Mongabay.co.id

Cerita Surga Bawah Laut Buton dan Sustainable Diving Green Fins

 

Penyelam pemula sampai instruktur berbagi cerita termasuk membuat strategi penyadaran menyelam yang ramah lingkungan untuk tamunya. Serial diskusi daring ini dihelat MSTDS Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB melalui Kisah Selam dari Temen-temen dan Insrtuktur Peserta ITC 2018.

Muhammad Rahmat Pati Yunus atau akrab dipanggil Rofat mengajak menyelami gua-gua indah bawah laut di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, pada 22 Mei 2020. Instruktur dari Rock N Roll Divers, Bau-Bau ini dianggap salah satu pionir penyelaman gua di Buton.

Pria muda dari Kendari ini bercerita, kehidupan di pulau adalah hal menakutkan ketika ditugaskan pertama kali. Ia mengatakan sebagai anak muda kota dari Kendari, Sulawesi Tenggara, warga biasanya memilih berlibur ke kota lebih besar seperti Makassar, Bali, Surabaya. “Tidak mungkin ke pulau,” sebutnya.

Namun ia sudah menyimpan kekaguman pada Wakatobi saat mulai populer sebagai destinasi wisata bawah laut pada 2007. “Saya penasaran dan sejak kecil suka alam. Pertama ke Wakatobi pada 2012 belum ada pesawat. Ombaknya tinggi, tidak punya gambaran seperti apa yang saya akan hadapi,” lanjutnya berkisah.

Perjalanan dengan ombak tinggi membuatnya pusing karena belum terbiasa dengan laut. “Tak ada gunung atau mal, hanya bisa menikmati sunset,” ingatnya saat pertama kali tiba di Wakatobi. Ia menunjukkan foto Sombu Site, spot diving populer di sana. Rofat pun mencoba bersahabat dengan laut. Ia belajar menyelam pada 2014, dan melanjutkan sampai tingkat master 2016.

baca : Hancurnya Industri Wisata Selam Indonesia di Tengah Wabah Corona

 

Panorama gua bawah laut di Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Muhammad Rahmat Pati Yunus

 

Ia mengajak berkunjung, karena kini ada dua rute ke Wakatobi. Pertama, via Makassar-Kendari, kedua, ada penerbangan langsung ke Bau-Bau, dilanjutkan naik kapal ke Wakatobi.

“Gila di sana, ada waktu sedikit, saya ke laut, termasuk pulang kantor. Naik motor bawa alat tabung, sudah lengkap peralatannya,” seru Rofat antusias.

Pada 2017 ia dipindahtugaskan ke Pulau Buton, Kota Bau-Bau. Di sana ia perlu penyesuaian lagi dengan dunia selam. Kenalan dengan Rock and Roll Dive Center. “Pertama kali datang sudah kenal 3 instruktur selam yang baik,” ia bersyukur.

Hal unik di Bau-Bau adalah pengalaman penyelaman gua laut. Salah satunya gua laut Loba-loba, untuk mengakses dari dive center Rock and Roll sekitar 15-20 menit naik kapal menuju titik penyelaman gua laut. “Makin gila, lebih jernih. Cahaya surga apalagi turun pas tengah hari jam 12, sinar matahari di kepala, maka berkas cahaya muncul. Saya sebut cahaya surga,” tuturnya.

Untuk pengalaman dive cave di Buton yang sudah dieksplorasi adalah Pulau Buton dan Muna yang dijuluki pulau seribu gua, sementara lokasi dive cave sekitar 20 gua bawah laut.

Ayub, salah satu tokoh dunia penyelaman dalam diskusi daring ini mengatakan dive cave di luar Sulawesi Tenggara ada di Kupang, yang terkenal crystal cave, lalu di Sulsel-Maros, dan potensi pengebangannya di Indonesia sangat besar. “Seputar Buton dan Pulau Muna potensinya sangat besar sampai ada buku Negeri Seribu Gua. Sudah ada instruktur pemandu dive cave. Ada dua jenis gua, laut dan darat. Jenisnya beragam. Indonesia punya potensi sangat besar untuk aktivitas cave diving,” ia yakin.

baca juga : Inilah Tantangan TNL Wakatobi dalam Pengelolaan Kawasan Lautnya

 

Foto-foto pengalaman menyelam di gua bawah laut di Bau-Bau, Pulau Buton oleh Rofat dan rekannya dalam seri diskusi soal penyelaman. Foto: Panorama gua bawah laut di Bau-Bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Muhammad Rahmat Pati Yunus /Rofat

 

Martin Wetik, tokoh dunia selam lainnya berharap operator menegakkan protokol standar hidup baru selama pandemi ini. Misalnya mengurangi jumlah penyelam dalam sekali turun dibanding sebelumnya, mendokumentasikan bagaimana mencuci peralatan selam, melakukan disinfektan, dan lainya. Dipublikasikan dive center untuk meyakinkan orang lain.

“Wajib punya alat selam sendiri, tak disentuh orang lain, disimpan terpisah. Tak ada yang proteksi dari COVID-19 selain kita sendiri,” tambahnya.

 

Kode perilaku penyelaman yang berkelanjutan

Seri diskusi lain dihelat pada Jumat (5/6/2020). Topiknya adalah perilaku dan sikap penyelam yang bertanggungjawab lingkungan.

Marthen Welly, penyelam berpengalaman dan pegiat di lembaga Coral Triangle Center (CTC) di Bali ini meyakinkan penyelam lain untuk mulai mendidik dan mengajak penyelam lain aktif dalam pelestarian laut, aset utama aktivitas ini. “Kalau ada yang ikut grup yang merusak lingkungan segera dikoreksi. Di bawah air diberi tanda, misal fins menyentuh karang, minta naik sedikit jangan terlalu dekat terumbu,” katanya.

Sampai di atas, dijelaskan kenapa tidak boleh sehingga tamu mengerti. Juga ikut merawat seperti monitoring terumbu karang, clean-up, dan menyediakan informasi edukasi tambahan di dive center.

Pemandu selam berpengaruh besar pada perilaku penyelamnya untuk menjaga aset utama, yakni laut dan isinya. Salah satu asosiasi yang mengampanyekan ini di Asia Tenggara adalah Green Fins.

CTC menjadi koordinator untuk Green Fins di Indonesia, namun baru fokus di Bali, Ambon, dan dan Komodo. Saat ini di Indonesia baru ada 9 asesor dan 31 anggota dive operator aktif. Sementara di Indonesia ada lebih 300 dive operator, di antaranya sekitar 100 di Bali yang bisa diajak untuk bergabung.

Tiap tahun, organisasi ini menyeleksi 10 anggota Green Fins dengan nilai terbaik, dapat penghargaan yang tiap tahun diumumkan di ADEX, Singapore, salah satu pameran industri selam terbesar di Asia. Dive center yang terpilih akan dipromosikan. “Tidak ada biaya keanggotaan, cukup mengisi form registrasi dan dikirim ke saya sebagai koordinator di Indonesia,” ajak Marthen.

Dari laman Green Fins ini, peringkat 4 dalam 10 anggota terbaik adalah Ceningan Divers yang berlokasi di Nusa Penida, Klungkung, Bali. Lainnya adalah operator dari Malaysia yang mendominasi, dan Filipina.

perlu dibaca : Waspadai Aktivitas Wisata Ini yang Merusak Terumbu Karang di Bali. Apa Itu?

 

Seorang penyelam sedang menikmati bangkai kapal (shipwreck) di perairan Tulamben, Bali. Foto : wandernesia.com

 

Setelah mendaftar, Green Fins mengirimkan asesor ke penyelaman reguler dive operator sebagai tamu biasa. Bagaimana melakukan aktivitas penyelaman dari penjemputan tamu sampai masuk air, dan kembali naik. Lalu pelatihan satu jam dan wawancara staf.

Asesor akan beri masukan manajer dive operator apa yang hal yang perlu diperbaiki terkait code of conduct sesuai kondisi dive operator. Laporan ini dicek lagi tahun depan untuk dilihat perubahannya. Makin rendah poin, makin bagus. Ia mencontohkan, makin sedikit jejak karbon atau carbon footprint dari wisata bahari makin baik. Setelah dinilai laik akan dapat sertifikat dari UNEP, badan PBB bidang lingkungan, untuk satu tahun. Jika setelah mendaftar dan 3 tahun berturut tidak ada progres maka dikelurkan dari calon anggota.

Marthen mengatakan banyak yang tertarik daftar, misalnya saat ini ada 21 dive center yang masuk daftar. Kendalanya adalah akses asesor, karena perlu biaya untuk mendatangkan seperti biaya transport, konsumsi, dan akomodasi. Salah satu siasat misalnya, di Pulau Komodo, sejumlah dive operator bergabung untuk mengundang asesor sehingga biaya lebih hemat. Ada 7 anggota di Komodo, dan di Ambon 3 operator. “Permintaan cukup banyak di site lain tapi belum bisa dipenuhi karena keterbatasan waktu asesor dan biaya,” ujarnya.

Sekali jadi anggota, harus tiap tahun mengikuti asesmen. Setelah 2 tahun bergabung dalam Green Fins, ada satu dive operator Indonesia yang masuk top ten di dunia.

Standar bagi operator penyelaman adalah keamanan penyelam, kemudian kode perilaku untuk implementasi keberlanjutan. Tapi menurutnya masih sedikit yang menambah briefing konten lingkungan pada tamunya. “Misal menyelam ke Manta Point, kalau ketemu jaga jarak paling dekat 3 meter, jangan disentuh atau dikejar, biarkan pari manta mengontrol pertemuan. Biasanya kalau kita diam, manta akan memutar malah bisa lebih leluasa melihat. Kalau dikejar stres, rugi, semua tak bisa melihatnya,” papar Marthen.

Hal lain, mengurangi sampah dengan cara tak membawa nasi bungkus atau kotak untuk tamu. Diganti botol air, bawa air minum galon dan wadah nasi yang bukan sekali pakai.

Di sisi lain, ada dive guide yang sangat disiplin. Kalau ada yang menyentuh terumbu karang, penyelaman langsung dibatalkan. Di Green Fins, juga ada kursus online untuk dive guide, dan mendapat sertifikat digital.

baca juga : Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Dalam diskusi juga dibahas standar okupansi di satu titik penyelaman agar rasio luasan dan penyelam bisa diatur. Tidak terlalu banyak. Menurut Marthen, ada beberapa studi terkait ini, misal daya dukung lingkungan terhadap lokasi-lokasi penyelaman. Pernah dilakukan di Raja Ampat, menghitung caring capacity, dan metodenya bisa jadi referensi lokasi lain. “Tiap lokasi karakteristiknya beda, metode studi bisa jadi referensi tapi disesuaikan dengan lokasi lain,” lanjutnya.

Ada 3 parameter untuk mengkaji daya dukung atau kapasitas. Pertama, kapasitas fisik misal luasan lokasi dibagi jumlah kapal atau penyelam. Kedua, menilai persepsi sosial dilihat dari persepsi wisatawan dan operatornya. Mereka ditanya apakah merasa nyaman dengan jumlah penyelam tertentu. Ketiga dari sisi ekonomi, perhitungan keuntungan. Misal dibandingkan dengan biaya bahan bakar kapal. Ketiga parameter dipertimbangan untuk rasa nyaman dan tak merusak biota lingkungannya.

Hal-hal praktis juga dibahas dalam diskusi ini. Misal rekomendasi snorkeling menggunakan life jacket. Tujuannya mengurangi penyentuhan terumbu karang saat snorkeling. Menggunakan fins untuk keamanan, sebuah alat bantu agar tak cepat lelah di perairan, karena arus bisa berubah sewaktu-waktu.

 

Exit mobile version