjaga baik. Tutupan kanopi masih rapat dan ada pohon dengan diameter besar dari jenis Vatica rassak, Pometia pinnata, dan Ficus sp.

“Banyak juga pohon ditutupi lumut dan tumbuhan merambat. Pohon-pohon ini menjadi salah satu tempat hidup anggrek di Pulau Waigeo. Ada sekitar 128 jenis anggrek yang telah diidentifikasi. Kekayaan anggrek menjadi salah satu dasar penunjukan Waigeo sebagai cagar alam. Anggrek identitasnya Raja Ampat,” jelasnya.

Baca juga: Mengenal Anggrek Unik Endemik Merapi

 

Ilustrasi anggrek jenis Orchis mascula yang dilukis sekitar tahun 1530. Sumber: Buku Endersby, J. 2016. Orchid: A Cultural Histroy. The University of Chicago Press, Chicago

 

Yanuar Ishaq Dwi Cahyo, koordinator dari Global Tree Campaign, Fauna & Flora International – Indonesia Programme yang juga bagian tim dari ekspedisi menjelaskan, tim menemukan anggrek biru di ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Sama yang ditemukan Lucy.

“Saat kami temukan, berada di pohon-pohon suku Lauraceae, Ericaceae, Dilleniaceae, dan Elaeocarpaceae. Anggrek ini mekar bersama jenis lain yaitu jenis Appendicula sp., Bulbophyllum cylindrobulbum Schltr, Coelogyne veitchii Rolfe, dan Mediocalcar uniflorum Schltr,” terangnya, baru-baru ini.

Yanuar menambahkan, bunga yang hanya mekar sekitar satu minggu ini memiliki persebaran terbatas di Pulau Waigeo. “Tentunya, belum ditemukan selain di Pulau Waigeo.”

 

Hutan Pulau Waigeo. Foto: Ryan Avriandy/Fauna & Flora International-Indonesia Programme

 

Konservasi anggrek

Dwi Murti Puspitaningtyas, peneliti di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI, menyatakan senang dengan penemuan ini. “Sangat membanggakan, menambah daftar biodiversitas anggrek tanah air. Kedepannya, perlu dilindungi populasinya di alam agar tidak terjadi eksploitasi berlebihan,” jelasnya.

Menurut Dwi, anggrek spesies alam berkurang karena setiap tahun habitatnya mengalami degradasi. “Perkebunan atau tanaman monokultur belum tentu sesuai sebagai tempat hidupnya.”

Selain ancaman manusia, perubahan iklim juga dapat menyebabkan kepunahan anggrek. Anggrek biru hanya tumbuh pada habitat spesifik, pada spot-spot tertentu di perbukitan dingin dan lembab.

Di Indonesia, perlindungan anggrek spesies alam masih sangat sedikit. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 106 tahun 2018 tercatat baru 28 jenis yang dilindungi dari marga Cymbidium [satu jenis], Paphiopedilum [15 jenis], Paraphalaenopsis [empat jenis], Phalanopsis [enam jenis], dan Vanda [dua jenis].

Dwi melanjutkan, kebun raya dapat mengoleksi seluruh jenis anggrek alam yang langka, endemik, bernilai ilmiah, guna memperbanyak jumlahnya melalui kultur in vitro. Hasinya nanti bisa dimanfaatkan untuk konservasi, penelitian, reintroduksi dan lainnya. Bila jumlahnya berlebih, dapat dibagikan kepada kebun raya daerah sebagai koleksi.

“Hasil kultur jaringan anggrek yang spesiesnya bagus dan komersil seperti marga Dendrobium, Phalaenopsis, dan Vanda dapat dijual kepada masyarakat. Masyarakat dapat turut melindungi anggrek spesies alam dengan membeli hasil perbanyakan dari botol kultur. Jadi, bukan memanen di alam sehingga perdagangan anggrek spesies alam berkurang,” tegasnya.

 

Referensi:

Endersby, J. 2016. Orchid: A Cultural Histroy. The University of Chicago Press, Chicago.

Kartikaningrum, S., Pramanik, D., Dewanti, M., Soehendi R., Yufdy, MP. Konservasi Anggrek Spesies Alam menggunakan Eksplan Biji pada Media Vacin & Went. Bul. Plasma Nutfah 23 (2): 109-118.

https://www.independent.co.uk/voices/comment/sky-blue-orchid-is-already-a-rare-beauty-deforestation-threatens-its-very-existence-10034524.html

https://www.iucn.org/ssc-groups/orchids-sg/plants-fungi/orchid-specialist-group/why-orchids

https://www.kew.org/read-and-watch/evelyn-cheesman-blue-orchid

 

 

Exit mobile version