Mongabay.co.id

Walhi : NTT Hadapi Tiga Krisis Besar. Apa Saja?

Ibu-ibu berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Saat ini dunia tengah dilanda krisis akibat Pandemi COVID-19. Pandemi telah mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, potensi krisis ekonomi terutama pangan dalam skala global.

Kemajuan pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan ternyata tidak berkutik berhadapan dengan COVID-19.

Pembangunan ala kapitalisme yang mengagungkan pertumbuhan dan mengabaikan daya dukung daya tampung alam ternyata gagal untuk memastikan kehidupan umat manusia jauh dari sergapan krisis akibat pandemi COVID-19.

WALHI NTT meyakini bahwa COVID-19 adalah akibat dari krisis ekologis yang parah di bumi. Krisis karena pembangunan dunia yang mengabaikan ekologi dan daya dukung lingkungan.

Demikian juga di NTT. Menurut WALHI NTT, pembangunan yang abai pada lingkungan hidup dalam jangka panjang telah mengakibatkan berbagai krisis terjadi di NTT.

baca : Warga dan WALHI NTT Tolak Tambang dan Pabrik Semen di Manggarai Timur. Kenapa?

 

Petugas SAR Maumere dibantu aparat TNI, Polisi, Tagana dan masyarakat menggali pasir untuk mencari korban longsor di tambang pasir di desa Hale, kecamatan Mapitara, Sikka, NTT, pada Februari 2019. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Krisis Konsumsi dan Produksi

Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Rabu (22/4/2020) membeberkan berbagai krisis yang terjadi di NTT akibat eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian kearifan lokal di NTT.

Pertama soal krisis sektor konsumsi dan produksi. Krisis sektor produksi konsumsi rumah tangga saat ini sebut Umbu Wulang, data menunjukkan bahwa NTT adalah salah satu provinsi dengan impor sektor konsumsi tertinggi di Indonesia. Pangan, sandang dan papan mayoritas impor. 

Krisis pangan lokal  kata dia, bisa dilihat dimana saat ini ketergantungan pada pangan impor membuat NTT krisis sorgum, jewawut, putak, jeruk timor dan pangan lokal lain.

“Dalam beberapa tahun terakhir NTT mengalami krisis air, baik itu krisis air konsumsi maupun untuk produksi pertanian. Saat ini NTT masih mengandalkan impor untuk kebutuhan energi listrik di NTT. Misalnya impor batubara dari Kalimantan. Sebagai catatan, batubara termasuk dalam energi kotor, artinya NTT juga krisis energi ramah lingkungan,” tuturnya.

Terkait krisis agraria, dia mencontohkan maraknya alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, alih fungsi kawasan pesisir dan kawasan Karst. Contoh lainnya, meningkatnya konflik agraria di NTT.

baca juga : Soal Moratorium Tambang, Gubernur NTT Ditagih Janji Utamakan Pariwisata dan Pertanian

 

Seorang petani sedang memanen sorgum di NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Krisis Sumber Daya Alam

WALHI NTT juga menyoroti  krisis hutan. Data BNPB pada tahun 2019, sebut Umbu Wulang, NTT menduduki peringkat pertama kebakaran hutan terluas di Indonesia yakni 71.712 hektar.

Hal ini menurutnya belum ditambah lagi dengan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan monokultur, pertambangan, pariwisata dan tambak garam.

Sektor kemaritiman juga terjadi krisis. Seperti pembangunan kesejahteraan dan ramah lingkungan berbasis maritim di NTT masih minim. Nelayan NTT, lanjutnya, masih banyak hidup dalam kondisi miskin.

“Masih maraknya pengeboman ikan atau perusakan ekosistem laut. Penangkapan penyu yang dilindungi serta maraknya pengurangan wilayah kelola nelayan,”  tegasnya.

Soal krisis perlindungan ekosistem khas, keanekaragaman hayati dan satwa langka NTT Umbu Wulang mencontohkan masih ada pencurian komodo. Terancam punahnya satwa rusa timor, tikus besar flores (Papagomys armandvillei), kura-kura leher ular rote dan kuda sumba.

Selain itu menurutnya, terjadi pengabaian terhadap keanekaragaman cendana, gaharu, lontar dan gewang. Pengabaian terhadap ekosistem sabana, eksploitasi marmer timor dan mangan.

Terkait krisis lingkungan akibat pertambangan WALHI NTT memyebutkan selama 15 tahun terakhir, izin pertambangan minerba di NTT meningkat tajam. Baru pada 2019 kata Umbu Wulang, pemerintah provinsi melakukan moratorium tambang.

“Sayangnya moratorium hanya berlaku satu tahun dan bersifat administratif. Padahal praktek pertambangan di NTT telah memberikan bukti lebih banyak krisis yang timbul,” ungkapnya.

Krisis lingkungan hidup pun terjadi seperti adanya lubang tambang, rusaknya ekosistem karst, jatuhnya korban jiwa karena minimnya keselamatan kerja, hingga konflik horisontal dan vertikal yang sering terjadi di daerah pertambangan minerba di NTT.

Soal krisis lingkungan akibat sampah, dia menjelaskan, tahun 2018, NTT menjadi provinsi tertinggi yang menyumbangkan daftar kabupaten/kota terkotor di Indonesia yakni 4 kabupaten/kota.

perlu dibaca : Rembuk Masyarakat NTT Desak Pemerintah Audit Izin Pertambangan

 

Lokasi tambang mangan di Sirise, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda Kabupaten Manggarai Timur,NTT. Foto: JPIC-OFM/Mongabay Indonesia

 

Tanam Jagung Panen Sapi

Provinsi NTT juga sedang mengalami krisis keadilan, kemanusiaan dan kesehatan. Kemiskinan di NTT berdasarkan data resmi masih berada diatas 20 persen. Per September 2019, angka kemiskinan NTT sebesar 1.129.460 jiwa.

Saat ini, sektor pariwisata NTT sebut Umbu Wulang, masih dikuasai oleh industri berbasis pemodal besar tanpa ada kebijakan nyata memprioritas pariwisata kerakyatan. Privatisasi kawasan pesisir oleh industri pariwisata berbasis invesor pun terus meningkat.

Selain itu, NTT juga dilanda wabah belalang yang rutin melanda setiap tahun di pulau Sumba. Berikutnya ribuan babi mati di NTT akibat wabah flu babi.

“Provinsi NTT  juga saat ini terpapar Covid 19 dan sedang berjuang mengatasi wabah ini,” jelasnya.

Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi saat ditanyai Mongabay Indonesia, Sabtu (2/5/2020) mengatakan pemerintah sedang fokus menangatasi penyebaran COVID-19.

Dampak Corona membuat orang kehilangan nafkah dan mata pencaharian dimana petani dan nelayan sedang mengalami permasalahan terkait hasil pertanian dan perikanan yang tidak terjual akibat menurunnya daya beli.

“Nelayan mempunyai ikan tetapi tidak punya beras sehingga pemerintah membeli ikan dari nelayan dan memberinya beras sementara ikannya diambil dan diberikan kepada petani. Pemerintah harus memfasilitasi hal ini,” ungkapnya.

baca juga : Begini Kondisi Nyata Nelayan NTT di Tengah Pandemi COVID-19

 

Florida Nona petani jagung di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT di lahan jagungnya yang mengalami puso akibat serangan hama ulat Grayak dan kekeringan Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Dengan begitu, sebut Josef, petani dan nelayan bisa bertahan. NTT juga, katanya, sedang mengalami gagal panen dan kemarau panjang.  Apalagi sekarang masyarakat di minta berada di rumah.

Sehingga masyarakat rentan kehilangan  nafkah dan mata pencaharian. Oleh karena itu Pemprov NTT meminta agar pemerintah pusat segera mengucurkan bantuan kepada masyarakat termasuk kartu pra kerja.

“Kalau dikatakan lambat, memang saya harus akui di Indonesia koordinasinya sangat lambat. Kita memang harus jujur mengatakan demikian,” tuturnya.

Pemerintah sudah membuat perencanaan ke depan, urai Josef, dengan metode “tanam jagung panen sapi”. Petani difasilitasi pengolahan lahan, benih, pupuk dan obat. Petani didampingi tenaga teknis sehingga hasil panen jagung 5 ton/ha.

Sebagian hasil panen disimpan untuk dikonsumsi dan sebagian lagi dijual untuk dibelikan sapi. Program ini sedang berjalan di 4 kabupaten di Pulau Timor dan 3 di Pulau Sumba.

“Apabila tidak ada hal-hal yang sangat luar biasa maka masyarakat bisa melakukan aktifitas seperti biasa dengan tetap sesuai protap COVID-19,” ungkapnya.

Bantuan dari pusat memang banyak, ungkap Josef, tetapi belum diterima provinsi sehingga ia telah meminta agar staf di provinsi segera turun ke kabupaten dan kota untuk segera menangani ini.

“Kita harus mulai menanam jagung dan memelihara ternak sebanyak mungkin sehingga saat wabah penyakit menyerang, kita tidak tergantung kepada pemerintah pusat,” pungkasnya.

***

 

Keterangan foto utama : Ibu-ibu berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version