Mongabay.co.id

Penyederhanaan Peraturan Pengelolaan Laut dalam Omnibus Law, Salah Kaprah?

 

Rancangan Undang-Undang tentang cipta kerja atau populer dikenal dengan sebutan Omnibus Law, saat ini sedang menjadi isu yang disorot oleh pemerhati sektor kelautan dan perikanan. RUU tersebut dinilai hanya akan memperburuk sektor yang menghidupi banyak nelayan, pembudi daya ikan, hingga pelaku usaha dengan skala kecil sampai besar.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyoroti pembuatan RUU tersebut sebagai upaya untuk memberi legalisasi kepada Pemerintah Indonesia dalam mengatur sektor kelautan dan perikanan dengan cara melaksanakan penghancuran laut secara massal.

Padahal, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, laut merupakan entitas ekologis yang sangat penting bagi planet bumi. Tanpa laut yang sehat dan bersih, kunci keseimbangan kehidupan akan terganggu dan sumber protein bagi manusia yang disediakan laut juga terancam jika perusakan ekosistem laut tidak bisa dihentikan.

Tanpa adanya RUU Cipta Kerja, Susan juga menyebut kalau keberlanjutan ekosistem laut saat ini memang sudah terancam, salah satunya karena kandungan oksigen (deoksigenasi) di dalam laut dunia terus menghilang akibat krisis iklim yang disebabkan oleh aktivitas destruktif manusia.

“Deoksigenasi, telah dilaporkan oleh sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2019 lalu,” ucap dia pekan lalu di Jakarta.

baca : Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Mukhlisin (30), salah satu pemilik perahu berada diantara barang-barang yang berhasil diselamatkan dari perahu yang tenggelam di di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palang, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kehancuran ekosistem lautan Indonesia akan semakin parah, jika RUU Cipta Kerja disahkan oleh Pemerintah dan DPR RI. Mengingat, RUU ini hanya menempatkan laut sebagai target investasi, dalam arti objek eksploitasi atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

“Kami mendesak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang kini dilakukan oleh DPR RI untuk dihentikan. Selain itu, kami meminta Presiden Jokowi untuk mencabut Surat Presiden yang telah ia kirimkan kepada DPR RI,” ungkap dia melalui keterangan resmi kepada Mongabay.

Di dalam Omnibus Law, ancaman dirasakan pada ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, karena ada beberapa pasal yang dilakukan revisi. Contohnya adalah pasal 26A UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.

Dalam pasal tersebut, disebutkan, “Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”

Menurut Susan, pasal tersebut menghilangkan syarat-syarat penting, terutama pertimbangan sosial, ekologis, dan juga budaya. Dengan demikian, perlindungan ekosistem pesisir laut, dan pulau-pulau kecil, akan semakin masif dilakukan setelah disahkannya RUU tersebut.

baca juga : Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tujuan Ambigu

Bagi Susan, contoh pasal di atas patut untuk dipertimbangkan kembali oleh Pemerintah. Karena, walau ada pasal yang menyebut tentang konservasi laut, namun hal tersebut justru menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sedang mengalami kebingungan.

“Selain karena konsepnya top-down dan berbasis utang luar negeri, konservasi laut adalah proyek ditujukan untuk melayani kepentingan korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya genetik, salah satunya untuk kepentingan industri farmasi,” tandasnya.

Menurut Susan, contoh di atas menjadi salah satu kekeliruan yang dilakukan Pemerintah melalui Omnibus Law. Jika memang konservasi laut menjadi salah satu tujuan pembangunan, bagaimana bisa konsep tersebut disandingkan dengan eksploitasi laut yang menjadi konsep utama pembangunan di wilayah pesisir dan pulalu-pulau kecil dalam Omnibus Law.

“Atas dasar itu kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak RUU ini,” pungkas dia.

Melihat ada banyak potensi yang bisa semakin mengecilkan peran dan kesejahteraan masyarakat pesisir, KIARA meminta Presiden RI Joko Widodo untuk bisa mempertimbangkan keberlanjutan RUU Cipta Kerja yang sangat kontroversial.

Untuk meneruskan pesan tersebut, KIARA sudah mengirimkan surat penolakan RUU tersebut kepada Presiden RI dan menyebutkan ada dua hal mendasar yang menjadi pertimbangan utama untuk menolak RUU. Pertama, adalah dari sisi prosedur, penyusunan RUU tidak melibatkan partisipasi publik, khususnya dari masyarakat pesisir.

“Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan tradisional atau skala kecil, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir,” ucapnya.

baca juga : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Ilustrasi. Buruh usai melakukan sortir ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kemudian yang kedua, dari sisi substansi RUU Cipta Kerja juga akan merevisi banyak UU sektoral yang dianggap bisa menghambat investasi atau kemudahan berusaha. Itu artinya, RUU akan membuka kesempatan kepada kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

Potensi tersebut harus dicegah, karena itu berarti status nelayan skala kecil dan nelayan tradisional akan disamakan dengan nelayan skala besar yang memiliki kapal, modal, dan juga awak kapal perikanan (AKP) yang besar. Jika itu terajdi, akan muncul definisi yang kabur tentang nelayan skala kecil, nelayan tradisional, dan nelayan skala besar.

“Pada masa yang akan datang, nelayan-nelayan skala kecil harus berkompetisi dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Kondisi ini jelas akan merugikan kehidupan nelayan skala kecil karena sumber daya perikanan akan terus dieksploitasi oleh kapal skala besar,” ungkapnya.

 

Perizinan Berusaha

Pada kesempatan berbeda, Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto menjelaskan, Omnibus Law dibuat Pemerintah karena merujuk pada situasi sekarang, di mana sudah terjadi regulasi yang kompleks dan terlalu banyak.

Keadaan tersebut berlaku untuk semua sektor, termasuk kelautan dan perikanan yang menaungi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Di sisi lain, pada saat yang sama Pemerintah ingin bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak untuk masyarakat Indonesia.

“Agar bisa mencapat tujuan tersebut, dilakukan perbaikan dan penyederhanaan regulasi yang sudah ada sekarang dengan RUU yang baru, salah satunya adalah penyederhanaan perizinan berusaha,” jelas dia dalam perbincangan yang digelar Mongabay Indonesia melalui konferensi video belum lama ini.

Khusus untuk kelautan dan perikanan, Rony Megawanto memaparkan ada beberapa yang menjadi fokus dalam Omnibus Law, yaitu penyederhanaan perizinan melalui penghapusan surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).

“Semuanya diganti dengan surat perizinan berusaha,” jelas dia.

baca juga : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Ilustrasi. Para pembeli ikan menunggu nelayan pulang melaut di TPI Ngaglik, Palang, Tuban, Jatim. Saat angin kencang, sebagian nelayan masih memberanikan diri berangkat melaut. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Penyederhanaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui RUU Cipta Kerja, di mata Rony akan berpotensi memicu terjadinya kenaikan penangkapan ikan yang semakin berlebih (over fishing). Bahkan, dia meyakini jika Omnibus Law disahkan, over fishing akan semakin parah dan terjadi di semua perairan laut di Indonesia.

Potensi itu bisa muncul, karena tujuan utama dari perizinan adalah untuk pengendalian perikanan, dan bukan sebagai sumber pendapatan negara. Tetapi, jika tujuan utama perizinan dibalik sebagai sumber pendapatan negara, maka over fishing adalah ancaman yang akan menjadi kenyataan.

Pembahasan tentang perizinan berusaha tersebut, menjadi bentuk nyata dari upaya Pemerintah yang sedang melakukan resentralisasi pengelolaan perikanan. Karena itu, jika Omnibus Law disahkan nanti, maka proses perizinan berusaha akan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.

“Kuncinya pada peraturan pemerintah (PP) tentang perizinan berusaha yang akan disusun kemudian,” terang dia.

Di sisi lain, konsep resentralisasi yang diinginkan Pemerintah, menurut Rony itu juga sangat beresiko jika nantinya jadi diterapkan. Hal itu, karena resentralisasi akan menyebabkan Pemerintah Pusat tidak bisa melakukan pengelolaan sumber daya ikan dengan baik di seluruh Indonesia.

Sementara, dengan konsep sebelum adanya Omnibus Law di mana pengelolaan sumber daya ikan di wilayah perairan laut Indonesia dilakukan secara desentralisasi, itu sebenarnya menjadi konsep yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.

“Desentralisasi sebenarnya jawaban atas luasnya perairan Indonesia dan beragamnya sumber daya ikan,” sebut dia.

perlu dibaca :  Was-was ‘Sapu Jagat’ Omnibus Law

 

Ilustrasi. Nelayan saat membongkar ikan tongkol di kapal di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Disaat ikan tongkol banyak, harga yang awalnya Rp18 ribu/kg bisa turun hingga Rp13-14 ribu/kg. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Momentum Strategis Perikanan Tangkap

Sebelumnya, Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, menjelaskan bahwa saat ini perikanan tangkap Indonesia berada pada momentum sangat strategis, yang secara ekonomi dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha. Sehingga membutuhkan investasi yang serius dan upaya pengembangan potensi ekonomi yang luar biasa.

“Dengan kondisi negara yang sangat butuh seperti sekarang ini, harusnya bisa didorong sebagai kerangka strategis untuk berkembang ke depan. Namun kita juga tak ingin ini bablas, makanya instrumen-instrumen pendataan harus dikawal bersama,” katanya.

Meski demikian, ia menyadari adanya kekhawatiran berbagai pihak terkait dampak Omnibus Law ini. Misalnya terkait perizinan yang nantinya seluruhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.

“Ini menjadi salah satu concern kami, karena memang diperlukan kontrol mencegah terjadinya salah kelola dalam tata kelola kelautan dan perikanan.”

Menurutnya, meski segala bentuk perizinan ditarik ke pemerintah pusat namun kerangka yang menuju ke instrumen-instrumen tersebut masih berada di KKP. Tantangannya kemudian, bagaimana sistem perizinan tersebut terhubung secara otomatis dengan data-data yang ada, sehingga tidak menghambat dari segi proses.

“Dengan simplifikasi perizinan, semula ada SIUP, SIPI, SIKPI kemudian menjadi untuk satu instrumen saja, kita perlu memastikan kepatuhan terhadap perundang-undangan ini semakin intensif.”

 

Exit mobile version