Mongabay.co.id

Cerita Kesusahan Warga Sumatera dan Ancaman Lebih Parah Kala Ada UU Minerba

Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada 12 Mei 2020, Ketua DPR Puan Maharani, mengetuk palu pengesahan rancangan Undang-undang perubahan atas UU Nomor 4/2009, tentang pertambangan mineral dan batubara. Dari sembilan fraksi, delapan menyatakan setuju RUU ini sah jadi Undang-undangan.

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak. Ketika masyarakat diminta di rumah saja mengantisipasi pandemi Virus Corona, anggota parlemen “tancap gas” pengesahan RUU Minerba, minus partisipasi dari masyarakat.

Sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah dan wakil rakyat itu, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan #bersihkanIndonesia menggelar “sidang rakyat” secara virtual pada akhir Mei lalu. Ia diikuti ribuan warga dan komunitas mulai dari Aceh hingga Papua.

Baca juga:  Pengesahkan UU Minerba dan Potensi Besar Korupsi di Sektor Energi dan Pertambangan

Wendra Rona Putra, pimpinan sidang mendengarkan sejumlah saksi fakta, baik pendamping yang mengorganisir masyarakat lokal, hingga komunitas-komunitas dan warga yang terdampak langsung pertambangan minerba, di sejumlah wilayah di Indonesia.

Suara warga dan organisasi masyarakat sipil dari Sumatera ini menolak dan mendesak agar UU Minerba yang baru sah ini dicabut .

Dari Sumatera, warga menunjukkan betapa eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan, menyebabkan kesengsaraan, kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sedang, penikmat alias perusahaan tambang terus mengeruk bumi, masyarakat hanya menerima masalah.

Baca juga: UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan

Masykur, perwakilan jejaring solidaritas mahasiswa untuk rakyat Aceh,   Sumatera terang untuk energi bersih angkat bicara. Dia biasa memimpin dan mengorganisir perlawanan terhadap perusahaan tambang dan PLTU batubara, di Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat, Aceh.

Alasan revisi UU Minerba, katanya, untuk mempermudah investasi agar rakyat sejaktera. Sayangnya, kondisi terbalik terjadi di lapangan. Warga yang hidup di dekat atau sekitar investasi, seperti pertambangan, malah sengsara.

Jamak terdengar saat investasi masuk, konflik lahan dan sumber daya alam terjadi. “Kasus di beberapa wilayah antara kondisi pertambangan dan PLTU batubara, semua menyengsarakan rakyat,” katanya.

Masykur bilang, dalam beberapa pasal pada UU Minerba baru itu, bertentangan dengan keputusan Pemerintah Aceh yang memiliki aturan sendiri.

 

Banyak sungai di Jambi, jadi tambang emas. Pencemaran makin parah. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa pasal seperti izin diambil alih pusat, katanya, sangat bertentangan dengan peraturan masyarakat Aceh.

Bicara investasi di satu wilayah, disebut-sebut menciptakan lapangan kerja. Namun, kehadiran perusahaan sudah menghancurkan geliat ekonomi sekitar tambang, misal, petani, dan nelayan “Jadi pertanyaan, tenaga kerja mana yang mensejahterakan?”

Dia cerita, lahan pertanian warga sekitar tambang di dua kabupaten di Aceh itu, sejak setahun lalu gagal panen. Temuan lapangan, ternyata ada limbah batubara bocor dan mengalir ke persawahan warga.

Ada dugaan kuat, katanya, itu disengaja karena penolakan masyarakat terhadap pertambangan batubara di sana.

Nelayan, mencari ikan di sungai yang mengalir limbah batubara. “Sungai mata pencarian nelayan dirusak. Yang ada bukan ikan lagi tetapi limbah batubara,” katanya.

Ketika investasi datang dengan janji memberikan lapangan kerja, faktanya lapangan kerja mandiri dari masyarakat hancur. “Itu terjadi di Aceh Barat dan Nagan Raya,” kata Masykur.

Dia menuntut, pemerintah bertanggungjawab memulihkan lingkungan dan reklamasi pasca tambang. Dia juga mendesak, pemerintah membatalkan UU Minerba ini. “Tidak ada kesejahteraan di level masyarakat sekitar pertambangan,” katanya.

Di Suak Buntung, katanya, tak sampai satu km dari pemukiman warga sudah tercemar polusi udara dampak debu batubara. Air juga tercemar diduga ada beberapa titik saluran pembuangan limbah ke sungai.

“Selama ini, masyarakat minum dan mencari ikan disitu, sekarang tidak lagi karena air sudah tercemar. Ini kejahatan besar oleh pemerintah dan oligarki tambang,” katanya.

Dari Sumatera Utara juga hadir dalam sidang rakyat ini.

Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari, Jaringan Sumatera untuk Energi Bersih, mengatakan, UU Minerba baru akan membuat rakyat makin menderita, terlebih kerusakan lingkungan dari hulu hingga hilir dampak tambang.

Sumut, katanya, ada empat PLTU batubara, antara lain PLTU Pangkalan Susu, PLTU Palu Kurau, PLTU Asahan dan PLTU Labuhan Angin.

PLTU di manapun baik di Ombilin, Nagan Raya Aceh, maupun di Sumut dan wilayah lain, katanya, berdampak negatif pada masyarakat sekitar.

“Saat rakyat sedang menghadapi Virus Corona disuruh di rumah saja, bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan lain-lain dari rumah, tetapi DPR malah mempertontonkan perselingkuhan antara oligarki kekuasaan dengan oligarki perusahaan, melalui pengesahan revisi RUU Minerba,” kata Mimi, sapaan akrabnya.

Dia garisbawahi beberapa poin dalam UU MInerba, pertama, pengalihan semua kewenangan di pusat. Aturan seperti ini, katanya, bisa menghambat spirit otonomi daerah dan desentralisasi sebagai bagian reformasi birokrasi.

Kedua, penghapusan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi pidana yang menjerat pemerintah, berpotensi korupsi dalam proses pengeluaran izin. Lagi lagi, katanya, hal ini berseberangan dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga, perubahan UU Minerba seakan tak lagi peduli terhadap dampak yang akan merenggut nyawa masyarakat. Dia sebutkan, Pasal 1 ayat 28 a, mengatur, wilayah hukum pertambangan adalah seluruh ruang darat, laut termasuk dalam bumi. Ia sebagai satu kesatuan wilayah, yakni, kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan.

Artinya, kata Mimi, pertambangan minerba meliputi ruang hidup masyarakat. Isi bumi, katanya, bakal terkeruk terus hingga tak menyisakan buat generasi mendatang. Kondisi ini bisa mendorong kerusakan lingkungan makin masif.

Keempat, keistimewaan taipan tambang dalam perizinan dan aktivitas pertambangan, kata Mimi, akan jadi pintu masuk oligarki kekuasaan dan perusahaan.

Salah satu keistimewaan itu, katanya, terlihat pada Pasal 42 UU soal jangka waktu penguasaan lahan, sebelumnya dua tahun, setelah revisi UU Minerba jadi delapan tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan.

 

Nelayan tradisional jadi susah cari ikan kala laut di pesisir tercemar gara-gara ada PLTU. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Derita warga

Kehadiran PLTU batubara berdampak buruk dalam berbagai sektor kehidupan warga, dari ekonomi sampai kesehatan. Satu contoh, terlihat dari kehidupan nelayan tradisional di Pangkalan Susu, Langkat, Sumut. Ketika melaut, nelayan lebih banyak menjaring limbah batubara ketimbang ikan.

“Sebelum ada PLTU, saya bisa dapat Rp2,8 juta per minggu dari hasil tangkapan.. Saat ini, untuk mendapat Rp50.000 saja sulit, karena air laut sudah tercemar,” kata Arfuni, nelayan di Sei Siur, Kecamatan Pangkalan Susu.

Lantaran air laut tercemar, ada nelayan banting setir jadi petani. Naas, limbah dan polusi bikin tanah tak lagi subur hingga hasil pertanian tidak maksimal.

Hamidin, warga Kelurahan Teluk Sepang, Bengkulu bilang, perusahaan kerap kali menggusur malam hari.

“Tahu-tahu besok pagi pohon sawit warga sudah tumbang semua,” katanya.

Kondisi tambah parah dengan tidak ada negosiasi antara perusahaan dan masyarakat pemilik lahan, hingga besaran ganti rugi sepihak.

Warga protes. Perusahaan pun merespon dengan beri janji-janji manis, seperti janji membenahi jalur irigasi rusak karena limbah, memperbaiki akses jalan masyarakat yang hancur jadi rute transportasi perusahaan tambang. Juga janji, reklamasi, ganti rugi dengan nilai wajar, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan lapangan pekerjaan.

Dia khawatir, kala UU Minerba ini berjalan, dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial di masyarakat akan makin parah.

Lasma Natalia dari LBH Bandung mengatakan, ada jalan untuk meminta pembatalan UU Minerba melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, mereka tengah mengumpulkan keterangan-keterangan dan fakta-fakta lapangan.

Dia bilang, aturan dan kebijakan ada seringkali tidak berpihak kepada masyarakat, dan sering memberikan akses kepada oligarki atau para investor. Baginya, petut mencurigai kelahiran UU Minerba ini demi kepentingan siapa.

Didit Wicaksono dari Greenpeace Indonesia mengatakan, tampak ada siklus industri ekstraktif batubara menghabisi masyarakat dari pesisir tempat PLTU hingga wilayah pertambangan itu sendiri. Kondisi ini, katanya, bisa makin parah ketika UU Minerba hadir.

Kondisi buruk warga di Sumatera, katanya, juga dialami di daerah lain seperti di Jawa. Industri pertambangan hadir, katanya, bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi kepentingan industri.

Pada 2016, Greenpeace mengeluarkan laporan tentang dampak pembangunan PLTU terhadap potensi kematian dini sekitar 6.500 orang per tahun di Indonesia.

“Agka ini bisa bertambah seiring partikel-partikel lain yang konsentrasinya jauh lebih besar,” kata Didit.

Pada 2009, Greenpeace melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap masyarakat yang tinggal di PLTU radius lima km di sekitaran PLTU Cilacap bersama Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Dari sana ditemukan, hampir 80% tinggal di sekitar wilayah PLTU mengalami gejala berhubungan dengan pernapasan, bahkan beberapa orang tua dan anak-anak memiliki gejala sangat menyedihkan, yaitu paru-paru berwarna hitam atau paru-paru hitam.

Belum lagi, soal limbah batubara yang merusak laut secara pelahan. Ikan-ikan di pesisir menjauh hingga nelayan melaut perlu biaya lebih besar sedang tangkapan ikan sedikit.

Mereka juga sudah menyelam di laut yang berdekatan dengan PLTU seperti di Jepara dan Bali. Hasilnya, sedimentasi luar biasa dan laut ‘mati’.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, sidang rakyat ini merupakan sidang tandingan dari apa yang berlangsung di gedung DPR.   Sidang rakyat ini menunjukkan, keputusan anggota DPR itu berbeda dengan suara rakyat .

“Menjadi sebuah pertanyaan, siapa sebenarnya yang mereka wakili ketika bersidang di gedung rakyat itu?” kata Yaya, biasa dipanggil.

UU Minerba dan RUU Cipta Kerja- yang masih dalam godokan DPR dan pemerintah– sama sekali tidak mencerminkan keperluan rakyat. UU Minerba, justru bisa makin menyebabkan berbagai kerusakan.

Selama in, katanya, pengusaha-pengusaha industri ekstraktif melepaskan diri dari tanggung jawab, rakyat yang menderita. Dalam penyusunan UU Minerba itu, katanya, tak ada melibatkan mereka yang terkena daya rusak industri pertambangan.

Warga sekitar tambang atau industri hilir pemanfaat batubara, macam PLTU, rentan mengalami kekerasan dan lain-lain kalau menolak proyek.

Busyro Muqoddas, mantan pimpinan KPK, mengatakan, UU Minerba baru ini perwujudan sosok yang mendominasi birokrasi.

Banyak UU bermasalah hadir, UU Organisasi Masyarakat yang mengancam ormas kritis bisa bubar, UU ITE banyak menjebak pada aktivis atau lawan politik sampai UU KPK yang melumpuhkan KPK.

Menurut dia, terjadi praktik capture corruption dengan oligarki politik dan bisnis makin menguat. Terjadi prostitusi demokrasi liberal dan transaksional.

“Era Orde Baru untuk melumpuhkan lawan politik, penguasa menggunakan label ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Orde sekarang itu tengah djalankan, dengan pembungkaman terhadap aktivitis, organisasi masyarakat sipil dan kampus,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Asap yang mengepul dari corong PLTU itu menebarkan beragam zat berbahaya di udara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version