Mongabay.co.id

Perda Zonasi Laut Dikebut Demi Pengelolaan Wilayah Laut Nusantara

 

Upaya mencegah munculnya konflik horizontal di wilayah pesisir, terus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Paling terasa, adalah dorongan untuk mempercepat penyelesaian pembuatan peraturan daerah (perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Agar regulasi tersebut bisa segera hadir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong setiap provinsi bisa menyelesaikan rancangan Perda tentang RZWP3K dengan cepat. Dari seluruh provinsi, sampai sekarang tercatat baru 26 provinsi yang sudah menyelesaikan pembuatan Perda dan disahkan oleh DPRD setempat.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Aryo Hanggono menjelaskan, provinsi paling akhir yang berhasil merampungkan dan mengesahkan Perda RZWP3K adalah Sumatera Selatan. Provinsi tersebut berhasil menerbitkan Perda No.2/2020 tentang RZWP3K Provinsi Sumatera Selatan tahun 2020-2040 pada 9 April 2020 lalu.

“Dokumen tersebut akan menjadi basis dan ujung tombak pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil selama 20 tahun ke depan secara berkelanjutan,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

baca : Zonasi Laut, Kunci Mengelola Wilayah Laut Nusantara

 

Ilustrasi. Tanda zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dibuat partisipatif oleh masyarakat di Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Selain Sumsel, ada juga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berhasil menerbitkan Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020-2040. Peraturan tersebut diterbitkan pada 27 April 2020 lalu melalui sidang paripurna yang digelar DPRD Provinsi Kep Babel di Pangkal Pinang.

“Ditetapkannya Perda RZWP3K akan memberi kepastian hukum dalam perlindungan ekosistem pesisir, ruang penghidupan masyarakat pesisir, dan investasi,” tambah dia.

Selain Sumsel dan Babel, 24 provinsi lain yang lebih dulu menetapkan Perda RZWP3K adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan DI Yogyakarta.

Kemudian, ada juga Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Papua Barat. Seluruh provinsi tersebut melaksanakan penetapan dokumen Perda RZWP3K sesuai dengan amanat Undang-Undang No.7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Mengingat pentingnya peran dari Perda RZWP3K, Aryo menyebutkan kalau setiap Pemerintah Provinsi harus senantiasa memperhatikan kualitas dokumen dan perda yang akan dihasilkan. Sehingga, setelah disahkan itu bisa menjadi referensi utama untuk pengelolaan sumber daya alam, khususnya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Selain itu, pemda dalam proses penyusunan RZWP3K harus transparan dan melibatkan stakeholder terkait lainnya,” tegas dia.

Dengan menjadi rujukan utama referensi, Aryo mengatakan bahwa Perda RZWP3K juga akan memberikan kepastian hukum dan sekaligus kemudahan investasi untuk masing-masing provinsi. Tujuan itu juga akan sejalan dengan program Pemerintah Indonesia yang saat ini fokus dalam upaya meningkatkan iklim investasi di seluruh provinsi.

baca juga : Perda RZWP3K, Dinanti untuk Ketertiban Pembangunan di Kawasan Pesisir

 

Ilustrasi. Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Selain itu juga, kehadiran Perda RZWP3K akan bisa dijadikan alat yang efektif untuk meminimalkan konflik antar pengguna sumber daya di wilayah laut dan membuat pengelolaan ruang laut bisa menjadi lebih efektif. Pengaturan RZWP3K sendiri menjadi bagian dari rencana zonasi (RZ) yang mencakup banyak jangkauan yang lebih luas.

Dokumen lain yang juga menjadi bagian dari RZ, adalah dokumen Kawasan Strategis Nasional (KSN), RZ Kawasan Antar Wilayah (KAW), dan RZ Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Semua dokumen tersebut penyelesaiannya dilaksanakan langsung oleh Direktorat Perencanaan Ruang Laut KKP.

Aryo menyebutkan, dalam melaksanakan penyusunan dokumen RZ, semuanya harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan terkait, utamanya masyarakat pesisir yang akan menjadi aktor utama. Dengan demikian, nantinya bisa menghasilkan dokumen yang tepat dan berguna bagi semua lapisan masyarakat di wilayah pesisir.

“Transparansi menjadi kata kunci yang utama dalam perencanaan ruang laut, baik dalam proses maupun hasilnya,” tegas dia.

Lebih lanjut Aryo menambahkan, ada hal yang harus senantiasa diperhatikan saat proses penyelesaian dokumen RZ sedang berlangsung. Hal tersebut tidak lain adalah tentang perizinan pemanfaatan ruang laut yang masuk dalam dokumen perencanaan ruang laut.

Pentingnya perizinan menjadi bahasan utama, karena KKP pada periode 2020-2024 memiliki program yang berkaitan dengan penataan regulasi dan diarahkan pada penyederhanaan perizinan serta penyusunan regulasi untuk membangun kelautan dan perikanan.

Agar penyederhanaan perizinan bisa diwujudkan, KKP merasa perlu untuk menyiapkan sistem dan alat yang bisa mempermudah perizinan pemanfaatan ruang laut, dan dapat diikuti oleh pemohon izin. Pada tahap selanjutnya, pemohon izin bisa mengikuti setiap proses untuk permohonan izin.

“Perizinan harus lebih dipermudah, tetapi kualitas harus tetap dijaga. Oleh karena itu perlu disiapkan sistem dan alatnya,” tandas dia.

Kegiatan menyelesaikan dokumen RZ menjadi perwujudan amanat UU No.32/2014 tentang Kelautan dan Peraturan Pemerintah No.32/2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut.

baca juga : Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?

 

llustrasi. Sebuah kapal nelayan melintas di perairan Teluk Jakarta, Muara Angke, Jakarta Utara. Teluk Jakarta mengalami tekanan lingkungan yang tinggi, salah satunya karena proyek reklamasi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto menambahkan, dengan selesainya penetapan 26 Perda RZWP3K di 26 provinsi, maka tersisa delapan provinsi yang sampai sekarang masih dalam proses penyelesaian.

Dari delapan provinsi, dokumen milik empat provinsi sudah dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan masuk dalam rapat paripuran DPRD setempat. Sementara, tiga provinsi masih dalam proses tahap penyelesaian perbaikan dokumen final dan surat tanggapan/saran akhir.

“Sementara untuk Provinsi Papua sedang dalam proses penyusunan dokumen antara. Kami optimis seluruh provinsi tersebut dapat segera menetapkan Perda tentang RZWP3K,” ucap dia.

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono mengatakan, kehadiran Perda RZWP3K menjadi momen penting bagi seluruh provinsi di Indonesia, karena itu bisa menyelesaikan persoalan peraturan yang banyak tumpang tindih di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Dengan Perda tersebut, peraturan akan bisa disederhanakan menjadi satu dan lebih memudahkan dalam proses penerbitan perizinan untuk segala kegiatan yang ada di kawasan pesisir,” ucap dia belum lama ini.

Penerapan perizinan secara terpadu, diantaranya adalah imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM, karantina di KKP, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemudian di bawahnya ada koordinasi dengan pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

“Juga ada dengan kementerian/lembaga terkait lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Makanya itu yang bikin ruwet,” sebutnya.

Di sisi lain, upaya untuk mengatur wilayah laut juga terus bersinergi dengan upaya perluasan kawasan konservasi perairan yang juga dilaksanakan di seluruh provinsi. Hingga sekarang, total sudah ada 23,14 juta hektare kawasan konservasi yang pengelolaannya dilakukan bersama oleh KKP, KLHK, dan Pemerintah Provinsi.

Dengan luasan tersebut, Pemerintah Indonesia masih berharap bisa menambahnya menjadi total 30 juta ha pada 2030 mendatang. Adapun, di atas kawasan 23,14 juta ha yang sudah ada sekarang, berdiri 196 kawasan konservasi yang dikelola secara bersama oleh tiga lembaga di atas.

perlu dibaca : Nasib Masyarakat Pesisir di Tengah Pesta Investasi

 

Ilustrasi. Siluet aktivitas warga nelayan disenja hari saat di bibir pantai Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Walau Pemerintah Indonesia menyebutkan kalau penyusunan dokumen RZPW3K akan selalu melibatkan banyak pemangku kepentingan, namun di mata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati itu tidak terjadi. Kalaupun ada, porsinya sangat tidak memadai.

Padahal menurut dia, Perda RZWP3K menjadi mandat dari UU Nomor 1 Tahun 2014 junto UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Mandat tersebut mengamanatkan kalau masyarakat pesisir harus menjadi tokoh utama di wilayah mereka sendiri.

Minimnya keterlibatan masyarakat pesisir, juga ditegaskan Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata. Menurutnya, penyusunan Perda RZWP3K di berbagai provinsi masih belum terbuka dan hanya melibatkan segelintir masyarakat pesisir saja.

“Juga, semakin diperkuat lagi, karena tidak ada tahapan konsultasi mulai dari desa/kelurahan yang di dalamnya ada pulau-pulau kecil, kecamatan, hingga kabupaten/kota,” tuturnya.

Tak cukup di situ, Marthin mengatakan, saat ini ada Perda RZWP3K yang sudah disahkan dan ternyata masih tumpang tindih dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) di provinsi yang bersangkutan. Kondisi itu cukup menyulitkan, karena kehadiran Perda RZWP3K dimaksudkan untuk memecahkan persoalan di kawasan pesisir, dan bukan sebaliknya.

 

Exit mobile version