Mongabay.co.id

Nelayan Terdampak Pandemi, Begini Strategi Pemerintah Gorontalo dan Sulawesi Tengah

Nelayan tradisional Aceh saat menangkap ikan di pantai Banda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Hingga saat ini, belum ada kepastian kapan pandemi COVID-19 berakhir. Di sektor kelautan dan perikanan, nelayan kecil menjadi komunitas paling terdampak, terutama akibat harga ikan yang turun drastis. Kondisi ini tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan dan biaya operasional yang tinggi.

Situasi ini dialami juga nelayan di Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Nurain Lapolo, Direktur Japesda Gorontalo mengatakan, harga ikan turun hingga 50 persen atau lebih. Bahkan, harga gurita turun hingga 75 persen, dikarenakan pengumpul lokal membeli dengan harga sangat rendah, sehingga penjualan ikan hanya berlangsung di tingkat lokal.

Akibat corona, banyak perusahaan eksportir ikan tutup karena sebagian besar negara lockdown. Selain itu, pergantian musim tangkap ikan juga menjadi faktor penyebab banyak nelayan tidak bisa melaut.

“Contohnya di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, sebelah barat Gorontalo, beberapa nelayan beralih profesi menjadi ojek perahu. Namun, karena adanya penerapan PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar], profesi baru ini juga ikut terdampak. Untuk membantu nelayan terdampak, kami berinisiatif menjual ikan secara online,” ungkap Nurain.

Pernyataan Nurain disampaikan pada diskusi webinar yang digelar Japesda Gorontalo bertajuk “Dampak COVID-19 bagi Nelayan dan Strategi Menghadapinya”, Rabu [20 Mei 2020], yang menghadirkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Zulficar Mochtar, sebagai pembicara utama.

Kondisi nelayan di berbagai daerah juga disampaikan Indah Rufiati dari Yayasan Pesisir Lestari, lembaga konservasi laut yang bekerja pada isu masyarakat pesisir dan pengelolaan laut. Yayasan Pesisir Lestari bekerja di sembilan provinsi, mulai Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Maluku, hingga Papua Barat.

Indah menjelaskan kondisi nelayan kecil yang kesulitan akibat dampak corona. Misalkan, nelayan gurita di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dari hasil tangkapan mereka. Harga gurita adalah komoditas termurah di pasar setempat. Hampir setiap hari ada nelayan yang menjajakan hasil tangkapannya dari desa ke desa.

“Perlu ada penguatan masyarakat untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan,” terangnya.

Berdasarkan kondisi lapangan, Yayasan Pesisir Lestari memberikan masukan kepada pemerintah mengenai akses nelayan terhadap pasar dan kesehatan, serta manajemen keuangan. Selain itu, perlu ada diversifikasi hasil perikanan yang tidak hanya fokus ekspor, sebagai contoh komoditas gurita.

Baca: Nasib Nelayan Kecil dalam Ancaman RUU Omnibus Law

 

Bagi nelayan tradisional, wabah corona yang tidak diketahui kapan berakhir ini sangat memberatkan kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Strategi Pemerintah Daerah

Dalam diskusi tersebut, hadir Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Gorontalo dan Sulawesi Tengah, serta Muhamad Abdi Suhufan, ketua pelaksana harian Iskindo [Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia].

“Dampak corona menyebabkan turunnya harga ikan di tingkat nelayan maupun pedagang ikan. Pemicunya, menurunnya permintaan konsumen rumah tangga maupun eksportir,” kata Sila Botutihe, Kepala DKP Provinsi Gorontalo.

Sebagai gambaran, ikan tuna kualitas A semula harganya 56.000 Rupiah – 60.000 Rupiah [1 ekor 40-70 kg], saat ini harganya turun hingga 60 persen. Sementara ikan tuna tingkat lokal dihargai 25.000 Rupiah per kilogram.

Bila nelayan kecil dengan kapal atau perahu 3 GT [Gross Tonnage] memakan biaya operasional 2 – 3 juta Rupiah sekali melaut, dengan hasil 2 ekor tuna ukuran rata-rata 50 kg per ekor, jika dibandrol harga lokal hanya menutup operasional saja. Sementara ikan pelagis kecil sebagian besar terserap pasar lokal.

Sejak wabah ini juga, distribusi hasil perikanan mengalami hambatan di perbatasan sebagai akibat penerapan PSBB. Ikan dari Gorontalo sebagian besar dipasarkan ke Bitung di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

“Solusi saat ini, pemerintah telah memberikan stiker penanda khusus bagi kendaraan pengangkut hasil pangan, BBM, dan jasa pelayanan,” terang Sila.

Dampak lainnya, pembelian ikan segar untuk pemenuhan konsumsi masyarakat terpantau sepi. Tidak berjalan sepanjang hari, hanya jam tertentu, sedangkan pasar mingguan di beberapa wilayah ditutup.

Menurut Sila, beberapa upaya telah dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam penerapan PSBB. Misalkan, untuk mengantisipasi kelimpahan produksi perikanan, pemerintah daerah melakukan rasionalisasi anggaran untuk membeli hasil tangkapan produksi nelayan sejumlah 61 ton.

DKP Provinsi Gorontalo juga telah mengoptimalkan operasional cool storage di sejumlah pelabuhan. Tujuannya, penampungan stok ikan untuk bahan pangan yang akan didistribusikan kepada masyarakat terdampak pandemi.

Baca: Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Gurita yang berhasil ditangkap nelayan di Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kondisi serupa terjadi di Sulawesi Tengah, keterbatasan pemasaran yang mengandalkan pasar lokal menjadi kendala akibat adanya pembatasan wilayah. Meski aktivitas nelayan dan pedagang masih ada, tetapi belum normal.

“Untuk Kabupaten Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan, harga stabil namun stok berlebih akibat kesulitan pemasaran. Pembeli dari luar kabupaten/kota maupun dari Makassar dan Gorontalo mengurangi pembelian, bahkan ada yang menghentikan, dampak dari kebijakan karantina wilayah,” ungkap Mohamad Arif Latjuba, Kepala DKP Sulawesi Tengah.

Kebijakan pemerintah setempat, memberikan imbauan social distancing guna mencegah penularan corona, pembatasan orang keluar masuk, anggaran program OPD [Organisasi Perangkat Daerah] dialihkan untuk penanggulangan virus corona [COVID-19].

DKP Sulawesi Tengah menurut Arif, membeli ikan dari nelayan untuk disebar ke Rumah Sakit Undata Palu dan Rumah Sakit Umum Madani, serta membali ikan dari nelayan dan pembudidaya untuk pasar murah. Langkah antisipasi lain, menyediakan fasilitas sanitasi dan higienis pada setiap pelabuhan perikanan di Sulawesi Tengah, serta berkoordinasi dengan DKP tingkat kabupaten dan kota untuk memfasilitasi nelayan dan pembudidaya ikan guna mendapatkan akses pasar lokal, antarpulau, dan ekspor.

“Kami juga berkoordinasi dengan OPD guna menindaklanjuti surat Menteri KKP tanggal 3 April 2020 perihal produk perikanan untuk program perlindungan sosial. Serta surat Direktur Pemasaran Dirjen PDS tanggal 6 Mei 2020, perihal produk perikanan untuk bantuan sosial penanganan dampak corona,” ujar Arif.

Baca: Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

 

Perkampungan Bajo di Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Strategi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap

Zulficar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP mengakui, sektor kelautan dan perikanan sangat signifikan terdampak. Dampak jangka pendek, ada penumpukan hasil tangkapan dan sulit terjual. Yang perlu diantisipasi adalah risiko kesehatan karena tipologi nelayan kecil biasanya beraktivitas berkelompok, sedangkan higienitas dan kesadaran masih kurang.

Dampak jangka menengah, cash flow nelayan semakin terhambat hasil tangkapannya sulit terjual, kondisi ini membuat daya beli kebutuhan pokok masyarakat menurun. Sementara dampak jangka panjang, apabila siklus terus berulang pada akhirnya nelayan tidak memiliki biaya operasional. Atau bahkan enggan melaut karena penjualan yang sulit.

“Titik kritis ini perlu intervensi prioritas agar siklus terpotong atau dampaknya tidak terlalu jauh,” ungkapnya.

Untuk mengurangi risiko berjenjang tersebut, menurut Zulficar, ada strategi kebijakan yang telah dan terus dilakukan. Ada bakti sehat, bakti sosial, bakti usaha, dan juga pemberian bantuan nasi ikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Bakti sehat berupa penyemprotan disinfektan di lingkungan pelabuhan, kantor, UPI [Unit Pengolahan Ikan], kapal, atau TPI [Tempat Pelelangan Ikan], pemeriksaan kesehatan [suhu], penyediaan hand sanitizer, imbauan rajin mencuci tangan, pemberian suplemen dan juga APD berupa masker.

Zulfikar juga menjelaskan stimulus usaha melalui relaksasi kebijakan perikanan tangkap. Pertama, Sistem Informasi Izin Layanan Cepat [Silat] online, diselesaikan satu jam sejak persyaratan dimulai. Kedua, implementasi protokol COVID-19 di wilayah kerja pelabuhan perikanan, penghentian sementara cek fisik kapal dan alat penangkapan ikan. Juga, relaksasi pengeluaran kepiting bertelur dari wilayah Indonesia mulai 16 April 2020 hingga 31 Juli 2020, dengan ukuran dan berat sesuai ketentuan peraturan.

“Serta relaksasi mekanisme alih muatan kapal serta pelayanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan. Pelayanan dengan mengikuti seluruh protokol kesehatan. Masa berlaku Surat Persetujuan Berlayar [SPB] bagi kapal perikanan yang dimiliki nelayan kecil dan beroperasi one day fishing lama 14 hari sejak diterbitkan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version