Mongabay.co.id

Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

Meski kondisi pandemi Covid-19 mengkhawatirkan secara kemanusiaan bagi sebagian rakyat, namun kembali kepercayaan publik tercederai. Bahkan, kali ini pelakunya  justru para pemimpin sendiri.

Memanfaatkan lengahnya pengawasan publik, DPR dan Pemerintah baru saja mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) (12/5), walaupun di tengah hujan kritik publik. Sejak lama publik mengkritik keras RUU Minerba yang disiapkan pemerintah ini.

Banyak pihak menilai UU Minerba tidak berpihak pada lingkungan hidup dan hanya menguntungkan korporasi. Keuntungan ekonomi bagi negara juga tidak bisa dijamin sepenuhnya, selain harus dikurangi dengan biaya pemulihan ekologi.

Langkah hukum berupa judicial review telah disiapkan beberapa pihak yang patut diapresiasi.  Pengerukan sumberdaya alam harus menguntungkan rakyat bukan korporat serta tidak boleh seharusnya berpotensi menimbulkan degradasi yang mengancam pembangunan berkelanjutan.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

 

Catatan Kritis

Dalam UU yang baru ini terdapat sejumlah perubahan yakni adanya penambahan 2 bab baru sehingga menjadi 28 bab. Kemudian, terjadi perubahan 83 pasal, 52 pasal baru dan sebanyak 18 pasal dihapus. Total pasal dalam UU ini menjadi 209 pasal. Banyak terdapat pasal-pasal yang merugikan ekonomi dan ekologi.

Berikut catatan kritis yang penulis dapat himpun:

Pertama, Pasal 169A mengatur bahwa perpanjangan ijin tanpa lelang. Semestinya jika UU berlaku. Maka daerah wilayah tambang kembali menjadi milik negara atau kembali ke pemerintah. Perpanjangan dengan demikian harusnya lelang ulang, dimana pemegang lama bisa ikut berpartisipasi.

Perpanjangan tanpa lelang ini jelas akan menguntungkan pengusaha. Padahal, melalui lelang pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang tersebut (Martawardaya, 2020). Evaluasi dan ketentuan kontrak perpanjangan yang dibutuhkan antara lain dalam hal aspek perpanjangan, perizinan, tanggung jawab pengusaha terhadap lingkungan, dan lainnya.

Kedua, Pasal 43 menyebutkan mineral ikutan tidak lagi harus dilaporkan. Padahal, mineral ikutan menyimpan potensi pendapatan negara dari royalti. Sehingga, kegiatan eksplorasi tidak terkena royalti dan tidak ada pembatasannya. Ketentuan Pasal 43 pada UU Minerba 2009 dihapuskan para perubahan ini.

Ketiga, Pasal 45 menyebutkan mineral yang tergali pada masa eksplorasi tidak kena royalti. Ekplorasi harus ada limit-nya, sehingga jelas berapa yang tidak royalti. Hal ini untuk mengantisipasi adanya pengakuan masih eksplorasi belum eksploitasi, tetapi kenyataanya sudah. Ketentuan Pasal 45 pada UU Minerba 2009 juga dihapuskan para perubahan ini.

Keempat, Pasal 169A Ayat 1 menyebutkan KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud pada Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan memenuhi ketentuan. Pasal ini berpotensi merugikan menginta ada syarat-syarat ketat yang dihapus dari UU Minerba 2009.

Selain menguntungkan perusahaan kelas kakap, UU Minerba yang baru ini akan melanggengkan pengerukan minerba. Berbagai dampak negatif berpotensi muncul antara lain kerusakan lingkungan hidup, terancamnya nyawa dan kesehatan warga, konflik sosial, dan lain-lain. Negaralah yang akan merugi dengan tanggung jawab lebih atas kerusakan tersebut.

Baca juga:  Revisi UU Minerba Bukan Alasan untuk Buka Keran Ekspor Mineral Mentah

 

Tongkang batubara yang sedang diisi di terminal pengisian di pinggir sungai Mahakam. Foto: David Fogarty

 

Potensi Korupsi

Pengesahakan RUU Minerba dikhawatirkan akan membangkitkan mafia yang sebelumnya tiarap. Banyak modus terungkap terkait korupsi sektor energi dan pertambangan. Potensi korupsinya juga sangatlah besar.  Hal ini dikarenakan perputaran dana dengan nilai triliunan rupiah dari industri hulu hingga hilirnya.

Selain itu menurut Ilyas (2014) penyelewengan juga besar melalui penyalahgunaan wewenang di kementerian.

Potensi korupsi sektor energi di hulu hingga hilir serta transfer pricing di sektor pertambangan mineral mendapatkan peluang lantaran masih lemahnya sentuhan penegak hukum.  Gayung bersambut dengan ikut bermainnya kepentingan politik dalam kolusi dan korupsi yang terjadi di sektor ini (Munandar, 2013).

Indonesia yang kaya sumberdaya alam mesti serius melakukan tata kelola energi dan pertambangan secara optimal dan bersih. Salah satu penopang suksesnya pengelolaan adalah pemberantasan korupsi dan mafia sektor energi dan pertambangan. Selama ini  hasil sumber daya alam yang semestinya untuk kemakmuran rakyat justru kurang optimal penanganannya.

Pendapatan negara dari sektor energi yang hanya sebesar Rp 300 triliun, masih terbilang sedikit untuk ukuran Indonesia. Kondisi ini belum diperparah dengan penyunatan pendapatan oleh praktik korupsi. Pemberantasan korupsi migas membutuhkan energi yang kuat dan strategi yang optimal.

Apresiasi patut diberikan kepada KPK yang telah merumuskan  peta jalan (roadmap) pemberantasan korupsi 2012-2023. Salah satu unsur rumusan tersebut adalah `national interest` yaitu hal yang menjadi kepentingan publik secara nasional.

Bidang utama yang dimasukkan dalam ‘national interest’ ini antara lain ketahanan pangan, ketahanan energi, dan sektor penerimaan negara melalui pajak.

 

Sektor minerba meninggalkan dampak bagi lingkungan. Kondisi lubang tambang batubara di Samarinda, Kaltim yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

Tantangan ke depan tinggal konsistensi dan optimalisasi pemberantasannya. KPK tidak akan sukses secara paripurna jika mengandalkan dirinya saja. Konsekuensinya mesti melakukan kerjasama antar  penegak hukum.

Edy (2014) mengusulkan adanya roadmap pemberantasan korupsi yang disusun bersama antara KPK, POLRI dan Kejaksaan. Diantaranya mesti ada yang berkonsentrasi mencegah serta menindak kebocoran di sektor energi.

KPK penting fokus pada  penanganan kasus korupsi sektor energi yang skala prioritasnya adalah kasus-kasus `grand corruption`. Abraham Samad pernah menjelaskan bahwa grand corruption merupakan kasus yang berdampak luas pada `national interest`, melibatkan aparat penegak hukum, para pengambil kebijakan serta tergolong kejahatan sindikasi dan terorganisasi.

Kategori `grand corruption` ini dapat dilihat dari dua hal, yaitu pelaku dan jumlah kerugian negara.

Hal penting lainnya adalah prioritas pencegahan. Sekuat apapun energi KPK atau penegak hukum lain mustahil meberantas korupsi sektor energi jika hanya mengandalkan penindakan atau penangkapan. Korupsi sektor energi diprediksi cukup sistematis melibatkan mafia.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memperkuat regulasi tata kelola energi secara ketat dan tegas. KPK juga mesti mengoptimalkan pendampingan dan monitoring terhadap sektor ini.

Sektor energi dan pertambangan merupakan potensi devisa bagi kemajuan bangsa. Pemberantasan korupsi di sektor ini menjadi salah satu langkah penting guna mengembalikan daya guna potensi tersebut.

Malapraktik eksploitasi SDA dan kebocoran selain merugikan keuangan negara, juga berpotensi menimbulkan degradasi lingkungan dan bencana. Inisiasi KPK dengan menyinergikan seluruh instansi terkait patut diapresiasi. Indonesia sebagai negeri kaya SDA mesti diselamatkan dari perilaku mafia yang koruptif dan eksploitatif yang tidak bertanggung jawab.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

Exit mobile version