Mongabay.co.id

Pemerintah Cabut Aturan Ekspor Kayu Tanpa Verifikasi Legal, JPIK: Koordinasi Lemah

Hanya dalam beberapa bulan yakni Desember 2018 hingga sekitar April 2019, operasi gabungan yang dikoordinir Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengamankan 422 kontainer kayu ilegal. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

 

Akhirnya, pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/2020 yang dinilai melemahkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Aturan itu disebut berpotensi merusak perbaikan tata kelola kehutanan bahkan melanggar kerja sama bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa. Pencabutan permendag itu pun atas permintaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Permendg mengundang kritikan keras dari berbagai pihak, termasuk para pegiat lingkungan, sampai akademisi. Termasuk  Ida Bagus Putera Prathama, yang pada November 2016 memulai pemberlakuan efektif Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) saat ia menjabat Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, KLHK. Dia pun turut membuat petisi di Change.org, yang memprotes aturan ini.

Pada 6 Mei 2020, Agus Suparmanto, Menteri Perdagangan menerbitkan aturan Permendag 45/2020 yang mencabut Permendag 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan pada Februari lalu. Regulasi ini diundangkan pada 11 Mei 2020.

Permendag terdiri dari lima halaman ini memutuskan antara lain, Pasal 1, menyatakan “pada saat peraturan menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (Berita Negara RI Tahun 2020/182), ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.”

Regulasi 15/2020 ini sedianya efektif berlaku 27 Mei 2020, yakni, tiga bulan setelah regulasi diundangkan. Permendag ini mengatur, ekspor kayu tak lagi wajib memerlukan dokumen SVLK atau V-Legal. Aturan ini dianggap sangat kontroversial dan meresahkan banyak pihak karena ada pelonggaran terkait sistem ekspor kayu Indonesia.

Akhirnya, peraturan ekspor kayu kembali pada aturan semula, yakni, Permendag Nomor 84/M-DAG/PER/12/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Pencabutan Permendag 15/2020 itu pun dikonfirmasi oleh Oke Nurwan, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan. “Betul (sudah dicabut) kembali ke (aturan) semula,” katanya kepada Mongabay lewat pesan singkat.

Selain berbicara dampak lingkungan yang berpotensi kayu ilegal kembali beredar di pasar Internasional, kebijakan juga dinilai merusak reputasi kayu Indonesia dari segi bisnis.

Uni Eropa, salah satu pasar utama ekspor kayu Indonesia, SVLK jadi syarat dasar dalam mempercepat prosesnya.

Luhut B. Pandjaitan, Menter Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memimpin rapat koordinasi virtual terkait Pengelolaan Produk Hutan Berkelanjutan, Jumat (22/5/20). “Nah, ini kan kayunya harus kita kelola dengan benar, jangan sampai kita salah lagi seperti beberapa puluh tahun yang lalu” katanya.

SVLK, katanya, jadi sebuah perwujudan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) pada pasar Internasional, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea, Australia dan Tiongkok.

Nani Hendiarti, Plt Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves menyebutkan, sejak terbit SVLK legalitas kayu Indonesia sudah mulai dipercaya. Hal ini terlihat dari data 2013-2019, ekspor produk industri kehutanan meningkat. Kondisi ini mampu mengubah citra buruk pengelolaan hutan di Indonesia.

Agus Gumiwang, Menteri Perindustrian mengatakan, pada prinsipnya mendukung dengan catatan, Kemenperin mengusulkan pemberlakuan SVLK bersifat mandatori pada industri pengolahan kayu hulu dan bersifat voluntari pada industri pengolahan kayu hilir.

“Untuk proses prosedur pengurusan yang cukup panjang sudah kami carikan solusinya, terkait biaya cukup mahal juga sudah kami carikan solusi, nanti kami bisa kirimkan ke bapak,” katanya.

Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, KLHK akan membuat aturan pelaksana SVLK yang mudah dan murah, serta insentif untuk industri IKM/UKM.

Untuk ekspor dengan dukungan V-legal tetap ada. Yang akan menverifikasi, adalah pemerintah bukan lagi lembaga-lembaga yang selama ini banyak memakan biaya yang mengakibatkan sulit dan mahal.

”Di permen nanti kami menjamin IKM tidak ada masalah untuk ekspor, khusus ke China dan Korea. Ini catatan kami bertanggung jawab terhadap IKM,” katanya.

 

Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Perlu penyederhanaan prosedur

Robert Wijaya, Wakil Ketua Umum Bidang Kajian Regulasi, Sertifikasi dan Advokasi Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengatakan, dengan alasan persyaratan SVLK ini membebani eksportir hingga aturan keluar itu tak memiliki dasar kuat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor furniture Indonesia meningkat sejak penerapan SVLK. Tahun 2019, Indonesia mampu mengekspor furniture kayu US$1,95 miliar, naik 14,6% dari 2018. “Itu bohong kalau bilang SVLK menurunkan ekspor,” katanya.

Permasalahan saat ini, katanya, pelaksanaan SVLK, perlu ada penyederhanaan prosedur pembuatan SVLK hingga biaya terjangkau. “SVLK itu tidak sulit tapi mendapatkan legalitas yang sulit. Proses sulit dan lama adalah proses perizinan.”

Kalau pemerintah ingin peningkatan ekspor, katanya, tidak ada hubungan dengan penghapusan SVLK. Dia bilang, yang perlu digenjot pemerintah adalah bagaimana memberikan pendampingan dalam meningkatkan nilai tambah produksi kayu.

Baru-baru ini, Universitas Gadjah Mada survei, menunjukkan hampir setengah dari 137 bisnis kayu– sebagai responden—memperlihatkan kalau prasyarat V-Legal untuk ekspor hilang akan bahayakan bisnis mereka.

 

Pemahaman, komunikasi dan koordinasi lemah

Muhammad Kosar, Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengapresiasi putusan ini. Dengan penerbitan permendag yang kemudian dicabut kembali menunjukkan wajah pemerintah gagal berkoordinasi secara internal dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo.

Kondisi ini, katanya, berdampak pada interpretasi dan pandangan yang berbeda terkait sistem ini. Dia berharap, KLHK mampu memberikan pengetahuan kepada kementerian terkait agar memiliki pandangan sama terkait sistem ini.

Ahmad Maryudi, Ketua Sebijak Institute Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) menilai, selama ini SVLK masih hanya sertifikasi biasa, belum memaksimalkan eksplorasi manfaat lebih luas.

 

Hasil olahan kayu dari organisasi Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang juga mewajibkan dokumen asal usul kayu yang digunakan. Foto : Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Padahal, negara tetangga, seperti Vietnam dan China mulai menguasai pasar dan bisa meningkatkan nilai jual melalui desain.

“Perlu ada komunikasi lebih intensif oleh KLHK untuk memperkuat SVLK dengan menunjukkan kemanfaatannya,” katanya.

Krystof Obidzinski, pakar tata kelola hutan dan legalitas kayu di Expert European Forest Institute (EFI) mengatakan, yang perlu dilakukan dalam implementasi SVLK dan ekspor adalah komunikasi. Dia menilai, masih ada krisis pemahaman antar kementerian di luar KLHK.

“Komunikasi dan pemahaman SVLK di luar KLHK masih sangat minim. Ini mungkin karena ada pergantian staf atau fokus kepentingan di sektor lain. Untuk meningkatkan atau memperkuat ekspor melalui SVLK adalah membangun jembatan dengan kementerian lain hingga memiliki tingkat (pemahaman) sama.”

Selain itu, perlu ada penegakan hukum lebih masif terhadap kasus-kasus pembalakan liar yang ditemukan.

Sunoto, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) memandang, SVLK jadi hambatan berat bagi berkembangnya produksi dalam negeri, terutama perajin kayu, mebel, maupun rotan. Dia berharap, SVLK lebih baik hanya di hulu dan bukan hilir atau produk jadi.

“Dua bulan lalu kami sudah senang, SVLK sudah dibatalkan untuk hilir, sekarang dihidupkan lagi.”

 

***

Dalam rakor virtual, Luhut B Pandjaitan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi pun membahas ketentuan luas penampang kayu produk industri kehutanan. Harapannya, dapat memenuhi permintaan negara tujuan ekspor dan meningkatkan efisiensi bahan baku dan harga jual.

Nani mengatakan, soal optimalisasi pemanfaatan kayu dengan kebijakan saat ini, sebagai contoh, meranti ukuran luas penampang kayu 4.000 mm2 dan merbau 10.000 mm2 nilai masih relatif.

“Ini bisa ditingkatkan jika kita menyetujui menjadi 15.000 mm2.”

Ekspor kayu olahan, katanya, dikelompokkan antara kayu merbau dan non merbau, di mana kontribusi volume kayu mebau relatif kecil dibanding non merbau. Merbau yang dikenal dengan kayu besi ini sudah masuk dalam IUCN dalam kategori ‘rentan’ sejak 1998.

Secara ekonomi, kata Nani, aspek perluasan ukuran penampang kayu bisa meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu hutan alam dan mendorong peningkatan produksi hutan alam. Bisa juga mendorong bahan baku bagi IKM berupa produk kayu gergajian dari 33% jadi 45%.

Terkait perluasan ukuran penampang, Agus khawatir apabila ukuran terlalu besar dan jenis kayu diperbanyak akan mengganggu ketersediaan bahan kayu dan daya saing dari industri hilir. “Karena rata-rata bunga bank di negara pesaing kurang 6%, di Indonesia 10%. Masalah yang utama dalam industri kita adalah mesin peralatan di negara pesaing jauh lebih modern hingga lebih efisien.”

Obidzinski menilai, kebijakan luas penampang itu perlu dipertimbangkan secara lebih matang. Dia bilang, akan lebih kuat menunjukkan V-Legal ini sebagai nilai tambah.

“Saya kira ini ada plus dan minusnya, apakah ada batas waktu dan jangka waktu. Coba dipikirkan dampaknya.”

Kosar mengatakan, meski iangkah ini mampu meningkatkan harga jual ekspor kayu olahan, bisa menimbulkan dampak buruk bagi industri pengolahan kayu di hilir dan keberlanjutan ekologi.

Ada kemungkinan kalau disetujui, katanya, akan ada peningkatan harga hingga meningkatkan rembesan kayu-kayu ilegal.

 

 

Keterangan foto utama:  Hanya dalam beberapa bulan yakni Desember 2018 hingga sekitar April 2019, operasi gabungan yang dikoordinir Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengamankan 422 kontainer kayu ilegal. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

Pekerja di CV Max, UKM yang sudah memiliki sertifikasi SVLK. Mereka menerima kayu bersertifikasi juga dari hutan warga. Foto: Indra Nugraha

 

 

Exit mobile version