Mongabay.co.id

Konflik Agraria dan Buruknya Penatausahaan HGU PTPN

 

Konflik agraria terkait penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di berbagai daerah masih terus terjadi, sementara pemerintah sendiri terkesan kurang memberi perhatian dalam penyelesaian konflik. Beragam dalih disampaikan pemerintah, seperti belum adanya pelepasan aset dari pihak perusahaan hingga masih adanya keberatan dewan direksi untuk melepaskan aset.

“Ini memang permasalahan sangat rumit yang membutuhkan perhatian khusus dari Kementerian Agraria, BUMN, keuangan dan pihak kepolisian melalui Brimob justru yang membantu melakukan penggusuran. Di sini kita bisa melihat betapa carut marut penatausahaan HGU ini memang sangat buruk,” ungkap Roni S. Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam sebuah diskusi daring, Selasa [12/5/2020].

Kondisi ini, menurut Roni, kontras dengan apa yang disampaikan pemerintah Joko Widodo selama ini. Misalnya, di beberapa rapat terbatas atau pidato presiden yang memerintahkan secara langsung kepada jajaran kementerian untuk segera menyelesaikan konflik-konflik agraria.

“Bahkan di sebuah rapat terbatas, presiden mengatakan akan mencabut izin konsesi perusahaan yang melakukan penyerobotan lahan warga,” kata Roni.

baca : Perlu Konsensus Nasional dalam Penyelesaian Konflik Agraria

 

Aktivitas PTPN XIV di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang seluas 5.230 hekar tanpa HGU telah menutup akses masyarakat terhadap lahan yang dulu mereka miliki pada Juli 2017. Foto: Rizki Anggriana Arimbi/Mongabay Indonesia

 

Malah, lanjut Roni, KPA sudah bertemu presiden yang kemudian menyatakan komitmennya untuk mempercepat reforma agraria khususnya penyelesaian konflik agraria baik swasta maupun PTPN dan Perhutani.

“Bagaimana sebenarnya sejauh ini upaya sistematis dari kementerian agraria untuk merespons hal tersebut? Di tengah kebijakan pemerintah saat ini yang hendak meredistribusikan tanah 9 juta hektar, lantas bagaimana sebenarnya percepatan penyelesaian konflik dalam kerangka reforma agraria di lokasi-lokasi konflik dengan PTPN?”

Kondisi di lapangan, menurut Roni, banyak sekali konflik agraria terjadi yang tak bisa diselesaikan oleh Kementerian Agraria dan ini sudah berlangsung puluhan tahun mengorbankan begitu banyak petani dan masyarakat adat.

Dalih pemerintah selama ini bahwa masyarakat harus memiliki atas hak, seperti sertifikat tanah, dinilai Roni, sebagai hal yang tak masuk akal, karena selama ini upaya pendaftaran tanah justru tidak menyasar di desa-desa yang sedang berkonflik.

“Pendaftaran tanah yang dilakukan oleh BPN selama ini hanya menyasar lokasi-lokasi non-konflik. Jika penyelesaian konflik menggunakan pendekatan legalistik formal di pengadilan atau di mediasi harus menunjukkan sertifikatnya, ya masyarakat yang berkonflik yang tidak didaftar tanah-tanahnya BPN tidak akan bisa juga membuktikan hak-hak atas tanahnya,” ujarnya.

baca juga : Pemerintah akan Bentuk Divisi Penanganan Konflik Agraria Lintas Kementerian dan Lembaga

 

Pihak kepolisian melalui Brimob terkadang turut terlibat dalam upaya penggusuran lahan warga yang berkonflik dengan PTPN. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Roni, selama tahun 2016-2019 KPA telah menyerahkan data seluas 665.000 hektar ke Kementerian Agraria, KLHK, KSP, Kemenko Perekonomian dan Kementerian Desa, untuk diselesaikan konflik agrarianya dan diredistribusikan dalam kerangka reforma agraria.

Di lokasi-lokasi ini terdapat 147 desa yang selama ini berkonflik dengan PTPN, baik yang memiliki HGU aktif maupun tidak. HGU aktif pun, meski tergolong aktif namun tidak diusahakan oleh PTPN. Jumlahnya sangat tinggi 131 konflik agraria mengorbankan 131 desa seluas 277 ribu hektar dengan 41 ribu kepala keluarga petani di dalamnya.

“Ini adalah pekerjaan rumah Kementerian Agraria, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, bagaimana melakukan penyelesaian konflik agraria sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.”

Peraturan yang dimaksud Roni antara lain, di Kementerian Keuangan misalnya memiliki Permen No.96/2007 mengenai Tata Cara Pelepasan Aset, kemudian di Kementerian BUMN memiliki Peraturan BUMN No.2/2010 mengenai Penatausahaan Aset Tidak Bergerak atau Tanah atau Sebagainya. Lalu ada juga Perpres Reforma Agraria yang di dalamnya memandatkan adanya redistribusi tanah hasil dari konflik agraria.

Roni selanjutnya menawarkan tiga solusi atau prasyarat ke pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik. Pertama adalah mendata konflik agraria dan penguasaan tanah untuk menentukan subjek objek prioritas, untuk diselesaikan konfliknya.

Data ini nantinya menjadi acuan bagi pemerintah khususnya BPN agar memprioritaskan penyelesaian konflik-konflik agraria struktural, karena secara faktual di lapangan desa-desa atau lokasi-lokasi tersebut sudah berproduksi, sudah ada masyarakatnya sejak dahulu kala, sudah mengupayakan dukungan pemerintah daerah, dsb.

perlu dibaca : Mediasi dalam Pusaran Konflik Agraria

 

Proses mediasi konflik lahan telah berlangsung bertahun-tahun, termasuk melibatkan BPN, namun kemudian semua permasalahan diserahkan ke pemerintah pusat tanpa arah penyelesaian yang jelas. Foto: Wahyu Chandral/Mongabay Indonesia.

 

Kedua, menyelesaikan konflik, meredistribusikan tanah-tanah tersebut khususnya PTPN dan aset-aset BUMN lainnya sesuai dengan permohonan atau usulan masyarakat, seperti yang terjadi di PTPN II Sumut. Gubernur Sumut pernah mengeluarkan SK calon penerima aset PTPN, meski pun ini kemudian batal karena kalah gugatan di pengadilan.

“Namun ini adalah bukti bahwa jika memang hendak menemukan subjek objek yang tepat itu memang harus bekerja berdasar usulan langsung dari petani atau penggarap atau masyarakat adat yang selama ini menguasai tanah-tanah tersebut agar meminamalisir konflik-konflik horizontal lainnya.”

Usulan ketiga adalah melibatkan masyarakat dan organisasinya dalam seluruh tahapan penyelesaian konflik agraria, dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan sebainya.

Pelibatan ini dinilai penting karena kontrol dari masyarakat yang akan menjadi rambu-rambu bagi pemerintah jika pemerintah sudah dilihat melenceng dari jalur semestinya.

“Masyarakatlah yang mengingatkan, karena sangat sedikit pejabat di suatu kementerian akan mendikte keputusan atau hasil kerja Dirjen atau menterinya, berbeda dengan masyarakat yang akan sangat terbuka saja mengkritik pejabat pemerintah.”

baca juga : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

 

Perusakan sawah menggunakan alat berat di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel pada Juli 2018. PTPN XIV berdalih bahwa lahan sekitar kawasan bisa digunakan warga untuk pertanian, selain untuk sawah. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

Redistribusi Lahan HGU PTPN ke Petani

Menurut Koordinator KPA wilayah Sulsel, Rizki Anggriana Arimbi, jika memang ada niat baik Jokowi dan semua pemerintahan dalam menyelesaikan dan menjalankan agenda reforma agraria, maka PTPN sebagai milik negara seharusnya menjadi garda terdepan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.

Menurutnya, meski berbagai pertemuan telah dilakukan, sejumlah kesepakatan telah dihasilkan namun konflik masih berlarut-larut, kriminalisasi terhadap petani juga masih terus berlangsung hingga saat ini.

Rizki mencontohkan sejumlah kasus di Sulsel yang telah bertahun-tahun diadvokasi dan dimediasi, namun belum terlihat implementasi di lapangan. Misalnya, di Kabupaten Enrekang di mana bupati sejak 6 tahun silam telah mengeluarkan surat tak memperpanjang HGU PTPN XIV yang sudah selesai sejak 2003, karena tidak pernah memberi manfaat pada pemda.

Lalu, di Kabupaten Wajo, penguasaan HGU di dua kecamatan dengan luas HGU sengketa 2.170 hektar yang proses penyelesaiannya telah dibicarakan di kementerian BUMN. Di Kabupaten Takalar warga rutin bertemu dengan PTPN dan BPN dan disepakati akan ada pengembalian tanah seluas 2.000 hektar.

“Kalau memang bicara ada kemauan di pemda, dari pertemuan DPRD, direksi, perkebunan, semuanya mengembalikan ke pusat. Ini berlarut-larut. Akhirnya kita bertanya bagaimana sih agenda penyelesaiannya, harusnya lebih cepat diselesaikan karena milik negara. Ini malah terulur, rakyat jadi korban kriminalisasi dan kemiskinan.”

Menurut Rizki, jumlah masyarakat miskin Sulsel per September 2019 sekitar 767.080 di mana sekitar 70 persen di antaranya adalah masyarakat pedesaan, yang sebagian besar sedang berkonflik dengan PTPN.

Riski menghitung, jika total konsesi yang di atas klaim 66 ribu hektar HGU yang dikuasai PTPN dikembalikan ke masyarakat, di mana setiap kepala keluarga petani mendapat 2 hektar, maka terdapat 16.400 kepala keluarga atau 66 ribu jiwa petani akan mendapatkan manfaat.

“Kita bisa bayangkan, pak Presiden tak perlu mencetak sawah untuk bicara soal pangan ketika kantong-kantong lokasi lahan-lahan perkebunan masyarakat bisa dikembalikan. Beragam konflik bisa selesai ketika memang negara punya keinginan kuat di implementasi,” katanya.

 

Saparuddin (40 tahun) memandang lahan keluarganya yang telah ditanami sawit PTPN XIV di Maroangin, Kabupaten Enrekang, Sulsel pada April 2018. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Daniel Adityajaya, Direktur Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah II Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), konflik antara warga dan PTPN telah berlangsung lama sehingga perlu diteliti dengan saksama. Penelitian itu terkait mana subjek dan mana objek serta pihak-pihak yang mengklaim menguasai tanah tersebut.

Ia menambahkan bahwa penyelesaian konflik agraria ketika terkait PTPN atau BUMN tidaklah mudah, karena ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, karena terkait aset.

“Kadang syarat-syaratnya terpenuhi dan ada putusan pengadilan, baik itu perdata atau malah pidana namun tidak serta merta didistribusi karena harus ada pelepasan aset dulu, dalam hal ini kita melibatkan kementerian lain. Demikian halnya jika klaim dilakukan banyak kelompok masyarakat yang masing-masing memiliki data yuridis dan bukti penguasaan, kita harus melibatkan instansi lain, dalam hal ini pemda untuk fasilitasi,” katanya.

 

Exit mobile version