Mongabay.co.id

Bongku dan Pengabaian Hak Masyarakat Adat

Bongku, orang Sakai yang dituduh merusak tanaman perusahaan ini kena vonis satu tahun penjara. Sumber: YLBHI

 

 

 

Pada 3 November 2019, seorang warga Komunitas Adat Sakai, ditangkap. Namanya, Bongku. Pria 58 tahun ini dituduh menebang akasia dan eukaliptus.

Penangkapan oleh sekuriti PT Arara Abadi. Mereka lalu menyerahkan Bongku ke Polsek Pinggir, Bengkalis, Riau. Bongku dianggap menyebabkan kerugian hasil panen Arara Abadi karena membuka lahan seluas setengah hektar di konsesi perusahaan. Rencananya, lahan ini akan ditanami ubi kayu, makanan pokok masyarakat Sakai.

Saat ditangkap, Bongku dituduh menebang 200 pohon eukaliptus dan akasia untuk membuka lahan. Pada 24 Februari 2020, dalam persidangan di PN Bengkali, Bongku dituntut satu tahun penjara, denda Rp500 juta. Alas hukum Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah Pasal 82 Huruf (c), Undang-undang No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan pengrusakan Hutan (P3H). Pada 18 Mei lalu, hakim memvonis Bongku satu tahun penjara.

 

Orang Sakai dan Arara Abadi

Masyarakat Adat Sakai, adalah komunitas adat yang kurang dikenal banyak orang. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sakai adalah salah satu dari lima komunitas adat yang terancam punah.

Ancaman terhadap kepunahan ini terindikasi oleh tiga aspek penting. Pertama, hilangnya wilayah adat yang berimplikasi pada penurunan drastis kemampuan dan ketahanan pangan. Kedua, populasi anggota komunitas makin berkurang akibat angka mortalitas dan morbiditas tinggi. Ketiga, lenyapnya kekayaan budaya seperti bahasa, praktik dan pengetahuan tradisional serta pranata adat.

Baca juga: Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan, Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan

Dalam pemukiman Sakai, seseorang akan diangkat sebagai pemimpin dengan sebutan batin. Mereka dianggap cakap dan memiliki keluasan pengetahuan maupun kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai dan aturan hidup orang Sakai.

Secara sederhana, Sakai dapat berarti “anak-anak yang hidup di sekitar sungai.” Dalam ilmu antropologi, pengertian ini menunjukkan bukti hidup atas relasi simbiosis multispesies antara orang Sakai dan alam sekitar. Inilah mengapa, dalam jalur perlintasan mereka akan selalu menempati lokasi yang dekat aliran sungai, yang jadi semesta dari struktur kosmologi Sakai.

Hidup di pedalaman Riau, jadi penunjuk mengapa orang-orang Sakai ditemukan bermukim di beberapa lokasi seperti daerah Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sekitar Sungai Siak, dan bagian hulu dari Sungai Apit.

 

Peta lokasi Bongku menebang akasia dan eukaliptus di wilayah sengketa antara Suku Sakai dan Arara Abadi.

 

Secara tradisional, orang-orang Sakai biasa tinggal di pondok sederhana yang dibangun dengan memanfaatkan hasil alam dan mudah dibongkar. Hal ini sebagai cara memudahkan mobilitas mereka yang didasarkan pada prinsip nomadik. Inilah mengapa, praktik perladangan berpindah masih umum dilakukan Masyarakat Sakai. Model ini terbukti lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan karena memberikan jeda kepada tanah untuk merehabilitasi diri.

Sementara, Arara Abadi adalah perusahaan di bawah kontrol manajemen Sinar Mas Forestry yang terafiliasi dengan Sinar Mas Group, salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia.

Awalnya, konsesi Arara Abadi, berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor: 743/KptsII/1996 tertanggal 25 November 1996. Sebelum mendapatkan perpanjangan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 703/Menhut-II/2013 tertanggal 21 Oktober 2013 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 743/Kpts-II/1996 tertanggal 25 November 1996.

Berdasarkan SK itu, Arara Abadi mendapat izin negara mengelola areal 296.262 hektar terbagi dalam lima zona pengelolaan. Zona pertama, dengan nama Area Minas, dibagi dalam tiga distrik: Gelombang (termasuk wilayah administrasi Kabupaten Siak, Riau), Rasau Kuning (di Kabupaten Siak dan Kota Pekanbaru, Sumatera Selatan) dan Tapung (di Kabupaten Siak dan Kampar, Riau).

Kedua, bernama Area Siak, terbagi dalam dua distrik: Pusaka dan Berbari. Keduanya dalam administrasi Kabupaten Siak. Ketiga, Area Duri terbagi dalam dua distrik: Sebanga (Kabupaten Siak) dan Melibur (mencakup Kabupaten Siak dan Bengkalis).

Area Rokan, merupakan zona keempat, hanya terdiri dari satu distrik, Bukit Kapur, wilayah terbagi dalam tata administrasi Kabupaten Bengkalis, Rokan Hilir dan Kota Dumai. Zona kelima, terbagi ke dalam empat distrik: Nilo, Sorek, Melako dan Merawang, semua dalam Kabupaten Pelalawan.

Peririsan antara orang Sakai dan Arara Abadi berpangkal pada lahan seluas 7.158 hektar, dengan akar persoalan menjulur pada pertengahan 1990-an saat konsesi pertama kali rilis oleh pemerintah. Masyarakat Adat Sakai kala itu tak sanggup menolak perampasan tanah oleh negara. Beberapa kali upaya menghalau perusahaan mereka lakukan. Sayangnya, serangan balik dalam bentuk represi oleh aparat keamanan bersenjata lengkap, menimbulkan trauma mendalam bagi banyak orang Sakai.

Lahan seluas 7.158 hektar itu menurut orang Sakai merupakan janji Arara Abadi yang tak pernah ditepati. Mereka diiming-imingi tanah untuk menanam ubi sebagai sumber pangan, dan karet sebagai topangan ekonomi. Namun, Arara Abadi berkelit, justru menanami lahan dengan akasia dan eukaliptus.

Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PKTHA-KLHK) sempat berupaya memediasi konflik. Pada Agustus 2015, tim terbentuk dan diutus ke lokasi untuk mengumpulkan bukti dan memverifikasi silang pendapat antara Masyarakat Adat Sakai dan Arara Abadi.

Salah satu temuan tim khusus PKTHA-KLHK adalah tuntutan pengembalian 2.912 hektar tanah adat orang Sakai yang diduduki Arara Abadi. Klaim ini dibantah manajemen perusahaan yang menilai semua urusan selesai dan tuntutan tak berdasar.

Perusahaan menuduh Masyarakat Adat Sakai, terutama Komunitas Bathin Beringin telah menduduki lahan ilegal dengan mendirikan gubuk, membuka kebun dan menanam tanaman hortikultura.

Menindaklanjuti temuan ini, penilaian kembali dilakukan pada 18 Mei 2016, berujung pada tawaran mediasi. Setahun kemudian, pertemuan pra-mediasi dilakukan dengan mediator yang ditunjuk PKTHA-KLHK. Pertemuan ini menemukan jalan buntu karena kedua pihak tak mengubah pendirian.

Arara Abadi menilai, tuduhan Masyarakat Adat Sakai tidak tepat sasaran. Skema pembangunan tanaman kehidupan dianggap sudah lebih dari cukup.

Sebaliknya, orang Sakai menganggap, perusahaan telah melakukan perampasan wilayah adat mereka. Argumentasinya, saat konsesi pertama kali rilis dekade 1990-an, tak ada pelibatan Masyarakat Adat Sakai meski di areal itu ada perkampungan, lahan-lahan bekas perladangan dan situs budaya seperti makam tetua dan lokasi ritual. Penanaman eukaliptus dan akasia bagi orang Sakai, tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan dan ruang hidup juga struktur kosmologi mereka.

 

Sumber: LBH Pekanbaru

 

Mata pisau UU P3H

UU No.18/2013 tidak bisa lepas dari persoalan tentang pembangunan dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Indonesia yang compang-camping.

Berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin masih sering terjadi. Ragam kejahatan terhadap hutan ini menimbulkan kerugian negara dan menyebabkan pranata sosial, budaya dan lingkungan hidup rusak. Maraknya perusakan hutan tidak hanya terjadi di hutan produksi, juga ke hutan lindung atau konservasi. Praktik ini merupakan kejahatan lingkungan berskala besar dan terorganisir.

Untuk itulah, UU P3H lahir sebagai upaya tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan secara terorganisasi. Ia jadi payung hukum berbentuk UU agar perusakan hutan terorganisir dapat ditangani efektif dan efisien serta memberikan efek jera kepada pelaku.

Cakupan perusakan hutan diatur dalam UU ini meliputi proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Dalam UU P3H, pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

Sementara yang dimaksud, penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin menteri.

Undang-undang ini menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan secara terorganisasi. Artinya, aksi perusakan ini kegiatan oleh kelompok terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih. Sebagai kelompok, bertindak bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.

Pengecualian dalam UU No.18/2013 ini adalah kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam wilayah hutan itu. Pengecualian ini secara spesifik merujuk kepada masyarakat adat yang berkegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi lahan yang telah ditetapkan kelompoknya.

 

Keterangan foto utama: Bongku, orang Sakai didampingi LBH Pekanbaru dalam sidang di Pengadilan Negeri Pelalawan. Foto: LBH Pekanbaru

 

Ketiadaan pengakuan hak

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, sejak 2015-2019, terjadi 2.308 kasus konflik agraria melibatkan masyarakat adat dan masyarakat pedesaan. Rata-rata per tahun, peningkatan konflik hingga 15%. Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan, pada 2019, terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. AMAN sendiri mencatat lebih 300 pejuang masyarakat adat ditangkap dan dikriminalisasi terkait sengketa wilayah adat.

Spiral kekerasan ini tidak lepas dari gagalnya pembentukan UU Masyarakat Adat, sejak pertama kali didorong pada 2008. Penangkapan warga adat macam Bongku pun bukan peristiwa pertama kali.

Saat riuh pemilihan presiden (pilpres) 2014, RUU Masyarakat Adat sempat menemukan momentum ketika ikut tercantum dalam Nawacita Joko Widodo. Meski kemudian, janji ini urung ditepati. RUU Masyarakat Adat jadi kartu mati di pihak eksekutif yang tak kunjung menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Keenam kementerian yang ditugaskan Presiden Jokowi, saling lempar tanggungjawab dan menyangkal diri sebagai batu sandungan.

Proses pembuatan payung hukum nasional untuk masyarakat adat lamban, berbanding terbalik dengan progres positif di daerah.

Dalam catatan AMAN, hingga Desember 2019, ada 85 peraturan daerah dalam bentuk surat keputusan kepala daerah atau peraturan daerah, yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Mendesaknya UU Masyarakat Adat lahir, tidak hanya merupakan utang konstitusi bangsa Indonesia kepada sekitar 70 juta masyarakat adat (BPS 2018). Juga sebagai payung hukum untuk mengurai benang kusut menyangkut hubungan antara hak masyarakat adat dengan gelombang investasi yang menyasar tanah-tanah ulayat.

Labirin persoalan yang terus hadir karena ketiadaan pengakuan atas hak masyarakat adat dan kedaulatan wilayah adat ini telah berdampak pada kriminalisasi berulang, memperparah kerusakan lingkungan dan jadi pembuktian buruknya iklim dan tata kelola investasi di Indonesia.

Penangkapan Bongku di Bengkalis, Riau, bukan hanya preseden buruk tetapi pengingat buruk bahwa negara masih abai melindungi, melayani dan melindugi hak-hak warga negaranya.

 

*Andre Barahamin, penulis buku “Belalang Komunis”, jurnalis dan peneliti lepas yang fokus pada isu masyarakat adat, lingkungan dan konflik agraria di Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

Keterangan foto utama: Bongku, orang Sakai yang dituduh merusak tanaman perusahaan ini kena vonis satu tahun penjara. Sumber: YLBHI

umah sewa Bongku, tak jauh dari tempat dia mau tanam ubi, yang dituduhkan telah menebang banyak eukaliptus dan akasia. Foto: Walhi Riau
Exit mobile version