Mongabay.co.id

Tolak UU Minerba, Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Sidang Rakyat

Tambang batubara terbuka di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

 

Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia melangsungkan ‘Sidang Rakyat’ secara virtual. Tujuannya, menolak atas sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] yang mengesahkan Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara [UU Minerba], Selasa [12/5/2020] lalu.

Sidang berlangsung mulai Jum’at [29/5/2020] hingga Senin [01/6/2020]. Sidang ini disiarkan langsung di kanal YouTube Bersihkan Indonesia dan YLBHI. Sidang juga dapat diakses melalui siaran langsung Facebook Bersihkan Indonesia, serta 25 lembaga yang tergabung di dalamnya.

Ada Yayasan LBH Indonesia, Kanopi Bengkulu, Trend Asia, WALHI Kalimantan Selatan, JATAM, AURIGA Nusantara, ENTER Nusantara, KIARA, Sains Sajogyo Institut, 350.org Indonesia & FB Jejaring, WALHI Jabar, Greenpeace Indonesia, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, FNKSDA, WALHI, Srikandi Lestari, AEER, JATAM Kaltim, LBH Padang, WALHI Sumatera Barat, hingga ICW.

Baca: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

 

Tambang batubara terbuka yang berada di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

“Ini merupakan upaya menolak atas sidang paripurna DPR, sekaligus konsolidasi untuk mengajukan uji materi UU Minerba,” kata Ali Akbar, Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu, pada Jum’at [29/5/2020].

Menurut Ali, berbagai jejaring masyarakat sipil sejak awal telah menolak rancangan undang-undang tersebut, lantaran dinilai hanya memuluskan kepentingan para oligarki batubara. Bukan rakyat.

Penilaian DPR menyuarakan kelompok pembisnis batubara, menurut Ali, terlihat dari sejumlah pasal kontroversi yang telah disorot Koalisi Masyarakat Sipil.

Dimulai Pasal 1 Ayat [13a], ada ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Bantuan [SIPB], yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan pertambangan untuk keperluan tertentu. “Dengan demikian pasal ini membuka peluang rente baru,” kata Ali kepada Mongabay Indonesia di Bengkulu, Jumat [29/5/2020].

Selanjutnya Pasal 1 Ayat 28a, yang mengatur wilayah hukum pertambangan adalah ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai kesatuan wilayah yakni Kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. “Ini sangat mengancam ruang hidup masyarakat,” tutur dia.

Tak kalah merugikan, Pasal 4 Ayat 2, yang mengatur penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan pemerintah pusat. Sentralisasi ini tentu bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Pasal 22, pada huruf a dan d tentang kriteria menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat [WPR] telah dibuka ruang penambangan di sungai dengan luas maksimal 100 hektar, setelah mengubah luas maksimal 25 hektar.

Sedangkan Pasal 42 dan Pasal 42a juga dinilai mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batubara dalam menguasai lahan dalam waktu lebih lama untuk keperluan eksplorasi. Dalam UU baru ini, penguasaan tanah tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan.

“Sedangkan Pasal 162 dan 164 dinilai membuka peluang kriminasilasi terhadap penolak tambang,” lanjutnya.

Pasal 162 menyebutkan, setiap orang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud pasal 136 ayat [2] dipidana dengan kurungan paling lama 1 tahun, atau didenda seratus juta Rupiah.

Adapun pasal 164 mengatur sanksi tambahan bagi orang yang dimaksud dalam pasal 162. Sanksi tambahan itu berupa perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, hingga kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak tersebut.

“Masih ada sejumlah pasal lain yang mengundang kontroversi,” jelas Ali.

Baca: Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

 

Lubang tambang yang begitu dekat permukiman warga merupakan ancaman serius bagi keselamatan nyawa anak-anak. Foto: Jatam Kaltim

 

Bentuk protes

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] yang juga juru bicara #BersihkanIndonesia, menyoroti pemerintah dan DPR yang tidak mengatur klausul hak veto, atau ‘hak mengatakan tidak’ bagi warga yang menolak tambang. Bahkan, tidak melibatkan masyarakat saat UU Minerba disahkan pada 12 Mei 2020.

“Ini membuktikan, mereka tidak diajak bicara saat DPR mengesahkan UU Minerba, sehingga tidak sah dan tidak memiliki legitimasi,” ujarnya.

Memang, saat rapat paripurna DPR yang akhirnya menyetujui rancangan UU perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, terpantau tak ada penolakan dari anggota DPR. Dari Sembilan fraksi di DPR, mayoritas setuju. Mereka yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Grindra, Nasdem, PKB, PAN, PPP dan PKS. Sedangkan yang menolak fraksi Demokrat.

“Sidang rakyat ini bentuk protes masyarakat atas pengesahan UU Minerba yang tidak transparan dan terkesan buru-buru. Selain itu, proses pengesahan dibuat sepihak, tidak mengajak diskusi rakyat,” jelasnya.

Merah juga menyinggung adanya 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin tambang di hutan produksi, dan 2.200 izin di kawasan hutan produksi terbatas. Ditambah lagi, 3.092 lubang tambang batubara yang menyebabkan meluasnya konflik hingga banyak anak meninggal dunia.

“Harusnya, produk hukum UU Minerba ini berangkat dari permasalahan konkrit yang muncul, dari aktivitas eksploitasi. Seperti, masih banyaknya izin tambang yang terbit di hutan lindung, menyisakan lubang, insentif energi kotor fosil, hadirnya bencana seperti banjir, pencemaran ladang, hingga sumber air bersih,” jelas dia.

Atas tindakan yang diambil anggota DPR tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [Kiara] Susan Herawati mengatakan, para penguasa negara seperti menggelar karpet merah bagi pengusaha tambang. “Memperluas wilayah tambangnya tanpa batas.”

Sedangkan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Asfinawati menegaskan, eksploitasi mulai beranjak dari ruang darat yang sudah habis dikeruk. Nah, lewat UU Minerba ini, ancaman perampasan ruang hidup semakin meluas dan masuk ke ruang laut, landasan kontinen, pulau-pulau kecil, perairan, dan pesisir.

“Artinya, proses ekstraksi baru telah masuk ke kehidupan masyarakat bahari,” urainya.

Baca juga: Revisi UU Minerba Akan Perparah Krisis Ekologi di Sulawesi

 

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sidang berlanjut

Salah satu pegiat Bersihkan Indonesia, Ahmad Ashov Birry, mengatakan sidang akan terus berlanjut hingga Senin [01/6/2020]. “Agenda Sabtu dan Ahad, fokus pada penyampaian fakta-fakta yang dirasakan masyarakat terdampak pertambangan batubara selama ini,” kata dia.

Sesi pertama, Sabtu, pukul 10.00-12.30, pandangan rakyat dari wilayah Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Sesi siang, tentang kondisi rakyat dari Kalimantan. Sementara Minggu, kesaksian rakyat dari Sumatera dan Jawa. “Sidang paripurna pada Sidang Rakyat dijadwalkan Senin,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version