Mongabay.co.id

Pekerjaan Rumah Tata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan

 

Pelarungan awak kapal perikanan (AKP) yang berasal dari Indonesia pada kapal perikanan milik perusahaan dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Dalian Ocean Fishing Co,. Ltd. harus menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Indonesia. Mulai sekarang, tata kelola AKP Indonesia harus diperbaiki untuk mencegah berulangnya kembali peristiwa memilukan tersebut.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, perbaikan tata kelola AKP menjadi langkah yang mendesak untuk dilakukan segera oleh Pemerintah. Tata kelola tersebut akan memperbaiki jaminan pekerjaan bagi AKP yang bekerja di kapal ikan di dalam ataupun luar negeri.

Adapun, perbaikan tata kelola yang dimaksud, meliputi tahapan perekrutan, penempatan, repatriasi, sampai remedi. Semua tahapan tersebut, kemudian diperkuat dengan penerbitan rancangan peraturan pemerintah tentang penempatan dan perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan.

“Pemerintah perlu meningkatkan kerja sama dengan negara-negara yang selama ini menjadi tujuan bekerja AKP asal Indonesia. Perlu ada kerja sama lebih spesifik dalam bentuk perjanjian multi agreement atau saling pengakuan sertifikat AKP antara Indonesia dengan negara tersebut,” jelas dia dalam diskusi virtual yang digelar SAFE Seas Project belum lama ini.

baca : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing. Foto : screenshoot Youtube MBC News/Mongabay Indonesia

 

Upaya perbaikan lain, juga harus dilakukan Pemerintah dengan menyusun segera program dan rencana aksi pengembangan sumber daya manusia AKP, terutama tentang kualifikasi/kompetensi AKP. Kemudian, Pemerintah juga harus membuka layanan pengaduan melalui saluran telepon khusus bagi AKP yang bekerja di dalam atau luar negeri.

“Semacam national fisher center sebagai platform bersama untuk respon cepat terhadap kejadian atau kasus yang menimpa AKP,” tuturnya.

Langkah lain yang juga harus dilakukan Pemerintah Indonesia, adalah melakukan pendataan keberadaan AKP Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan di luar negeri. Upaya tersebut harus menjadi langkah prioritas dengan melaksanakan koordinasi bersama kementerian dan lembaga lain, untuk memudahkan pemantauan yang akan dilakukan kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI).

Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kementerian Perhubungan Sudiono menjelaskan, para pemilik surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK) yang menjadi agen penyalur AKP dan terbukti melakukan pelanggaran pengiriman, akan diberikan sanksi tegas.

“Pembinaan kami lakukan secara intensif dan berikan sanksi administratif maupun sanksi lain yang lebih berat,” ucap dia.

baca juga : Negara Harus Jeli Telusuri Jejak Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tumpang Tindih

Dalam diskusi yang sama, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Diaz Araujo mengakui kalau saat ini masih ada jarak dan tumpah tindih peraturan tentang AKP. Hal itu membuat efektifivitas pelaksanaan seluruh regulasi tersebut tidak berjalan dengan baik dan memerlukan perbaikan segera.

Dia menjelaskan, upaya untuk melaksanakan harmonisasi regulasi, mekanisme inspeksi bersama, dan penyadartahuan kepada masyarakat juga terus dilakukan dengan melibatkan kerja sama antar kementrian dan lembaga di bawah koordinasi Tim Nasional Perlindungan Awak Kapal Perikanan.

“Selain beberapa konvensi internasional yang belum kita ratifikasi, aturan dalam negeri saat ini selain tumpang tindih, pelaksanaannya belum terlalu efektif,” tegas dia.

Sementera, Direktur SAFE Seas Project Nono Sumarsono mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa perbaikan tata kelola menjadi hal yang penting untuk dilakukan dari sekarang sampai masa mendatang. Perbaikan harus dilakukan, karena kasus AKP Indonesia pada kapal RRT sudah menyedot perhatian dunia internasional.

Menurut dia, perbaikan tata kelola harus dilakukan tak hanya untuk jangka panjang saja, namun juga untuk jangka pendek yang menjadi kebutuhan mendesak, mengingat isu tersebut sangat berkaitan erat dengan isu hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, Pemerintah bisa melakukan inspeksi AKP yang bekerja di dalam negeri dan memastikan bagaimana kondisi mereka saat bekerja.

“Memastikan terpenuhinya hak-hak aak kapal perikanan berupa jaminan sosial dan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku,” pungkas dia.

perlu dibaca : Eksploitasi Tenaga Kerja Perikanan yang Tak Pernah Usai

 

Proses serah terima 15 nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat maritim Malaysia. Foto : Ditjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Pada kesempatan berbeda, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memberikan tanggapannya tentang kasus ABK Indonesia yang bekerja di kapal RRT dan sedang menjadi sorotan di dunia. Menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah mengajukan dua opsi kepada Kemenko Marves berkaitan dengan kasus tersebut.

Usulan pertama, yaitu menyetujui masukan dari Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru agar Pemerintah Indonesia segera melaksanakan kebijakan moratorium ABK Indonesia untuk bekerja pada kapal perikanan asing. Kedua, memberikan masukan teknis untuk proses perizinan AKP yang akan bekerja pada kapal perikanan asing.

“Dua ini terserah mana yang akan disetujui. Jadi intinya adalah, ini masalah kompleks,” ungkap dia.

Menurut Edhy, jika memang usulan yang diterima adalah melaksanakan kebijakan moratorium, maka KKP siap memberikan akses lapangan pekerjaan kepada para AKP untuk bisa bekerja pada kapal perikanan di dalam negeri.

 

Moratorium ABK

Tak hanya itu, untuk mendukung kebijakan moratorium, KKP juga akan memberikan kemudahan perizinan bagi kapal-kapal perikanan dalam negeri untuk bisa menangkap ikan secara kontinu. Dengan demikian, kapal-kapal tersebut bisa menyediakan lapangan pekerjaan kepada para AKP yang ada di seluruh Indonesia.

“Hitungan saya kita masih butuh ABK (anak buah kapal), kalau satu kapal butuh 30 ABK, 1.000 kapal butuh 30.000 (ABK),” tutur dia.

Dukungan berupa kebijakan yang sudah direncanakan itu, diharapkan bisa ikut membantu langkah yang sedang dilakukan Pemerintah saat ini untuk menyelesaikan persoalan AKP Indonesia. Penyelesaian yang harus dilakukan bisa dimulai dari bagian hulu lebih dulu.

Caranya, dengan membangun komunikasi bersama Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan untuk menyamakan persepsi. Hal itu, karena dua lembaga tersebut memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang untuk memberikan izin bekerja kepada para AKP.

“Dari sisi aturan, memang kalau kita lihat KKP sendiri tidak punya wewenang untuk memberikan izin. Ada dua yang punya wewenang, Kemnaker melalui UU Tenaga Kerja, dan Kemenhub melalui UU Pelayaran,” terang dia.

 

Ilustrasi. Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Sebelum ramai oleh pemberitaan tentang kasus pelarungan AKP Indonesia pada kapal perikanan milik Tiongkok, Edhy mengaku sudah membahas tentang AKP yang bekerja pada kapal perikanan asing. Pembahasan tersebut dilakukan oleh Komisi IX DPR RI pada Februari lalu.

Saat itu, rapat menghaslkan kesepakatan bersama bahwa penyusunan untuk penyelesaikan di sektor hulu persoalan AKP yang bekerja pada kapal perikanan asing dilakukan oleh tiga kementerian, yakni KKP, Kemenaker, dan Kemenhub. Kemudian, setelah kasus pelarungan ramai, Kemenko Marves meminta KKP untuk memberikan usulannya tentang penyelesaian kasus.

Disebutkan dia, ada empat pintu yang biasa dipakai oleh para calon AKP untuk bisa masuk dan bekerja di kapal perikanan asing. Pintu-pintu tersebut adalah melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), melalui izin dari Kemenhub, izin dari Pemerintah Daerah, dan melalui jalur ilegal atau tidak resmi.

“Masalah utamanya bukan di hilir, tapi di hulu,” pungkasnya.

Diketahui, perusahaan pengirim AKP Indonesia yang bekerja pada kapal perikanan RTT, diduga telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali. Perusahaan tersebut terdaftar sebagai authorized vessel di 2 Regional Fisheries Management Organization (RFMO).

Kedua RFMO itu adalah Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). Selain itu, diketahui Indonesia juga menjadi anggota pada WCPFC dan cooperating non-member di IATTC.

 

Exit mobile version