Mongabay.co.id

Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu

Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

 

 

Awal Mei 2020, pemerintah menyampaikan gagasan pembukaan lahan gambut untuk persawahan. Keputusan ini diambil lantaran kehawatiran krisis pangan pada masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). [1] Setidaknya, ada 200.000 hektar lahan gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, siap jadi ‘lumbung padi baru.’ [2]

Mengkonversi lahan gambut jadi persawahan bukanlah hal baru. Rangkaian kajian ilmiah menunjukkan, pertanian berkelanjutan di gambut dangkal (<100 cm) visible dilakukan.[3] Kriteria pemilihan lahan hingga penerapan teknologi sesuai menjadi kunci utama keberhasilan pertanian di gambut. Kalau hal itu tidak dilakukan, risiko kegagalan akan sangat tinggi, sama seperti pembangunan lahan gambut (PLG) satu juta hektar dan program selamatkan rawa dan sejahterakan petani (Program Serasi).

 

Perlu ada kriteria pemilihan lahan

Pemilihan lahan perlu mempertimbangkan tiga kriteria, pertama, kesesuaian fungsi gambut, kedua, kesesuaian lahan, ketiga, ketersediaan sumber daya air dan infrastruktur penunjang.

Untuk pemanfaatan gambut buat pertanian hanya bisa pada gambut dangkal yang terletak pada kawasan ekosistem gambut fungsi budidaya.[4] Pemerintah pusat dan daerah perlu jadikan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Kabupaten Pulang Pisau yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai dasar pemilihan lokasi. Jadi, program ini tak perlu mengorbankan perubahan fungsi ekosistem gambut, terlebih pada gambut dalam di fungsi lindung.

Kemudian, perlu penilaian kesesuaian lahan untuk mengurangi risiko kegagalan. Beberapa hal perlu diperhatikan adalah tingkat kematangan dan kedalaman gambut, serta keberadaan pirit.

Berdasarkan penelitian Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), gambut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan sayuran apabila memiliki ketebalan 50-100 cm dan kematangan hemik dan sapric.[5] Keberadaan pirit lebih 50 cm juga jadi aspek penting mengetahui tingkat keasaman dan konsentrasi racun dalam tanah.

Apabila, ada informasi ini maka dapat dirancang metode penanganan untuk menekan risiko, termasuk pemberian kapur untuk mengurangi tingkat keasaman, hingga peminihan benih dan pupuk yang sesuai.

Lalu, ketersediaan sumber daya air dan infrastruktur penunjang. Meskipun gambut adalah lahan basah, bukan berarti pertanian di gambut berjalan tanpa ada sumber air lain baik air hujan atau sungai utama. Hal ini karena kebutuhan lahan untuk mendapat asupan nutrisi mengingat sifat alamiah gambut asam dan mengandung nutrisi rendah (oligotrophic).[6] Infrastruktur penunjang, yakni saluran irigasi yang dilengkapi pintu-pintu air dan sekat kanal perlu untuk menata alur pengairan serta menjaga tinggi muka air tanah gambut agar tetap basah.

Ketika kebasahan gambut tetap terjaga, zat-zat asam dan beracun di dalamnya tidak akan keluar dan menyebar ke seluruh lahan pertanian. Kondisi ini akan mengurangi risiko kegagalan panen, dan menekan laju pengeluaran emisi CO2 dari gambut.

Pertanian di lahan gambut secara berkelanjutan bukanlah hal mudah dan murah. Ia perlu proses panjang dan pengetahuan cukup. Idealnya, perlu ada rencana induk mencakup perencanaan yang mempertimbangkan kaidah ekologi, sosial ekonomi dan produksi.

 

Perbaiki kesalahan masa lalu

Prasyarat pemilihan lahan ini bisa dikerucutkan apabila pemerintah mengacu pada pembelajaran dan peninggalan modal infrastruktur serta sosial dari program masa lalu. Saya pernah terlibat dalam proyek percontohan pertanian padi di lahan gambut bekas PLG, tepatnya di Desa Talio Hulu, Pulang Pisau.

Alasan dasar pengembangan proyek ini adalah ancaman kerusakan gambut yang tak terpelihara dan kondisi masyarakat yang tinggal di sekeliling hidup dalam kemiskinan.[7]

Sama seperti desa-desa lain di bekas PLG, lahan gambut sudah dicetak sebagai lahan pertanian terbengkalai dan jadi lahan tidur. Akibatnya, kebakaran lahan terus berulang dan masyarakat hidup dalam kemiskinan. Meskipun setiap keluarga memiliki dua hektar lahan pertanian (berserfifikat), mereka tak memiliki dukungan modal dan teknologi untuk mengelola gambut. Alhasil, sebagian besar warga merantau ke desa lain untuk jadi buruh tani. [8]

Melalui program ini, lahan-lahan tidur diharapkan bisa pulih kembali melalui pertanian berkelanjutan[9], sementara masyarakat mendapat keuntungan baik ekonomi maupun transfer teknologi.

Ibarat nasi sudah jadi bubur, peninggalan bekas PLG dan proyek serupa perlu diselesaikan guna menghindari dampak negatif dari gambut terdegradasi. Dengan memanfaatkan peninggalan infrastruktur dan sosial yang memenuhi kriteria bisa jadi opsi bagi pemerintah mewujudkan gagasan membuat lumbung padi di gambut secara efektif. Dengan demikian, pemerintah dapat mewujudkan ketahanan pangan dan memperbaiki kesalahan masa lalu.

 

* Penulis adalah Policy and Stakeholder Engagement Specialist, World Bank Jakarta. Tulisan ini adalah opini dari penulis.

 

Catatan kaki:

[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200428153728-532-498111/ancaman-krisis-pangan-jokowi-minta-bumn-buka-sawah-baru

[2] https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/VNx4w9DN-alasan-pemerintah-siapkan-lahan-di-kalimantan-untuk-cetak-sawah

[3] Surahman, et all (2018). Are peatland farming systems sustainable? Case study on assessing existing farming systems in the peatland of Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Integrated Environmental Sciences, VO.15, 1-19. doi.org/10.1080/1943815X.2017.1412326

[4] PP 57/2016 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem Gambut

[5] Ritung, Sofyan dan Sukarman (2016). Kesesuaian Lahan Gambut Untuk Pertanian. Lahan Gambut Indonesia: Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta: BBSDLP

[6] Wahyunto, et all. (2010) Land Use Change and Recommendation for Sustainable Development of Peatland for Agriculture: Case Study at Kubu Raya and Pontianak District, West Kalimantan. Indonesian Journal of Agricultural Science 11 (1), 32-40.

[7] BRG (2018). Profil Desa Peduli Gambut: Desa Talio Hulu

[8] Ibid

[9] Surahman, et all (2018). Op. Cit

 

Keterangan foto utama: Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng pada tahun 2012. Foto: Greenpeace

Exit mobile version