Mongabay.co.id

Melacak Pemburu Burung Kicau di Kota Kapur

 

 

Perburuan burung kicau terus terjadi, dikarenakan permintaan pasar tidak berhenti. Beberapa waktu lalu, Mongabay Indonesia, mengikuti kegiatan seorang pemburu burung kicau di Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.

Azwar [31] perlahan mendayung perahu kecilnya ke seberang Sungai Menduk menuju Desa Labuh Air Pandan. Sungai yang panjangnya sekitar 41,91 kilometer, menjadi pembatas Kota Kapur dengan Labuh Air Pandan.

“Sebelumnya, di sini ada jembatan yang menghubungkan desa kami dan Labuh Air Pandan. Tahun lalu roboh ditabrak batang pohon nipah yang terbawa arus banjir besar. Sekarang, jika ada aktivitas di seberang sungai, warga harus menggunakan perahu. Ya seperti dulu, sebelum ada jembatan,” kata Azwar, Sabtu [16/5/2020].

Tiba di seberang sungai, berupa hutan mangrove, Azwar berjalan kaki kurang lebih 100 meter ke lokasi. Di tempat ini, dia biasa menangkap berbagai jenis burung kicau menggunakan alat traditional yang biasa disebut pulut. Pulut merupakan adonan lengket yang bahan utamanya dari getah pohon nangka.

“Pulut yang bagus warnya agak keabu-abuan, atau semirip mungkin ranting pohon, agar burung tidak ragu saat mendarat di ranting. Jangan juga terlalu lengket, agar tidak merusak bulu burung, jika rusak, pasti mengurangi harga jual,” katanya.

Baca: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Burung jenis kolibri ini kena perangkap pulut di pinggiran Sungai Menduk, Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka. Provinsi Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pulut itu kemudian dililitkan ke sejumlah ranting pohon bakau yang sudah ditebang. Lalu, ditancapkan di tengah barisan mangrove lainnya. Setelah semua siap, Azwar menyalakan rekaman kicauan burung dari handphone-nya. Suara burung yang telah dikompilasi sedemikian rupa itu memancing burung liar mendekat ke jebakan.

“Sekarang sudah terlalu sore, biasanya burung lebih banyak saat pagi hari. Semoga saja ada yang datang,” katanya sembari duduk dan menunggu, tidak jauh dari perangkap.

Selang beberapa menit, kawanan burung mendekat. “Dapat, dapat, ada burung yang kena,” kata Azwar. Seekor burung jenis kolibri coba melepaskan diri, tetapi semakin kuat ia mengepakkan sayap, semakin banyak bulunya melekat di pulut.

“Di masa pandemi corona sekarang, jenis kolibri paling sering dicari para penikmat burung kicau. Selain harganya murah, kolibri juga punya suara lumayan bagus,” kata Azwar sembari melepaskan burung dari pulut, perlahan.

Baca juga: Bukan Timah atau Sawit, tapi Lada dan Durian yang Membuat Warga Kota Kapur Kembali Bergairah

 

Burung kolibri coba melepaskan diri dari perangkap pulut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Alasan ekonomi

Tiga tahun terakhir, Azwar memilih menjadi pemburu berbagai jenis burung kicau. Sebut saja jenis kolibri, dan burung yang dalam keseharian mereka dinamakan mesuet, pelesat, tali pocong, serta murai yang mulai sulit didapat.

“Saya sempat bekerja, seperti bertani lada, karet, sawit hingga jadi penambang timah. Namun hasilnya tidak seberapa. Lada makin banyak penyakit, karet harganya turun terus. Nambang timah, lebih banyak rugi daripada untung,” katanya.

Dalam sehari, Azwar rata-rata mendapat sekitar 20 individu burung kicau. Harga, tergantung jenisnya. Kolibri yang masih muda atau anakan dibayar sekitar 20 ribu Rupiah per ekornya, sedangkan kolibri dewasa sekitar 40 hingga 50 ribu Rupiah.

“Pastinya tidak menentu, tetapi jika ditotal bisa dapat sekitar Rp400-500 ribu Rupiah per hari,” katanya.

Untuk penjualan, Azwar menyatakan sudah punya sejumlah pelanggan tetap. Kalaupun tidak ada pesanan, burung-burung yang didapat dijual langsung ke penampung, meski harganya lebih murah.

Saat ditanya perihal risiko pekerjaanya, Azwar mengaku sadar dengan apa yang ia lakukan beserta dampaknya bagi ekosistem. “Jenis-jenis burung yang tidak punya harga jual, seperti perbak dan lainnya pasti saya lepas kembali ke alam liar. Apalagi burung yang mulai langka dan punya konsekuensi hukum, pasti dilepaskan. Kalau kolibri, sepertinya jumlahnya masih banyak,” katanya.

 

Lilitan pulut ke ranting pohon bakau. Foto Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Belum dilindungi

Dikutip dari bangkapos.com, pada 2019 lalu, sebanyak 300 ekor burung kolibri hasil sitaan Balai Karantina Pangkalbalam yang hendak diselundupkan dari Bangka Belitung ke Jakarta, dilepaskan ke alam.

“Burung kolibri tidak masuk dalam daftar satwa liar dilindungi. Walau demikian, kolibri atau burung madu secara umum berperan penting bagi keberlangsungan ekosistem, yakni membantu penyerbukan tanaman. Jadi, masyarakat tidak bisa semena-mena menangkap dan menjualnya,” kata Septian Wiguna, Kepala Resort Konservasi Wilayah Bangka, BKSDA Sumatera Selatan, melalui pesan singkat, Selasa, [19/5/2020].

Akan tetapi, pada konteks pemanfaatan dengan penangkapan dari alam sekaligus peredaran hasil tangkapannya, ada ketentuan yang harus dilengkapi. Harus ada izin tangkap dan izin edar. Kemudian, peredarannya dilengkapi dengan dokumen Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri [SATS-DN].

“Izin tangkap diterbitkan setelah ada kuota rekomendasi kajian LIPI sebagai Scientific Authority, kepada Ditjen KSDAE sebagai Management Authority. Tujuan kuota tersebut untuk menjaga angka populasi lestari di alam,” paparnya.

 

Burung yang didapat dari hasil jebakan pulut dimasukkan ke jaring penanmpungan. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Bukan hanya perburuan

Selain angka perburuan yang cukup tinggi, tingkat deforestasi hutan di Pulau Bangka juga menjadi kekhawatiran utama yang turut mengacan populasi seluruh jenis burung. Tahun 2017, luasan lahan kritis di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung meningkat menjadi 275.500 hektar. Ini berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

“Hingga kini, kami masih fokus pada pembinaan dan pengelolaan habitat. Bagaimana habitat bagi satwa liar, khususnya burung kolibri dapat clean and clear dari gangguan. Percuma kita lakukan konservasi jenis, dengan tujuan meningkatkan populasi namun rumah [habitat] burung kolibri semakin kritis,” urai Septian.

 

Ilustrasi hasil tangkapan burung yang hendak dijual. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Penyebab lain, permintaan burung kicau jenis kolibri memang tinggi. Ini dikarenakan masih banyaknya penyelanggaraan kontes burung kicau tanpa sertifikasi hasill tangkaran.

“Pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan aturan tegas kepada penyelenggara lomba kicau agar menghentikan kelas tanpa sertifikasi hasil tangkaran. Memperketat pengawasan terhadap peredaran satwa baik dilindungi ataupun tidak dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah,” kata Adrian Valentino, Kepala Divisi Animal Rescue PPS ALOBI.

“Perlu diketahui, burung adalah pengendali ulat, sangat membantu petani memaksimalkan hasil panen. Burung juga membantu proses penyerbukan tanaman. Hutan sangat tidak indah tanpa kicauan burung [silent forest],” tegasnya.

 

 

Exit mobile version