Mongabay.co.id

Pendekatan Ekonomi-Politik dan Mitigasi Bencana Asap di Masa Pandemi

Aktivis GAAs Kalteng membagikan masker dan mengedukasi anak-anak tentang bahaya kabut asap karhutla di desa-desa pinggir Kota Palangkaraya. Upaya ini mereka lakukan sejak akhir September hingga sekarang. Sementara layanan kesehatan sangat minim di desa terdampak kabut asap. Foto: Lina A. Karolina/Palangkaraya

 

 

Pada Mei ini, Mongabay menurunkan laporan mengenai ancaman bencana asap dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seiring dengan musim kemarau (Arumingtyas 2020). Dalam laporan itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, sebagian daerah Sumatera dan Kalimantan akan memasuki puncak kemarau pada Agustus.

Badan Restorasi Gambut (BRG) juga mulai memantau intensif wilayah-wilayah rawan kebakaran hutan sejak Mei. Ancaman tahunan kali ini krusial dan berbeda dengan waktu sebelumnya karena bertepatan pada masa pandemi Virus Corona. Lebih 20 juta penduduk di sebagian Sumatera dan Kalimantan harus menghadapi bahaya ganda: asap dan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Asap karhutla menyebabkan penyakit pernapasan seperti pnemonia yang pada saat sama merupakan gejala utama COVID-19.

Kondisi ini menunjukkan, asap dan kebakaran tahunan rentan menjadi katalisator bagi bencana lain yang skala destruktifnya lebih besar dan luas. Lantas, bagaimana menghadapi ancaman asap dan karhutla ini sebagai langkah mitigasi pada masa pandemi?

Pendekatan arus utama dalam penanggulangan karhutla cenderung merujuk kepada intervensi teknis-teknologi dan manajerial teknokratisme seperti yang biasa dilakukan sebelumnya. Mengacu pada kenyataan siklus tahunan karhutla dan bencana asap yang sulit diputus ini, perlu ada pertimbangan strategi lain. Terlebih, pandemi merupakan situasi extraordinary hingga langkah-langkah penanganan pun perlu di luar strategi konvensional.

Saya berargumen, pendekatan ekonomi-politik bisa bermanfaat untuk jadi pertimbangan langkah penanganan darurat pada masa pandemi. Relevansi pendekatan ekonomi-politik dalam merumuskan langkah mitigasi sejalan dengan perdebatan akademik kontemporer tentang kebakaran hutan-lahan dan asap di Indonesia maupun Asia Tenggara. Seiring, makin populernya istilah transboundary haze dalam kajian akademik regional dan global.

 

Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut perusahaan sawit, T MAS di Mauarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Debat akademik

Secara garis besar, kita paling tak bisa mengategorisasikan diskusi akademik tentang karhutla dan asap di Indonesia jadi dua kelompok. Kelompok pertama, menekankan kepada dimensi kemiskinan dan pembangunan sebagai penyebab utama karhutla dan asap.

Karhutla telah tercatat di Asia Tenggara sejak abad ke-19, terutama di Indonesia (Eaton & Radojevic, 2001). Pada 1982, The Great Fire of Borneo mengakibatkan 3,5 juta hektar hutan terbakar karena alamiah dan penggunaan api dalam kegiatan ladang berpindah skala kecil. Para sarjana yang investigasi kebakaran hutan waktu itu menyimpulkan, masalah pembangunan yang dialami petani kecil seperti kemiskinan, pertumbuhan penduduk cepat, dan ketidaktahuan jadi penyebab utama (Colfer, 2002; Varma, 2003).

Ketidaktahuan warga terkait dengan keterbatasan akses informasi dan pendidikan terhadap gambaran destruktif penggunaan api dalam praktik pertanian tradisional.

Kemiskinan dan kebutuhan subsisten mendorong petani lokal menggunakan api dalam pembukaan lahan dan pertumbuhan kembali tanaman tertentu. Api adalah metode pembukaan lahan paling mudah dan murah. Kita bisa bayangkan, biaya membersihkan satu hektar lahan bekas tebangan kayu atau tanaman dengan api hanya perlu biaya tidak lebih Rp75.000. Sedangkan, biaya membersihkan lahan satu hektar dengan peralatan mesin atau kimia bisa menghabiskan hampir Rp3 juta (Chander 2018).

Pada kasus gambut, pembersihan lahan dengan menggunakan api menghabiskan ongkos lebih mahal, hampir Rp3 juta per hektar, saat sama perlu 30–40 juta per hektar kalau gunakan metode lebih ramah lingkungan (Chander 2018).

Kelompok kedua, pendekatan ekonomi-politik yang menekankan kepada aspek relasi kuasa dan kepemilikan sumber daya. Kita menyaksikan perkembangan pesat dalam literatur akademik yang menggunakan pendekatan ekonomi-politik dalam satu dekade terakhir.

Perkembangan ini, sebenarnya sesuai dengan masifnya ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Berdasarkan data satelit, diperkirakan perusahaan perkebunan sawit atau sub-kontraktor terlibat dalam 80% karhutla untuk pembukaan lahan (Richardson, 2010: 22). Frekuensi titik api tertinggi terjadi di konsesi penebangan kayu dan areal perkebunan sawit (Purnomo et al. 2019).

Kebakaran dalam skala luas terkait dengan aktivitas pembukaan lahan oleh perusahaan-perusahaan raksasa (Varkkey 2016). Untuk itu, kita bisa mendapatkan indikasi, karhutla bukan hanya oleh faktor cuaca atau corak cocok tanam tradisional melainkan terkait erat dengan alih guna lahan untuk perkebunan sawit (McCarthy & Zen 2010).

 

Direktorat Penegakan Hukum KLHK usai peyegelan konsesi perusahaan yang terbakar. Foto: dari Facebook Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK

 

Ekspansi perkebunan sawit masif memicu perhatian serius dalam diskusi akademik terutama yang berhubungan dengan relasi patronase antara elit politik dan perusahaan sawit. Keterkaitan perusahaan-perusahaan besar dalam karhutla dan asap di Asia Tenggara, terutama Indonesia, disorot Varkkey (2016) dan Purnomo (et al. 2019). Mereka memberikan gambaran bagaimana perusahaan sawit mengakumulasi kekuasaan yang membuat mereka mampu mengakses wilayah hutan yang dilindungi di Sumatera dan Kalimantan.

Studi dari Varkkey (2016) merupakan suatu terobosan signifikan karena menempatkan asap sebagai persoalan lokal-global yang terkait erat dengan politik patronase perusahaan-perusahaan sawit raksasa di Asia Tenggara. Dia berargumen, kesulitan menghentikan bencana asap secara menyeluruh di Asia Tenggara karena perlindungan negara dan jejaring patronase yang melibatkan perusahaan-perusahaan Malaysia dan Singapura yang beroperasi di Indonesia (Varkkey 2016).

Politik lokal, juga mempengaruhi penggunaan api untuk pembukaan lahan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) jadi ajang transaksi lahan untuk jual beli suara, dan api adalah cara paling mudah dan murah untuk membersihkan lahan (Purnomo et al. 2019). Frekuensi karhutla dan asap akan bertambah sekitar setahun menjelang pilkada (Purnomo et al. 2019). Elit lokal menjanjikan lahan kepada para pendukung guna membantu bersaing dalam pilkada.

 

Solusi?

Berdasarkan uraian singkat atas diskusi akademik dalam karhutla dan persoalan asap, kita bisa mengetahui, pentingnya dimensi sosial dan politik sebagai penyebab kebakaran sebenarnya sudah diakui. Namun, solusi prioritas adalah riset teknis untuk memperkuat kapasitas pemadaman kebakaran atau identifikasi metode pembukaan lahan alternatif (Carmenta et al. 2011).

Saya kira, kita bisa sepakat bahwa memang perlu penelitian untuk pengembangan teknologi pemadaman api dan mitigasi asap. Meskipun begitu, prioritas terhadap langkah ini belum menyelesaikan kompleksitas persoalan karhutla dan asap secara lebih holistik. Karhutla dan asap jadi ‘peristiwa’ tahunan yang sulit diputus. Relasi kuasa dan sumber daya bisa dilihat sebagai pintu masuk untuk merumuskan mitigasi bencana hingga bisa memutus siklus tahunan ini.

Solusi bukan hanya langkah teknis yang berbasis teknokratik juga suatu cara pandang baru terhadap persoalan. Dengan kita mengakui bahwa karhutla dan asap adalah persoalan ekonomi-politik, maka sudah jadi upaya maju dalam mitigasi. Solusi teknokratik dalam memecahkan persoalan sosial adalah upaya de-politisasi yang sejalan dengan proyek integrasi ekonomi global. Karena itu, menghindari perangkap teknokrasi dalam perumusan solusi karhutla dan asap merupakan bagian dari peta jalan keluar dari masalah.

Karena akar persoalan terkait dengan ekonomi-politik, maka tawaran solusi juga perlu melihat hubungan negara, perusahaan, dan masyarakat serta jejaring patronase yang berkelindan. Kembali pada karhutla dan asap pada masa pandemi, upaya tidak bisa hanya berujung pada seruan terhadap masyarakat. Perlu ada kebijakan struktural yang memastikan perusahaan-perusahaan perkebunan dan ekstraktif menghentikan pembukaan atau pembersihan lahan dengan pembakaran pada masa pandemi. Presiden perlu menunjukkan keberpihakan pada mitigasi karhutla.

*Penulis adalah Yogi Setya Permana, peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Referensi

Arumingtyas, Lusia. 2020. “Kemarau Datang, Waspada Kebarakan Hutan di Masa Pandemi”. Mongabay.co.id. 11 Mei. Diakses 15 Mei, 2020.

Carmenta, Rachel, et al. “Understanding human-fire interactions in tropical forest regions: a case for interdisciplinary research across the natural and social sciences.” Ecology and society 16.1 (2011).

Chander, Parkash. “A Political Economy Analysis Of The Southeast Asian Haze.” The Singapore Economic Review 63, no. 05 (2018): 1085-1100.

Colfer, C.J.P. 2002. Ten propositions to explain Kalimantan‘s fires. In: Colfer, C.J. and Resosudarmo, I.A.P. (eds) Which Way Forward? People, forests and policymaking in  Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Eaton, Peter, and Miroslav Radojevic. Forest fires and regional haze in Southeast Asia. Nova Science Publishers, 2001.

Purnomo, Herry., et al. “Forest and land fires, toxic haze and local politics in Indonesia.” International Forestry Review 21.4 (2019): 486-500.

Richardson, Charlotte Louise. “Deforestation due to palm oil plantations in Indonesia.” Towards the sustainable production of Palm Oil, Australia (2010).

Varkkey, Helena. The haze problem in Southeast Asia: Palm oil and patronage. Routledge, 2015.

Varma, Anshuman. “The economics of slash and burn: a case study of the 1997–1998 Indonesian forest fires.” Ecological Economics 46, no. 1 (2003): 159-171.

 

 

Keterangan foto utama:  Aktivis GAAs Kalteng membagikan masker dan mengedukasi anak-anak tentang bahaya kabut asap karhutla di desa-desa pinggir Kota Palangkaraya. Upaya ini mereka lakukan sejak akhir September hingga sekarang. Sementara layanan kesehatan sangat minim di desa terdampak kabut asap. Foto: Lina A. Karolina/Palangkaraya

 

Exit mobile version