Mongabay.co.id

Jangan Terulang Lagi Krisis Pangan di Air Sugihan

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Transmigrasi di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, pada 1981-1982, dapat dikatakan proyek pemerintahan Orde Baru yang nyaris gagal. Sebab, rawa gambut yang dikelola sekitar 10 ribu transmigran itu sulit dijadikan lahan pertanian dan persawahan.

Selain itu, para transmigran juga terlibat konflik dengan satwa seperti gajah dan harimau. Sebagian transmigran pun pergi atau pindah. Kepergian mereka dari Air Sugihan mengalami puncaknya pada musim kemarau awal 1990-an, yang menyebabkan sebagian besar warga mengalami kelaparan.

“Tahun-tahun awal menetap di Air Sugihan, hidup kami susah. Bukan hanya soal pendapatan, untuk makan saja sulit. Sebab, berladang padi atau berkebun sayuran banyaklah gagal. Baik karena hama maupun akibat kekeringan dan banjir. Belum lagi desa kami sering didatangi gajah yang merusak tanaman dan bangunan. Kami makan tergantung pasokan dari pemerintah,” kata Sukardi [58], warga Desa Nusakarta, Jalur 27, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [16/5/2020].

“Banyak warga yang pergi dari Air Sugihan, pulang ke Jawa atau ke daerah lain seperti Bengkulu dan Jambi. Keluarga kami termasuk yang bertahan,” ujarnya.

Baca: Tidak Andalkan Perkebunan, Desa Sekitar Gambut di Sumsel Terjaga Pangannya

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan dan kebijakan yang merugikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sukardi ikut program transmigrasi bersama orangtuanya pada 1982.

Mereka yang bertahan, guna menunjang biaya kehidupan keluarga, terpaksa menjadi buruh perusahaan HPH atau terlibat illegal logging yang disebut “bebalok’. Baik di Air Sugihan, Banyuasin, bahkan hingga ke Jambi dan Riau.

“Saya dan sejumlah saudara ikut kerja mencari kayu selama beberapa tahun. Awal 2000-an kami berhenti. Sudah tua dan ingin berkeluarga,” katanya.

Hasil “bebalok” ini yang kemudian dijadikan modal berkebun sawit. “Kami melihat ada beberapa perusahaan yang sukses di rawa gambut. Jadi, ketika ada bantuan bibit sawit dari pemerintah, kami pun menanam,” katanya.

Sejak itu, sebagian besar warga Air Sugihan berkebun sawit. Hanya sedikit yang masih bersawah.

“Kehidupan kami mulai membaik. Kami punya penghasilan setiap dua minggu. Dari hasil sawit kami memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, dan lainnya,” kata lelaki berdarah Banyuwangi, Jawa Timur.

Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?

 

Ketahanan pangan harus dibangun dengan tetap memperhatikan lingkungan masyarakat beserta sosial budayanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Namun, perkembangan selanjutnya, akibat menurunnya harga sawit, dan banyak kebun yang tidak menghasilkan, kehidupan warga kembali suram. “Anak-anak kami banyak yang merantau ke Palembang untuk bekerja, dan yang sekolah tinggi akhirnya jadi pegawai negeri, polisi atau tentara, sehingga kebutuhan hidup kami sedikit terbantu,” katanya.

Meski begitu, tidak semua keluarga di Air Sugihan memiliki anak yang sekolah dan bekerja di Palembang. Sementara kebutuhan pangan terus mendesak. Tak heran, sebagian warga pun kemudian merambah rawa gambut milik negara, dijadikan ladang.

Karena takut ditangkap aparat pemerintah dan tidak memiliki teknologi pertanian, pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar dan dibiarkan. Perilaku ini yang diperkirakan menjadi salah satu penyebab kebakaran lahan gambut terjadi setiap tahun di Air Sugihan.

Selain beras, kebutuhan yang wajib dibeli warga Air Sugihan adalah air mineral, sebab air sumur di sini tidak dapat dikonsumsi, selain asam juga berwarna kecoklatan. Pembelian air minum sedikit berkurang jika di musim penghujan. Warga menampungnya untuk air minum dan keperluan lain.

Baca: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

 

Salah satu sudut desa di Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, yang terus berkembang. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Lahan kehidupan

Sebagian besar desa di Air Sugihan berbatasan dengan sejumlah perusahaan HTI dan perkebunan sawit.

Tingginya kebutuhan lahan untuk pertanian membuat konflik warga dengan perusahaan sawit terjadi. Warga mengklaim, lahan yang digunakan perkebunan sawit merupakan lahan cadangan para transmigran. Sebagian konflik selesai, namun sebagian masih berlangsung hingga saat ini.

Sementara perusahaan HTI, membuka lahan kehidupan —sebagai kewajiban—yang dikelola masyarakat desa sekitar konsesinya.

“Sejak adanya lahan kehidupan ini, baru sebagian warga kembali bersawah tadah hujan beberapa tahun terakhir,” kata Supardi.

Namun karena sawah tadah hujan, menanam padi hanya dapat dilakukan satu kali setahun, Oktober-Maret. Hasilnya kisaran 3,6 ton per hektar. Sementara kebutuhan beras setiap keluarga rata-rata 2 ton per tahun. Sisanya untuk biaya pupuk dan pestisida. “Alhamdulillah cukup untuk makan,” katanya.

Hanya sebagian kecil sawah yang dapat ditanam dua kali dalam setahun. Seperti persawahan di Desa Nusantara, Jalur 27, yang telah memiliki sistem irigasi.

Baca juga: Menjadikan Sumsel Lumbung Pangan, Haruskah Banyak Sawah di Rawa Gambut?

 

Jika sawah di Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, dibuat irigasi, dalam setahun padi dapat ditanam dua kali. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Ancaman krisis pangan

Ahmad Furqoni, Sekretaris Desa Nusakarta menjelaskan,“Berdasarkan hasil risetnya dengan sebuah organisasi tani di Palembang, dari 19 desa di Air Sugihan, hanya sebagian desa yang memiliki sawah.”

“Warga yang mengandalkan pendapatan dari sawah hanya tiga desa di Jalur 23. Lainnya, didominasi perkebunan sawit. Desa-desa lainnya yang terdapat sawah di Jalur 25, 27, dan sebagian kecil di Jalur 29 dan Jalur 31,” katanya.

Kecamatan Air Sugihan dengan luas 259.382 hektar terdiri dari Jalur 23, Jalur 25, Jalur 27, Jalur 29, Jalur 30, Jalur 31 dan satu desa tepi laut, yakni Sungai Batang.

“Hitungan kami hanya 11.800 hektar yang dijadikan sawah di Air Sugihan, menghidupi sekitar 35 ribu jiwa. Ini pun sebagian besar sawah di lahan kehidupan milik perusahaan HTI,” katanya.

Dari luasan itu sekitar 42 ton gabah dihasilkan setiap tahun. “Sebenarnya ini cukup menghidupi seluruh warga Air Sugihan dalam setahun. Persoalannya, sebagian besar padi yang dihasilkan juga dijual petani ke sejumlah pabrik yang kemudian dibawa ke Palembang.”

“Jadi, jika krisis pangan melanda Indonesia akibat pendemi Corona, saya yakin Air Sugihan juga akan mengalaminya,” jelasnya.

 

Tampak pohon sawit ditanam dekat persawahan di Desa Nusantara, tepian Sungai Sugihan, Air Sugihan, OKI, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Optimalisasi lahan sawah

Furqoni melanjutkan, sawah tadah hujan di Air Sugihan dapat ditanam kembali setelah panen Maret 2020 lalu. Hanya saja, saat memasuki musim kemarau, lahan kehidupan itu menjadi kering atau kekeringan. “Sebab, tidak ada irigasi,” katanya.

Jika pemerintah berinisiatif ingin mendapatkan cadangan pangan maka tidak harus membuka sawah baru, seperti yang saya baca di berita. Seharusnya, optimalkan sawah tadah hujan menjadi dua kali tanam setahun.

“Irigasi harus dibuat segera. Sumber air untuk persawahan di Air Sugihan, melalui irigasi yakni Sungai Sugihan terhubung dengan Sungai Musi. Jika sawah kami dapat ditanam dua kali dalam setahun, mungkin Air Sugihan menjadi salah satu lumbung pangan di Sumsel,” ujarnya.

Syahroni Yunus, Direktur INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], setuju dengan upaya optimalisasi lahan sawah di Air Sugihan.

“Saya beberapa kali mengunjungi Air Sugihan. Optimalisasi lahan sawah di sana cukup potensial, selain luasannya memadai, juga sumber air tersedia,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [23/5/2020].

“Pilihan bijak menjawab krisis pangan [beras] adalah dengan optimalisasi lahan-lahan yang selama ini sudah dibudidayakan. Dengan prasyarat, ada perbaikan tata air atau saluran irigasi dan drainase, penerapan teknologi tepat guna ramah lingkungan dan inovasi peningkatan produktivitas lahan dan tanaman. Misal, benih yang cocok, pupuk yang tepat dan dibentuk kelembagaan petani,” jelasnya.

Lahan yang selama ini satu kali panen, bisa dioptimalkan dua kali setahun. “Ini lebih baik jika dibandingkan dengan pencetakan sawah baru yang cenderung spekulatif. Selain itu berbiaya tinggi, karena secara ekologi tidak secepat itu membuat lahan sawah produktif. Belum lagi, kultur sosial masyarakat yang harus di perhatikan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version