Mongabay.co.id

Madani Sebut Karhutla Berkaitan dengan Keberadaan Izin Konsesi

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

 

 

Analisis Yayasan Madani Berkelanjutan memperlihatkan, kebakaran hutan dan lahan pada 2019, 63% atau lebih satu juta hektar dari 1,64 juta hektar terjadi di areal baru alias belum pernah terbakar sebelumnya. Luasan baru terbakar ini erat kaitan dengan keberadaan izin konsesi, terutama perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Tiga provinsi terluas karhutla 2019, terjadi di Sumatera Selatan (343.350 hektar), Kalimantan Tengah (318.460 hektar), dan Kalimantan Barat (151.880 hektar). Adapun kabupaten dengan area terbakar terluas terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (194.300 hektar) dan Merauke (107.450 hektar).

Baca juga: Kemarau Datang, Waspada Kebakaran Hutan di Masa Pandemi

“Area terbakar 2019 terluas di tutupan lahan non hutan. Hingga menjaga hutan jadi kunci untuk mencegah kebakaran,”kata Fadli Ahmad Naufal, Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Analisis ini, katanya, memperlihatkan ada indikasi korelasi luas area terbakar di tiga provinsi itu dengan laju penambahan luas sawit. Berdasarkan data 2015-2018, tiga provinsi itu sangat agresif dalam laju penambahan luas sawit, yakni Kalimantan Barat 129.471 hektar per tahun), Kalteng (123.444) dan Sumatera Selatan (78.607).

Dengan korelasi luas perkebunan sawit dan area terbakar, Yayasan Madani merekomendasikan, perlu ada pengendalian ekspansi perkebunan sawit di provinsi dengan area baru terbakar, antara lain, dengan mengoptimalkan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 terkait Moratorium Sawit. Juga Instruksi Presiden Nomor 6/2019 soal Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Kedua regulasi ini, katanya, juga mengevaluasi kebun sawit di Indonesia.

Kalau analisis berdasarkan kawasan hutan, katanya, mayoritas kebakaran terjadi di kawasan hutan dengan luas 905.011,68 hektar atau 54,88%. Kawasan hutan produksi menduduki luasan terluas, mencapai 324.400 hektar dengan 58,97% atau 167.335,79 hektar sudah terbebani izin konsesi skala besar.

Ada juga temuan kebakaran di areal peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB) 31,35%. Terdiri dari 348.640 hektar kawasan hutan, 167/260 hektar gambut, dan 102.000 hektar hutan alam. Adapun, sekitar 65,84% kebakaran di PIPPIB terjadi di tutupan non-hutan.

“Mayoritas area terbakar di PIPPIB, 51,82% berdekatan dengan izin konsesi, khusus sawit dan hutan tanaman industri, bahkan ada yang tumpang tindih,” katanya.

 

Sumber: Yayasan Madani Berkelanjutan

 

Mayoritas kebakaran di hutan produksi (58,97%) juga terjadi di wilayah tumpang tindih dengan atau telah terbebani izin skala besar, yaitu, perkebunan sawit, HTI, dan logging dengan luasan terbesar di HTI (51,57%). Kebakaran 2019, terluas terjadi di izin sawit sebesar 217.497 hektar, disusul HTI 190.831 hektar, dan HPH 30.813 hektar.

“Mengingat sentralnya perizinan pengelolaan kebun dan hutan dalam kebakaran 2019, pengawasan terhadap kepemilikan sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran di wilayah berizin harus diperkuat, juga penegakan hukum pemilik izin dengan areal kebakaran,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sebanyak 44% atau 727.872 hektar kebakaran 2019 terjadi di ekosistem gambut yang sulit padam, dengan 54,71% berada di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Ekosistem gambut memiliki peranan penting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Restorasi gambut, katanya, mutlak menjadi strategi utama pemerintah dan pemegang izin dalam pencegahan karhutla 2020.

“Kebakaran di gambut sangat berbahaya karena sulit dipadamkan dan menimbulkan polusi karbon jauh lebih besar, juga menimbulkan asap sangat beracun dan membahayakan kesehatan masyarakat,” kata Teguh.

 

Audit kepatuhan

Analisis Yayasan Madani Berkelanjutan soal kebakaran hutan sejak 2015-2019, ada lima provinsi harus mendapat perhatian dalam penanganan karhutla 2020 secara khusus, yaitu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Provinsi-provinsi itu memiliki prediksi area rawan terbakar paling luas terlihat dari jejak akumulasi terbakar 2015-2019.

Analisis ini, terlihat berdasarkan empat level, yakni, tutupan lahan; tutupan lahan dan kedekatan dengan konsesi; tutupan lahan dan gambut; dan tutupan lahan dengan kedekatan pada konsesi dan gambut.

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor mengatakan, kebakaran hutan dan lahan dan berulang itu karena faktor kesengajaan untuk pembukaan dan penyiapan lahan.

Selain itu, faktor penyebab karhutla di konsesi karena pengabaian kewajiban manajemen air dalam mempertahankan ground water level berdasarkan aturan berlaku, yakni, PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Pemerintah sudah setengah mati, tolong PP 71/2014 itu ditaati water level tidak lebih dari 0,4 meter. Tidak perlu menunggu musim kemarau. Kebakaran gambut itu harus dicegah dan dikendalikan.”

 

Konsesi perusahaan sawit yang terbakar di Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Bambang mengingatkan, banyak persoalan dalam pencegahan karhutla. Selama ini, katanya, pencegahan seringkali saat karhutla sudah terjadi, melalui peringatan dini dan sistem deteksi dini titik api.

“Sama seperti 2014, SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-red) sempat bertanya kenapa karhutla lagi ya? Maka, 2014 ada audit compliance dari 17 perusahaan di Riau, ternyata tidak ada satupun yang comply. Ini jadi persoalan,” katanya.

Sayangnya, audit kepatuhan (audit compliance) pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak tegas dan disiplin. Dia berharap, bagi perusahaan yang terbukti tak patuh mendapatkan sanksi administrasi.

 

Upaya pencegahan

Basar Manullang, Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, KLHK bersama dengan Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus melakukan rekayasa hujan untuk membasahi gambut melalui teknologi modifikasi cuaca (TMC). Tujuannya, agar mengisi embung, kanal, dan membasahi gambut agar tak kering saat memasuki musim kemarau.

“Rekayasa hujan ini bagian dari upaya pencegahan, bukan pemadaman. Karena sifatnya pencegahan, kita lakukan di musim hujan mumpung masih ada awan hujan,” katanya.

Rekayasa hujan perlu karena melihat banyak titik pemantauan tinggi muka air tanah (TP-TMAT) lahan gambut di Riau, menunjukkan pada level siaga bahkan bahaya. Rekayasa cuaca di Riau selama 15 hari kerja, terhitung 14-28 Mei 2020. Hingga 20 Mei di Riau, telah enam sorti penerbangan dengan total bahan semai NaCl 4,8 ton.

Berdasarkan citra satelit TRMM, rekayasa hujan dengan 17,1 juta m3 air turun pada daerah-daerah dengan potensi awan hujan terbesar. Rekayasa hujan juga mulai berhasil membasahi gambut di sebagian besar Riau seperti di Siak, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan dan Indragiri Hilir.

 

Keterangan foto utama: Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Kabut asap karhutla. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version