- Nelayan spesialis pencari gurita di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, mengeluhkan harga gurita yang turun drastis menjadi 7 ribu hingga 8 ribu Rupiah per kilogram.
- Harga anjlok karena perusahaan pembekuan ikan yang biasa mengambil gurita nelayan, tidak lagi melakukan ekspor gurita. Penyebabnya karena negara tujuan ekspor telah lock down sejak awal.
- Daya beli nelayan turun akibat rantai pasok hasil perikanan laut terputus. Nelayan tidak memiliki penghasilan sementara harga sembako naik.
- Pemerintah diharapkan membantu nelayan kecil karena mereka kelompok paling rentan terdampak COVI-19.
Irham Summang kurang semangat saat menceritakan kondisi nelayan di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Irham adalah satu dari puluhan nelayan spesialis pencari gurita. Wabah virus corona [COVID-19] jelas berdampak kepada nelayan kecil seperti dirinya.
“Kami melaut seperti biasanya. Saya biasa turun pagi, balik jam 11.00 Wita. Istirahat sebentar, lalu turun melaut lagi jam 13.00 dan biasanya balik sore atau malam,” katanya.
Namun, sejak pertengahan Maret 2020, ketika virus corona di Indonesia diumumkan sebagai pandemi global, harga gurita turun drastis. Biasanya, sekitar 35 ribu Rupiah, kini anjlok mulai 7 ribu Rupiah atau dengan harga tertinggi 8 ribu Rupiah per kilogram.
Uwedikan tempat tinggal Irham adalah desa pemasok gurita untuk diekspor ke luar negeri. Di sini ada 20-30 nelayan pencari gurita. Hasil tangkapan dibawa ke pengepul di desa yang selanjutnya dibawa ke perusahaan pembekuan ikan skala besar yang mengambil gurita. Jaraknya tak begitu jauh, hanya sekitar 30 menit yang beralamat di Kelurahan Biak, Kecamatan Luwuk Utara, Kota Luwuk, Banggai.
“Saya dengar perusahaan besar di kota tidak lagi mengambil gurita karena adanya virus corona ini,” ungkap Irham.
Nelayan menjerit. Ketika harga tangkapan gurita nelayan turun, justru harga sembako naik. Harga beras di Desa Uwedikan per liter 13 ribu Rupiah, sementara per karung atau per satu koli harganya 780 ribu Rupiah.
“Barang-barang harian di kios juga mulai mahal,” keluhnya.
Baca: Berburu Gurita di Laut Banggai [Bagian 1]
Dalam kalender musim penangkapan gurita yang dilakukan pendataannya oleh Perkumpulan Japesda Gorontalo, Februari, Maret, dan April adalah musimnya gurita.
Irham dan nelayan lain mencari gurita menggunakan perahu bermesin ketinting. Alat tangkapnya berupa imitasi gurita atau imitasi jenis udang dan kepiting. Metode penangkapannya adalah pancing ulur. Dengan demikian mereka bisa disebut memakai alat pancing ramah lingkungan.
Menurut Irham, karena harga gurita murah, ia melaut mengutamakan ikan jenis lain untuk dikonsumsi dan dijual. Namun, hasil jualan kadang tidak laku sebab di desanya sudah ada pembatasan orang keluar masuk. Ini menyebabkan sedikitnya pembeli. Jika begitu, ikan akan diasinkan, dengan cara dijemur.
Kepala Desa Uwedikan, Lapulo, menjelaskan, meskipun di desa yang dipimpinnya itu belum ada yang berstatus ODP [Orang Dalam Pengawasan], namun pihaknya sudah menutup akses orang luar. Jika ada yang masuk, harus membuat surat riwayat perjalanan dan melapor ke pemerintah desa hingga kecamatan. Pihaknya juga belum memberikan bantuan sembilan bahan pokok [sembako] seperti daerah lainnya, karena warganya, baik itu petani dan nelayan masih beraktivitas seperti biasa.
“Tapi akan ada bantuan untuk masker ke warga,” katanya.
Baca: Tidak Sembarang, Berburu Gurita Ada Aturannya [Bagian 2]
Muhamad Ikbal Karau, staf lapangan Japesda Gorontalo, yang mendampingi Desa Uwedikan menjelaskan, meski nelayan kesulitan karena dampak virus corona, namun ada satu potensi pangan lokal yang bisa dimanfaatkan. Sagu sebagai makanan pokok pengganti beras.
“Nelayan di sini sudah lama menjadikan sagu sebagai penganan utama jika beras mahal-mahalnya. Sagu diolah menjadi berbagai macam menu,” ungkapnya.
Sagu misalkan diolah menjadi sinole, disangrai bersama parutan kelapa muda. Lalu ada onyop, penganan sagu yang diolah seperti papeda. Ada pula jepa, olahan sagu yang dimasak menyerupai martabak namun dicampur gula merah.
“Penganan lokal ini bisa menjadi ketahanan pangan buat nelayan di Uwedikan,” kata Ikbal.
Nasib yang sama dialami nelayan pencari gurita di Desa Popisi, Kecamatan Banggai Utara, Kabupaten Banggai Laut, serta dua desa; Lobuton dan Kalumbatan, Kabupaten Banggai Kepulauan.
Neni Triana, staf lapangan Yayasan Lini, organisasi nonpemerintah yang melakukan pendampingan di tiga desa tersebut mengatakan, harga gurita di pengepul jatuh hingga 6 ribu Rupiah per kilogram untuk semua ukuran. Padahal saat ini musim gurita hingga Mei 2020.
“Nelayan tetap melaut karena harga sembako naik. Tidak semua mencari gurita, tetapi ikan untuk dikonsumsi dan dijual,” kata Neni.
Baca: Lambangan dan Uwedikan, Desa yang Merancang Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat
Gurita [Octopus cyanea] merupakan sumber daya perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Namun, informasi produksinya sangat minim meski komoditas ekspor. Data ekspor perikanan Indonesia juga tidak spesifik. Pada 2018, nilai dan volume ekspor produk perikanan dan kelautan yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan, gurita digabungkan dengan cumi dan sotong, berada di peringkat tiga, setelah udang, tuna-cakalang-tongkol.
Istiyarto Ismu, dari Blue Venture, mengatakan, gurita memiliki peranan sama penting dengan perikanan lain. Pasar ekspor gurita sedang tumbuh, harganya lebih tinggi per satu kilogram dibandingkan tuna beku. Penangkapan gurita banyak dilakukan nelayan skala kecil, tidak memerlukan peralatan khusus. Terkait harga, tiga tahun ini tidak stabil, karena skala ekspor, biasa ada ketergantungan dengan nilai tukar Rupiah. Faktor lain adalah pesaing luar negeri, misalkan Afrika yang sedang panen raya. Ekspor gurita terfokus benua Eropa, Asia, dan Afrika.
Sementara itu, untuk hasil tangkapan gurita para nelayan yang ada di tiga kabupaten di Banggai, dibawa ke perusahaan di Kota Luwuk. Ada tiga perusahaan yaitu PT. Indotropic Fishery, PT. Kelola Mina Laut, dan PT. Banggai Indo Gemilang.
Namun, dampak wabah corona menyebabkan perusahaan tersebut menghentikan ekspor sebagaimana PT. Indotropic Fishery. Perusahaan ini membeli hasil tangkapan gurita nelayan yang ada di Banggai, lalu menjual produknya dengan nama octopus vulgaris dan octopus ball type. Sebanyak 80 persen diekspor ke Amerika dan sisanya diekspor ke negara-negara Eropa.
“Tapi ekspor gurita dihentikan karena sudah tidak ada permintaan dari negara-negara tujuan. Di sana sudah lebih dulu lock down gegara corona,” ujar Nimy, pemilik perusahaan PT. Indotropic Fishery melalui sambungan telepon.
Dalam mengekspor, biasanya perusahaan mengirim dari Luwuk, lalu transit Surabaya, setelah itu langsung ke negara tujuan: Amerika dan Eropa. Menurutnya, distribusi ikan kini hanya ke supermarket karena banyak perusahaan kena imbas.
“Harga gurita di nelayan sekitar 8 ribu rupiah per kilogram, itu masih bagus. Karena dengan kondisi begini tidak ada yang mau beli,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [Kiara], Susan Herawati, mengharapkan pemerintah memberikan perhatian kepada keluarga nelayan dan pelaku sektor perikanan rakyat yang kini menjadi kelompok paling rentan.
“Pemerintah wajib mengalokasikan dana perlindungan khusus untuk keluarga nelayan yang pendapatannya menurun akibat wabah corona,” kata Susan seperti dilansir bisnis.com.
Menurutnya, dampak yang harus ditanggung keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat antara lain potensi lumpuhnya kehidupan ekonomi dalam bentuk menurunnya pendapatan. Ini dikarenakan terputusnya rantai dagang perikanan dari nelayan sebagai produsen, ke masyarakat luas sebagai konsumen.
Dilansir dari maritim.go.id, pada hari Jumat, 17 April 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, melaksanakan rapat koordinasi dengan mengundang para menteri dan ketua lembaga. Ini terkait penyiapan kebijakan mendukung sektor kelautan dan perikanan tetap kuat menghadapi pandemi COVID-19.
Rapat tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan, mulai dari mendorong ekspor hasil laut hingga pemberian bantuan langsung tunai ke nelayan, petambak, dan pembudidaya ikan. Sebagai solusi atas kerugian nelayan yang berakibat pada ketidakmampuan para nelayan memenuhi kebutuhan dasar, perlu disalurkan bantuan pemerintah dan bantuan langsung tunai bagi nelayan, pembudidaya ikan, pengolah atau pemasar, dan petambak garam.
Sementara untuk mengatasi penurunan ekspor ikan, perlu ada penurunan tarif kargo udara dan penambahan jumlah layanan kargo. Ditambah juga dengan kemudahan distribusi logistik produk kelautan dan perikanan.
“Kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota juga diminta agar mengalokasikan anggaran melalui APBD untuk membeli produk perikanan,” tegasnya.