Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Pubabu Tolak Klaim Lahan Pemprov NTT. Kenapa?

 

Warga Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) pada tanggal 12 Mei 2020, sekitar Pukul 15.00 WITA dikejutkan oleh kedatangan Gubernur NTT dan Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) di lokasi Besipae setelah kunjungan dari Kualin.

Setelah turun dari mobil Gubernur NTT meminta untuk masuk tapi warga tidak mengijinkan dengan alasan belum ada penyelesaian masalah terhadap konflik yang terjadi selama belasan tahun ini antara pemerintah provinsi dan masyarakat.

“Sempat terjadi keributan karena pak gubernur memaksa masyarakat untuk membongkar pagar yang dibuat masyarakat. Keributan kecil itu juga diwarnai dengan beberapa ibu di kampung melepaskan bajunya,” sebut Imanuel Tampani, Ketua Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK) masyarakat adat Pubabu kepada Mongabay Indonesia, Rabu (13/5/2020).

Akhirnya setelah ketegangan mereda, terjadi dialog antara warga dan gubernur yang salah satunya hasilnya gubernur menjanjikan untuk bertemu lagi pada bulan Juni 2020.

Bagi masyarakat adat Pubabu, peristiwa itu telah menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan. Dengan mudahnya Pemprov NTT melakukan pemaksaan tehadap masyarakat adat.

“Hal ini bukan pertama kali dialami masyarakat adat Pubabu sejak tahun 2008,” kata Imanuel.

baca :  Konflik Tanah di Hutan Pubabu. Kenapa Masyarakat Adat Menolak Klaim Pemerintah?

 

Masyarakat adat Pubabu yang berada di dalam lahan yang menurut mereka merupakan milik masyarakat adat di Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Foto : WALHI NTT/Mongabay Indonesia

 

ITA PKK menilai tindakan pemaksaan tersebut telah melanggar hak-hak warga negara dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Seharusnya gubernur dan bupati, katanya, memberitahukan rencana kedatangan sebelumnya agar masyarakat bisa mempersiapkan diri untuk berdialog.

“Apalagi di masa pandemi COVID-19 ini, kami justru berharap pemerintah memberi contoh kepada kami sebagai rakyat untuk menjalankan standar pencegahan COVID-19,” ungkapnya.

Tindakan  Pemprov NTT, tegas Imanuel, sangat bertentangan dengan sila ke-empat Pancasila yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Dan tidak menghargai proses mediasi yang sedang dilakukan masyarakat  adat Pubabu guna mendapatkan  pengakuan.

Pemerintah, sebutnya, tidak serius dalam menyelesaikan konflik kepemilikan dan hak atas tanah ulayat/adat hutan Pubabu.

Pemerintah juga tidak memperhatikan pengalaman traumatis masyarakat adat Pubabu akibat intimidasi, kriminalisasi, ketidakadilan hingga pembabatan hutan yang membabi buta oleh Pemprov di masa lalu.

“Sikap pembiaran juga dilakukan DPRD NTT. Dalam audiensi dengan masyarakat adat Pubabu dijanjikan akan segera membentuk tim pencari fakta dan menyurati Pemprov untuk menghentikan segala aktivitas di lokasi sebelum konflik lahan terselesaikan terlebih dahulu,” terangnya.

Sehingga ITA PPK meminta pemerintah menghentikan segala diskriminasi dan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu dan mencabut Sertifikat Hak Pakai Nomor :00001/2013-BP/794953.

Selain itu, meminta diberikan pengakuan dan pengembalian hutan adat Pubabu dan hak masyarakat adat tanpa syarat. Pemerintah juga diminta mengedepankan pendekatan musyawarah.

“Kami siap bermusyawarah dengan pemerintah propinsi NTT untuk menyelesaikan konflik ini,” tegas Imanuel.

baca juga : Walhi : NTT Hadapi Tiga Krisis Besar. Apa Saja?

 

Dialog antara masyarakat adat Pubabu bersama pemerintah provinsi NTT dan DPRD NTT terkait permasalahan lahan. Foto : WALHI NTT/Mongabay Indonesia

 

Tempuh Jalur Hukum

Kepala Biro Hukum Setda NTT, Alex Lumba kepada wartawan usai pertemuan dengan Komisi II DPRD NTT, Rabu (13/5/2020) mengatakan Pemprov NTT akan melaporkan tiga kasus ke Polda NTT.

Tiga kasus terkait persoalan di Besipae tersebut menurut Alex yakni laporan terkait penyerobotan lahan oleh warga, pornoaksi serta  penghinaan terhadap pejabat negara.

Kepala Badan Aset Pemprov NTT, Sony Libing kepada Mongabay Indonesia, Rabu (13/5/2020) menambahkan Gubernur NTT memberikan tanah 800 M² kepada masyarakat adat Pubabu disertai sertifikat hak milik.

Masalahnya sekelompok kecil masyarakat tidak menerima dan meminta sertifikat dibatalkan. Padahal pembatalan ini hanya melalui pengadilan.

“Kalau mau membatalkan maka laporkan ke pengadilan supaya bisa berproses hukum disana. Pemerintah menyediakan lahan dan sertifikat dan melibatkan mereka dalam program pengembangan lamtoro dan kelor. Tapi masyarakat tidak mau,” ungkapnya.

Sony mengaku sudah bertemu lima kepala desa dan tokoh masyarakat dan mereka mendukung program pemerintah. Mereka juga, sebutnya, meminta agar masyarakat yang menolak harus dikeluarkan. Tapi Sony mengatakan masyarakat yang menolak juga warga negara dan pemerintah akan mengaturnya.

Pemerintah lanjutnya, bertindak atas dasar sertifikat dan ada penyerahan hak dari keluarga Nabuasa saat pertemuan antara dirinya disaksikan oleh masyarakat.

“Kami sudah bertemu dengan Komisi II DPRD NTT dan mereka menyepakati akan menempuh langkah hukum. Kami akan menerapkan Undang-Undang Kehutanan, penyerobotan aset dan pornografi dan pornoaksi,” tuturnya.

Lahan seluas 3700 hektare milik Pemprov NTT di Besipae tersebut, ungkap Sony, akan digunakan untuk peternakan sapi dan pengembangan tanaman kelor.

perlu dibaca : Di Daerah Rawan Konflik Tanah, Polisi Ini Sukses Ajak Masyarakat Bercocok Tanam Sayuran

 

Hutan Pubabu yang menjadi lahan sengketa antara Pemprov NTT dan masyarakat adat Pubabu di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Foto : Nikodemus Manao/Mongabay Indonesia

 

Kembalikan Hak Masyarakat

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi kepada Mongabay Indonesia, Jumat (15/5/2020) mengharapkan Gubernur NTT untuk memenuhi janjinya dalam bermusyawarah dengan masyarakat adat Pubabu pada bulan Juni.

Menurut Umbu Wulang, pertemuan itu sangat penting untuk mengakhiri konflik 12 tahun antara masyarakat adat dan Pemprov NTT. Pihaknya juga mengecam dan meminta Pemprov bersama DPRD NTT tidak melanjutkan rencana proses hukum terhadap warganya.

“WALHI NTT menilai secara hukum bahwa tidak ada tindakan yang melawan hukum yang dilakukan oleh masyarakat adat Pubabu. Pimpinan rakyat mengkriminalisasi rakyatnya sendiri itu berlebihan dan tidak etis,” tegasnya.

Umbu Wulang juga meminta DPRD NTT untuk mengingat dan menjalankan janjinya saat pertemuan dengan masyarakat adat Pubabu pada 12 Maret 2020.

Dalam pertemuan itu, sebutnya, DPRD mengatakan akan membentuk tim pencari fakta dan bersurat ke Pemprov untuk menghentikan segala aktivitas sebelum masalah konflik antara masyarakat adat dan Pemprov terselesaikan.

WALHI NTT juga meminta Pemprov dan DPRD NTT untuk serius menjalankan proses persuasif. Menurutnya, psikologi masyarakat adat Pubabu sudah mengalami berbagai pengalaman traumatis akibat upaya upaya intimidasi, kriminalisasi dan pengrusakan alam selama ini.

“Kami meminta Pemprov untuk melihat kembali data-data lama, terutama rekomendasi dari lembaga lembaga negara yang terkait dengan permasalahan Pubabu sebagai rujukan untuk menjalankan proses persuasif ,” sarannya.

 

Komunitas masyarakat adat Pubabu bersama WALHI NTT usai berdialog bersama pemerintah dan DPRD NTT. Foto : WALHI NTT/Mongabay Indonesia

 

Umbu Wulang juga meminta Pemprov untuk membatalkan sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 2013. Dia melihat, selama ini warga Pubabu tidak menolak upaya pembangunan yang ramah lingkungan dan ramah adat di wilayahnya.

“Masyarakat adat menginginkan pengakuan dan pengembalian hak-hak mereka sebagaimana juga dimandatkan oleh konstitusi negara kita. Pemprov harus memahami psikologi masyarakat yang telah berjuang 12 tahun dan mengakui keberadaan masyarakat adat Pubabu beserta dengan kepemilikannya,” tegasnya.

 

Exit mobile version