Mongabay.co.id

Refleksi Hari Lingkungan Hidup: Apakah Ragam Spesies di Bumi perlu Dilindungi?

Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam atau IUCN tahun ini mencatat bahwa lebih dari 31 ribu spesies terancam punah di seluruh Bumi. Itu berarti 27 persen dari total semua spesies (yang telah dapat diidentifikasikan oleh sains) dari total 106 ribu spesies. Padahal tahun 2019, IUCN Red List merilis bahwa ada 28 ribu spesies yang. Tampak ada lonjakan besar dalam satu tahun ini, sekitar 3.000 spesies baru masuk daftar terancam.

Itu sebenarnya tampak tidak aneh. Di berbagai media lingkungan, – termasuk Mongabay, saya kerap mendapat berita harimau yang mati terjerat, gajah sumatera yang berkonflik dengan masyarakat, penyu yang tewas karena memakan plastik, hingga terumbu karang yang hancur dan sebagainya. Sangat banyat ternyata bahaya yang mengancam spesies. Pantaslah daftar spesies yang terancam terus meningkat.

Pertanyaannya, apakah kita perlu khawatir tentang itu semua?

Tentu akan menyedihkan bagi para pecinta alam bila tidak bisa lagi melihat terumbu karang, hutan yang hijau, harimau, gajah, penyu, dan flora fauna kharismatik lainnya. Sebaliknya, bagi masyarakat yang berkonflik dengan satwa liar, hal itu dirasa tidak berguna. Lalu, mengapa kita perlu repot-repot menyelamatkan spesies yang terancam punah? Tahukah Anda berapa biayanya?

Baca juga: Amfibi Terbesar di Dunia ini Menuju Jurang Kepunahan

Sebuah studi pada 2012 memperkirakan bahwa akan dibutuhkan biaya USD 76 milyar per tahun untuk melestarikan hewan darat yang terancam. Menyelamatkan semua spesies laut yang terancam punah mungkin jauh lebih mahal. Biaya itu dihitung ketika spesies yang terancam baru pada sekitar 20.219  spesies di tahun 2012, dan kini angkanya telah bertambah 50%.

Mengapa kita harus menghabiskan semua uang itu untuk spesies liar ketika kita bisa menghabiskannya untuk mengobati orang sakit atau kelaparan yang masih banyak di bumi? Ini jelas rumusan pertanyaan yang rumit dan tak masuk akal bagi sebagian orang.

Sebagai ilustrasi, mungkin bagi sebagian warga yang hidup berbatasan dengan Taman Nasinal Kerinci Seblat, terasa sulit untuk memahami mengapa ada orang yang ingin melestarikan hewan seperti beruang. Bagi mereka ia  menimbulkan ancaman bagi keselamatan ternak mereka. Bukankah ada beberapa spesies yang kita akan lebih baik tanpa keberadaan mereka?

Lagi pula, spesies punah setiap saat secara alami. Sains mengungkap ada lima kepunahan massal yang melenyapkan petak-petak spesies. Yang terakhir terjadi 65 juta tahun lalu, yang membuat dinosaurus hilang dari muka Bumi.

Tingkat kepunahan telah meningkat seratus kali lipat selama beberapa abad terakhir. Jika kepunahan adalah proses alami, – yang berlangsung bahkan tanpa kehadiran manusia, mengapa kita harus repot-repot menghentikannya?

Namun yang terjadi sebaliknya.  Perubahan iklim adalah faktor yang paling ganas dan manusia tampaknya yang harus disalahkan. Siapa yang menjadi agen perubahnya?

Jawabnya, manusialah yang membuat iklim berubah super cepat dalam 150 tahun terakhir ini, akibat pemompaan gas-gas rumah kaca, pelepasan emisi dari konversi lahan hutan, hingga model transportasi yang berbasis pada bahan bakar fosil.

Data IUCN (2020) menunjukkan, jenis-jenis amfibi merupakan spesies yang paling terancam (41 persen) dari spesies lain. Kemudian diikuti konifer atau tumbuhan berbiji terbuka (34 persen), 33 persen terumbu karang, 30 persen pada  hiu dan pari, 27 persen pada krustasea (udang), 25 persen mamalia dan 14 persen burung.

Amfibi merupakan spesies terentan yang terpengaruh oleh perubahan kondisi lingkungan. Mereka juga memiliki dua tahap kehidupan, yang berarti bahwa sebagian dari kehidupan mereka berada di air dan sebagian di darat.

Memiliki dualitas ini membuat mereka terpapar ke dua lingkungan yang sepenuhnya berbeda. Permeabilitas kulit mereka membuat mereka sangat rentan terhadap patogen dan bahan kimia yang dapat diserap langsung ke dalam tubuh. Ditambah lagi pemangsaan dan perusakan habitat, dan perubahan iklim.

Baca juga: Menelisik Peran Amfibi di Lingkungannya secara Alami

 

Katak sungai berbintik (Pulchrana picturata), amfibi ini ditemukan di kawasan Bandung, Jabar. Foto : Ganjar Cahyadi

 

Alasan Menyelamatkan Spesies yang ada di Bumi

Ada alasan sederhana untuk menyelamatkan suatu spesies. Yaitu, karena kita mencintai dunia alami. Alam itu indah, dan nilai estetika itu adalah alasan untuk mempertahankannya. Sama seperti kita melestarikan karya seni Da Vinci, Mona Lisa, sejak tahun 1503 atau Starry Night yang dibikin oleh Van Gogh pada 1889.

Kemudian kita juga melihat binatang itu lucu, agung, atau sekadar menarik. Kita suka berjalan di bawah sinar matahari yang menyisip di sela-sela pohon di hutan, itu sangat indah dan di beberapa negara seperti jepang dijadikan sebagai sarana terapi, atau kegiatan diving di sekitar terumbu karang, sulit untuk menafikan keindahannya.

Namun bagaimana berbicara keindahan dengan mahluk amfibi seperti katak? Kebanyakan orang malah geli melihatnya.

Jadi fakta bahwa sebagian dari kita menemukan alam yang indah  tidak akan berhasil. Perlu ada alasan yang lebih substansial untuk menjaga spesies tetap hidup. Tapi tahukah Anda berapa besar peran amfibi dalam penelitian medis?

Spesies amfibi telah memberi kita berbagai obat luar biasa. Seperti antibiotik pertama ditemukan dari peptida antimikroba yang ditemukan di kulit katak.

Ada juga hasil penelitian yang menemukan obat penghilang rasa sakit, yang 200 kali lebih kuat daripada morfin, yang bersumber dari kulit katak.

Para peneliti telah mengidentifikasi sekresi kulit katak yang dapat membantu mengatasi Alzheimer dan merupakan pengobatan potensial untuk Diabetes tipe 2; anti-virus yang kuat yang menghentikan penularan HIV; lalu ada penelitian cedera sumsum tulang belakang yang dilakukan pada berudu: ekor berudu terbuat dari otot, saraf dan serat, – seperti sumsum tulang belakang manusia, yang ketika ia dilepaskan, kecebong dapat menumbuhkannya kembali.

Phil Bishop, professor zoologi dari University of Otago, di Selandia Baru, menyebut sekitar 10 persen dari semua hadiah penerima Nobel untuk pengobatan berasal dari penelitian tentang katak.

Bagi publik, itu bisa menjadi pembuka mata yang nyata: amfibi adalah harta karun besar potensi medis untuk masa depan. Walaupun hewan ini menggelikan bagi kebanyakan orang, namun suatu ketika ia bisa menyelamatkan hidup manusia dari suatu penyakit di masa depan.

Baca juga: Sheherazade dan Upaya Menyelamatkan Spesies Terabaikan di Sulawesi

 

Ingerophrynus parvus yang ada di Tahura Bukit Barisan. Foto: Fajar Kaprawi

 

Bioprospeksi dan Jasa Lingkungan

Dalam melihat relasi manusia dengan alam lingkungan, mungkin hal terpenting di masa sekarang dan masa depan adalah praktik mengeksplorasi alam untuk menemukan produk yang bermanfaat  bagi manusia yang disebut bioprospeksi (bioprospecting).

Alam menawarkan sejumlah rahasia yang belum terungkap. Kita memiliki banyak cara untuk menemukan obat-obatan baru, yang tidak selalu melibatkan penjelajahan ribuan mil melewati hutan yang berbahaya dengan harapan samar menemukan obat-obatan alami. Ia akan dapat dijumpai saat sudah menjadi produk turunan yang dihasilkan.

Meski harus diakui, bioprospeksi pun menghasilkan kekhawatiran saat ia menjadi amat komersial. Seringkali, masyarakat lokal keberatan saat kandungan obat-obat tradisional mereka dikooptasi (diberikan hak paten) oleh orang luar. Pertarungan legalitas sering terjadi dalam hal ini.

Dan lagi, apa yang terjadi untuk spesies yang tidak memiliki hal-hal yang bermanfaat seperti obat-obatan? Jadi argumen ini meski memiliki kekuatan, tidak panjang dibahas di sini agar pembicaraan tidak mengambang terlalu jauh.

Saya lebih menyukai konsep yang disebut “jasa ekosistem”, suatu paradigma yang telah mulai berkembang sejak tahun 1990-an, cara pandang ekologis yang diperkenalkan oleh para pakar biologi.

Di sini, konsepnya semua keberadaan spesies adalah bermanfaat dan penting bagi kita lewat peran yang mereka miliki masing-masing. Manusia, sebagai spesies, tidak berdiri sendiri, tapi saling terhubung di alam lewat sebuah jejaring rumit kehidupan.

Banyak dari tumbuhan mengandalkan serangga untuk menghasilkan benih. Termasuk berbagai tumbuhan yang kita makan. Serangga penyerbuk seperti lebah adalah contoh nyata. Beberapa tanaman bahkan tidak akan bertahan dan menjadi makanan kita tanpa dibantu perkembangannya oleh lebah. Inilah sebabnya mengapa penurunan serangga penyerbuk telah memicu begitu banyak kekhawatiran.

Sementara itu, pohon-pohon hijau dan plankton di laut, memproduksi oksigen untuk kita hirup. Tidak ada yang mampu memproduksi oksigen seperti yang dilakukan tumbuhan dan mikroorganisme di laut.

Pada tahun 1997, ahli ekologi Robert Costanza dan rekan-rekannya memperkirakan bahwa biosfer menyediakan layanan bernilai sekitar USD 33 trilyun per tahun. Jauh lebih besar dari ekonomi global yang tercatat saat itu yang baru menghasilkan USD 18 trilyun per tahun. Tentu saja angka layanan biosfer lebih besar dari yang dapat dicatat secara ekonomis.

Lima tahun kemudian, tim peneliti membuat argumen lebih maju, menanyakan berapa banyak yang akan kita dapatkan dengan melestarikan keanekaragaman hayati. Mereka menyimpulkan bahwa manfaatnya akan melebihi biaya dengan kelipatan 100.

Dengan kata lain, melestarikan alam adalah investasi kita yang sangat berharga.

 

Referensi:

  1. The IUCN Red List OF threatened species 2020
  2. What is the point of saving endangered species? BBC, 15 Juli 2015
  3. Why conserve amphibians? Wawancara dengan Phil Bishop di laman synchronicityearth.org, 26 April 2018

 

* Marlis Kwan, penulis adalah Analis Fair Business for Environment. Artikel ini merupakan opini penulis

 

***

Foto Utama: Katak pohon bermata merah Panama. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

Exit mobile version