Mongabay.co.id

Pejuang Lingkungan dan HAM Masih Rawan Kriminalisasi dan Kekerasan

Golfrid Siregar, aktivis Walhi Sumatera Utara, yang meninggal dunia karena terluka parah di kepala. Kekerasan yang menimpanya hingga meninggal dunia masih misteri. Foto: Walhi Sumut

 

 

 

 

Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan HAM dinilai bakal terus terjadi karena instrumen perlindungan hukum terhadap masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup masih kurang memadai. Satu contoh, Undang-undang Nomor 32.2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH) terutama Pasal 66, belum ada aturan pelaksana hingga tak implementatif alias tumpul.

Pasal 66 berbunyi ‘setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup baik dan sehat tak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata.’ Pasal yang tampak kuat ini ternyata tak bergigi karena perlu aturan pelaksana lebih detail. Selama ini, masih ada multi tafsir hingga aturan berujung tak implementatif.

Baca juga: Kematian Aktivis Lingkungan Golfrid Siregar Masih Misteri

“Kita harus mendorong Pasal 66 ini implementatif. Jadi perlu penjelasan memadai, karena sering kali miss,” kata Arip Yogiawan, Ketua bidang Jaringan dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam diskusi bertajuk Perlindungan Hukum Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan secara daring, pekan lalu.

Berdasarkan pengalaman dia, aparat penegak hukum seringkali menafsirkan kata ‘memperjuangkan’ sebagai bentuk gugatan. Ketika pasal itu dipakai di pengadilan, pembelaan acap kali mental karena dinilai tidak melakukan perjuangan dengan langkah gugatan.

Baca juga: Kala Korporasi Gugat Hukum Lagi Saksi Ahli Lingkungan

Padahal, katanya, perjuangan bisa juga dengan demonstrasi. Seringkali, katanya, demonstrasi dinyatakan bukan tindakan memperjuangkan Lingkungan Hidup. “Kita butuh otoritas yang menjelaskan pasal itu lebih detail,” katanya.

Bentuk detail yang dimaksud Yogi ialah penjabaran bentuk dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dia contohkan, hak partisipasi masyarakat untuk menyatakan tidak dan atau menolak rencana pembangunan yang akan berdampak terhadap lingkungan yang baik dan sehat.

Ketika dia memakai pasal ini terhadap perkara pidana di Bandung Utara ketika membantu masyarakat mempertahankan wilayah yang jelas telah ditetapkan Pemda Bandung sebagai kawasan konservasi, tetap kalah karena berhadapan dengan pengembang perumahan.

“Pasal 66 ini diabaikan oleh pengadilan,” kata Yogi.

Diapun mendesak,pemerintah menelurkan produk Undang-undang turunan yang dapat menjelaskan Pasal 66. Penjelasan pasal itu, kata Yogi, seharusnya terumus dalam bentuk peraturan pelaksana, misal, lewat keputusan presiden atau peraturan menteri.

“Yang jelas, kita mendorong Pasal 66 ini termasuk menyusun protokol yang jadi pegangan aparat penegak hukum. Selama tidak ada protokol, tidak mungkin Pasal 66 ini implementatif.”

Sejauh ini, kata Yogi, belum melihat banyak contoh implementasi Pasal 66. Secara pribadi, usahanya mengajukan Pasal 66 selalu mental di pengadilan. Mereka, katanya, sudah berkomunikasi dan desakan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berkoordinasi dengan polri dan jaksa agung untuk membuat protokol implementasi pasal ini tetapi belum ada perkembangan.

Dia yakin, kalau situasi ini tidak teratasi, kriminalisasi terhadap masyarakat dan aktivis yang memperjuangkan lingkungan hidup akan terus terjadi.

 

Budi Pego., salah satu  warga yang protes tambang emas mengancam kehidupan mereka kena hukum dengan kasus menyebar ajaran komunis ,  Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Asep Komarudin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace menyebut, Pasal 66 UU seringkali patah dan justru pelaku pelanggaran lingkungan menggugat balik (strategic lawsuit against public participation/SLAPP). Dia contohkan, kasus Basuki Wasis dan Bambang Hero, dua ahli yang memberikan keterangan di pengadilan.

“Kasus ini tidak jalan karena waktu itu kasus ini mendapat banyak sorotan publik, termasuk KLHK, maka kasus ini dicabut,” katanya.

“Masyarakat ini dihadapkan dengan aktor-aktor besar yang dapat melakukan apapun.”

Susilaningtias, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengatakan, implementasi Pasal 66 jadi pekerjaan rumah bagi seluruh institusi, termasuk LPSK.

Baca juga: Ahli Tergugat Hukum, Preseden Buruk dan Ancaman Pelestarian Lingkungan

“Ketika pasal ini dipakai untuk pelaporan balik, kami dari LPSK akan berupaya memberikan perlindungan supaya kasus pelaporan baru ini wajib ditunda dulu sebelum kasus utama terungkap, atau memiliki kekuatan hukum tetap,” katanya.

Sayangnya, LPSK tidak menempatkan khusus aktivis HAM dan lingkungan sebagai pihak yang dapat dilindungi dalam ranah kerja mereka. Hal itu dapat dilihat dalam Undang-undang 31/2014 tentang perubahan UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang tak mengatur aktivis pembela HAM termasuk lingkungan sebagai pihak yang dapat dilindungi LPSK.

Padahal, katanya, beberapa kasus terkait konflik lingkungan tidak jarang mengancam keselamatan masyarakat dan aktivis. “Tapi mereka masih bisa kami berikan perlindungan dan dimungkinkan selama posisi sebagai pelapor atau saksi atau korban, ada ancaman yang mengancam keselataman jiwa,” katanya.

Baca juga: Budi Pego, Aktivis Penolak Tambang Tumpang Pitu Itu Kena 10 Bulan Penjara

Susilaningtias mengatakan, perlindungan dapat dilakukan sekalipun tidak ada pasal eksplisit menyebut aktivis HAM dan lingkungan.

“Kalau ada kondisi yang diancam dan membahayakan jiwa, mereka akan kami berikan perlindungan.”

Dia menjamin, LPSK akan memberikan perlindungan sesuai ketentuan perundangan antara lain, bantuan medis, rehabilitasi psikososial, psikologis, fasilitas restitusi hingga kompensasi.

“Intinya, kita berikan perlindungan pada aktivis ini, bisa pada perlindungan fisik, prosedural atau perlindungan melekat,” katanya.

Sayangnya, salah satu kendala lembaga ini adalah keterbatasan wewenang saat subyek yang hendak dilindungi tidak lanjut oleh aparat penegak hukum atau tak ada tindak pidana terungkap.

“Karena kami bekerja berdasarkan tindak pidana,” katanya.

Keterbatasan lain, seringkali ada kesulitan bagi LPSK masuk ke dalam substansi kasus kriminalisasi aktivis dan masyarakat. Kemudian, status pemohon yang meminta perlindungan adalah tersangka dalam kasus yang disengketakan. Hal ini, katanya, jelas tak menguntungkan lantaran dalam beberapa kasus aktivis dan masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup berperkara dalam kasus lain.

Contoh, kasus adalah Budi Pego di Jawa Timur yang berusaha mempertahankan lahan dan protes tambang emas di Gunung Tumpang Pitu.

Baca juga: Dua Warga Lahat Tewas di Tangan Sekuriti Perusahaan Sawit

Aparat penegak hukum mengadili Budi dengan perkara lain. Dia dianggap menyebarkan paham marxisme dan komunisme, karena ada spanduk yang bertuliskan tentang ajaran marxisme walau di persidangan, tak pernah diketahui tentang spanduk itu.

“Kriminalisasi ini akan tetap ada jika tidak ada pembenahan terkait hukum kita ke depannya. Penting agar kita selalu dorong penguatan pasal-pasal dan perlindungan terhadap para aktivis dan masyarakat yang memperjuangkan hak mereka,” kata Arip.

 

Sumber foto dari petisi Selamatkan Prof Bambang Hero Saharjo di Change.org

 

Keamanan makin mengkhawatirkan

Sejalan dengan itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) baru-baru ini rilis laporan soal kasus hukum yang menimpa pembela HAM atas lingkungan pada 2019 menurun. Meskipun begitu, secara kuantitas, kondisi keamanan pejuang HAM atas lingkungan makin mengkhawatirkan.

Dalam laporan ini, Elsam menelusuri seluruh pemberitaan media, dengan 16 kata kunci terkait konflik agraria, kehutanan, tambang dan lingkungan, setiap bulan selama setahun.

Elsam memilih berita yang tayang minimal tiga media terpercaya atau rilis dari organisasi masyarakat sipil yang kredibel.

“Untuk beberapa kasus yang belum terang, kami wawancara dengan jejaring untuk memastikan laporan ini benar-benar terkait pembela HAM,” kata Muhammad Azka Fahriza, peneliti Elsam saat peluncuran laporan ini secara daring.

Azka mengatakan, ada dua konteks melatarbelakangi situasi pembela HAM atas lingkungan pada 2019. Pertama, kebijakan pro pemodal dan peminggiran HAM.

Secara kebijakan, katanya, Presiden Joko Widodo sangat pro pembangunan infrastruktur.

“Konsekuensinya, ada peminggiran HAM dan tak tuntas kasus agraria dan lingkungan hidup,” katanya.

Sejak kampanye 2019, presiden dinilai masih menunjukkan sinyal akan mempertahankan visi misi yang sama pada periode pertama. Namun, target pembangunan infrastruktur melalui program strategis nasional (PSN), masih jauh dari target.

Kedua, pendekatan keamanan militerisme, dengan penerbitan Perpres No 37/2019 tentang pelibatan militer dalam jabatan sipil. Diawali dengan pengangkatan Letjen Doni Munardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana saat masih berstatus anggota militer aktif, diikuti beberapa jabatan lain.

Kondisi ini, katanya, memberikan indikasi keterlibatan aparat militer dalam konflik agraria termasuk pengamanan untuk perusahaan.

Dalam konteks BUMN, kata Azka, PTPN menjalin kerjasama dengan TNI untuk mengamankan operasi mereka.

Yang paling mengejutkan, pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan karena figur yang punya rekam jejak bermasalah soal HAM.

Lantas apa temuan laporan ini? Selama 2019, terdapat 27 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM atas lingkungan di 14 provinsi atau 27 kabupaten/kota.

Karena laporan berdasarkan pemberitaan media, kata Azka, kasus yang tak terekspos lebih banyak lagi.

Dari 27 kasus, sektor terbanyak terjadi kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan, yakni agraria (17), pertambangan (6), insfrastruktur (3) dan pariwisata (1).

Korbannya, ada 128 orang, mayoritas petani (32) dan masyarakat adat (12). Sisanya, aktivis mahasiswa, kepala desa, akademisi dan anak-anak. Kebantakan korban, laki-laki, ada enam perempuan.

Kalau melihat dari profil kelompok, katanya, ada 47 keluarga sedang berjuang dan jadi korban kekerasan, dua kelompok masyarakat dan satu masyarakat adat.

Yang menarik, katanya, aktor negara paling banyak melakukan kekerasan, hasil ini sama dengan laporan Elsam 2018, di mana, polisi diikuti TNI, Satpol PP dan pejabat negara. Aktor non negara didominasi perusahaan, lalu orang tak dikenal, sekuriti perusahaan dan lain-lain.

Kekerasan terbanyak berupa penangkapan (63), diikuti serangan fisik (24) dan intimidasi (22). Ada juga penahanan, pembunuhan, perusakan dan perampasan tanah.

Data ini, kata Azka, memang menurun dari 2018. Pada 2018 ada 49 kasus. Aktor negara juga berkurang, tak lagi ada Mahkamah Agung terkait dengan kekerasan terhadap pembela HAM dan lingkungan.

“Namun ada penyerangan lebih brutal terhadap aktivis dan pembela HAM atas lingkungan,” kata Azka sembari menyebut kasus pembakaran rumah Direktur Walhi NTB Murdani dan pembunuhan pengacara publik Golfrid Siregar.

Karena itu, katanya, penurunan angka kasus tidak merepresentasikan kondisi lebih baik, bahkan mungkin lebih berbahaya terutama untuk mereka yang tidak dikenal atau bukan aktivis organisasi masyarakat sipil.

Kasus lain yang menarik perhatian yakni pelaporan terhadap saksi ahli kasus penolakan PLTA Batangtoru di Sumatera Utara. Seorang akademisi dilaporkan dengan dugaan pelanggaran UU Informasi Teknologi Elektronik (ITE) oleh seseorang yang tidak terkait langsung dengan kasus perusahaan yang hendak membangun PLTA.

Melihat perusahaan sebagai aktor non negara yang paling banyak melakukan tindak kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan, kata Azka, perlu dicermati struktur politik oligarki keterkaitan perusahaan dengan elit politik. “Ada indikasi kesamaan kepentingan antara negara dan perusahaan.”

 

Pihak kepolisian melalui Brimob terkadang turut terlibat dalam upaya penggusuran lahan warga yang berkonflik dengan PTPN. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tak mengherankan, katanya, kalau melihat pola proyek strategis nasional yang ambigu karena kepentingan nasional, ditopang oleh modal swasta.

Karena itu, katanya, ada dua pekerjaan rumah masyarakat sipil harus tuntas, yakni, mendorong aturan soal perlindungan pembela HAM dan mendesak implementasi Pasal 66. Aturan-aturan itu, kata Azka, mestinya jadi payung hukum bagi pembela HAM atas lingkungan. Kalau tidak, tahun ini dan seterusnya akan tetap sama karena tak ada perubahan mendasar dalam perlindungan para pejuang lingkungan hidup.

Bahkan, katanya, kondisi bisa lebih parah kalau melihat bagaimana pemerintah ngotot menggolkan RUU ‘sapu jagat’ Cipta Kerja di tengah pandemi Virus Corona. Setelah pandemi, katanya, pemerintah akan membuat paket kebijakan untuk memulihkan situasi.

Bukan tidak mungkin, katanya, bisa sangat berdampak pada pembela HAM atas lingkungan, karena industri masih mengandalkan ekstraktif dan menjual daerah eksoktis yang akan mengorbankan lingkungan.

Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumatera Selatan, sepakat, ancaman pembela HAM atas lingkungan hidup meningkat seiring dengan peningkatan investasi.

“Pemerintah belum mampu melakukan tata kelola yang baik untuk perizinan. Investasi besar dengan tidak transparan dan partisipatif,” kata Eep, sapaan akrabnya.

Penegakan hukum, katanya, masih tumpul pada korporasi besar. Dia mencontohkan, kasus kebakaran hutan dan lahan di Sumsel, menurut data, harus jadi tanggungjawab ratusan perusahaan. Faktanya, hanya sanksi administrasi minim kepada para perusahaan itu.

Saat bersamaan, sekitar 50 petani kecil ditangkap dan jadi tersangka. “Kakek 63 tahun ditangkap karena membersihkan pekarangan rumah untuk menanam sayur. Kita pertanyakan keadilan terhadap rakyat kecil,” katanya.

UU ITE, juga sangat mengancam pembela HAM dan petani di tingkat tapak. Beberapa bulan terakhir, kata Eep, ada panggilan kepada tokoh masyarakat dengan ancaman UU ITE karena kritik di grup WhatsApp.

Ancaman lain berupa kriminalisasi, intimidasi bahkan mengancam nyawa pembela HAM atas lingkungan hidup.

Merujuk pada kasus pengeroyokan petani di Lahat, Sumsel yang menewaskan dua petani dan dua lain luka-luka. Dalam kasus ini, katanya, sebenarnya posisi warga sangat kuat, mengingat proses perizinan perusahaan sawit yang hendak mengambil lahan warga, cacat. Perusahaan sudah menggunakan lahan sejak 1993, namun baru mendapatkan izin hak guna usaha (HGU) pada 2006.

“Begitu buruknya proses penyelesaian konflik di Indonesia. Ada UU No 32 untuk perlindungan lingkungan hidup tapi tidak terimplementasi. UU untuk kepentingan investasi terus jalan.”

Ironis lagi, katanya, saat pandemi yang mengancam ketahanan pangan, 600 hektar sawah di Musi Banyuasin juga terancam tergusur perusahaan.

“Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan ketahanan pangan. Sisi lain wilayah pangan yang sudah jadi dan petani kecil terus tergusur, terus beralih fungsi jadi kebun sawit yang mengubah fungsi lingkungan, mengubah struktur, tatanan dan daya dukung lingkungan.”

Poengky Indarti, anggota Komisi Kepolisian Nasional, mengatakan, Kompolnas juga banyak menerima laporan terkait tumpang tindih kepemilikan tanah dan sertifikat ganda. Mengenai kasus Lahat, katanya, Kompolnas sudah menindaklanjuti dengan Wakapolda Sumsel.

Herlambang P Wiratraman, ahli hukum Universitas Airlangga menilai, dari konteks politik hukum, kekerasan pada pembela HAM atas lingkungan hidup sudah tersistem.

“Dari observasi laporan ini, saya melihat kasus kekerasan yang terjadi dengan pendekatan militeristik, terus menerus terjadi. Tak hanya militer tapi siapapun yang menggunakan cara militeristik,” katanya.

Sistem kuasa pemilikan dan penguasaan tanah, kata Herlambang, berangkat dari proses kebijakan nasional.

 

 

Keterangan foto utama: Golfrid Siregar, aktivis Walhi Sumatera Utara, yang meninggal dunia karena terluka parah di kepala. Kekerasan yang menimpanya hingga meninggal dunia masih misteri. Foto: Walhi Sumut

Dalam kasus karhutla, banyak terjadi di konsesi perusahaan dengan luasan besar, tetapi minim penegakan hukum. Sebaliknya, penegakan hukum seakan hanya tegas kepada  peladang kecil ,  mereka berladang atau membakar di lahan satu dua hektar untuk bercocok tanam. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version