Mongabay.co.id

“New Normal” dan Skenario Politik Lingkungan

Kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia tampak belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bahkan, dalam Juni 2010, tampak terus terjadi kenaikan orang yang terinfeksi virus ini. Per 10 Juni ada 1.241 orang positif COVID-19, hingga total jadi 34.316. Untuk pasien sembuh total 12.129 orang dan meninggal dunia 1.959 orang.

Setelah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua bulan, pemerintah berencana membuat skenario baru dengan sebutan new normal. Pilihan ini berdasarkan pandangan WHO yang mengungkapkan, perlu waktu lama menemukan anti virus. Sejurus dengan pernyataan WHO ini, Presiden Joko Widodo juga, manusia hidup harus berdampingan dan berdamai dengan virus ini.

New normal memberikan sejumlah keleluasaan kepada publik dengan menjalankan protokol kesehatan. Dengan membuka kembali aktivitas dan aksesibilitas seperti tempat ibadah, hiburan, belanja dan liburan diyakini dapat memulihkan perekonomian baik dalam skala makro dan mikro. Sekaligus mengontrol penyebaran dengan menjalankan protokol kesehatan.

Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

Keputusan ini diperkuat dengan regulasi melalui Keputusan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri agar penyebaran Corona tidak meluas. Diyakini peraturan lain akan keluar di berbagai tempat lain seperti aktivitas olah raga atau lain-lain.

Respon publik pun beragam. Banyak kalangan berpendapat kebijakan itu tidak pas mengingat kurva COVID-19 masih belum turun ditambah lagi ancaman gelombang kedua yang mulai terjadi di berbagai negara. Pemerintah dianggap memilih ekonomi ( baca : uang) daripada nyawa tak ayal muncul persepsi publik tentang herd immunity. Sebagian publik lain bisa menerim situasi ini mengingat sudah cukup lama berada dalam situasi isolasi dari dunia luar. Gangguan psikologis omo dikenal dengan istilah cabin fever.

 

Pembukaan lahan untuk kebun sawit di hutan adat. Masa pandemi ini harus jadi pengingat bagi pemerintah agar tak boros beri izin yang menghancurkan hutan dan lingkungan, serta berkonflik dengan warga.   Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Momentum Hari Lingkungan Sedunia

Tak dapat dipungkiri, pandemi ini membawa berkah bagi lingkungan. Ia memaksa perilaku manusia menahan diri mengurangi mobilitas dan industrialisasi, sebagai penyebab tingginya polusi dan kerusakan alam. Para pakar, akademisi dan aktivis lingkungan sudah mengingatkan jauh sebelum ini, bahwa lingkungan perlu istirahat dari aktivitas pertumbuhan ekonomi yang cenderung eksploitatif.

Mengutip buku The Limits of Growth (1972) Donella H. Meadows dan kawan-kawannya, memberikan ilustrasi betapa industrialisasi dan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan sangat mengancam keberlangsungan kehidupan.

Dalam konteks lain kemunculan berbagai virus juga karena perilaku manusia dalam rekayasa genetika yang mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Sebut saja flu burung, flu Spanyol dan terakhir ini COVID-19 berasal dari kelelawar.

Dengan tidak menafikan ancaman kematian akibat COVID-19, virus ini juga mengubah wajah bumi dan lingkungan hidup atas polusi industri dan mobilitas publik. Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global merupakan dampak tak terduga.

Industri di berbagai kawasan tidak lagi mengepulkan asap, limbah industri tidak lagi mengalir ke sungai-sungai. Rutinitas publik berubah statis, mobil terparkir di garasi-garasi rumah.

Menurut data Kementerian Ekologi dan Lingkungan China, di awal tahun saat warga diminta di rumah, emisi karbon berkurang 25% . Saat sebagian kota lockdown, pabrik-pabrik yang menggunakan batubara kurang hingga 40%. Secara tidak terduga masyarakat China dapat menghirup udara bersih naik 11,4% di 337 kota di seluruh negeri tirai bambu ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Direktur Komisi Penghapusan Bensin Timbal Ahmad Safrudin, hampir 28 tahun, baru tahun ini kualitas udara di Jakarta masuk kategori baik, dengan catatan tak ada laporan kualitas udara di Jakarta sebelumnya. Hanya pada 1994, ada laporan resmi dari United Nations Environment Programme (UNEP).

Pada 2019, saat peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang mengambil tema beat air polution atau tema versi Indonesia “Biru Langit ku, Hijau Bumi ku,” membeberkan fakta ancaman krisis udara bersih di berbagai kota besar di dunia termasuk di Indonesia. Tema ini juga mengacu pada peringatan WHO tentang ancaman polusi udara terhadap kesehatan masyarakat.

Tak dinyana, pandemi COVID-19 telah memberikan dampak positif bagi lingkungan hidup, terutama di kota besar dan perilaku konsumtif baik industri maupun masyarakat selama enam bulan terakhir.

 

 

Perilaku baru

Skema new normal meskipun mendapatkan berbagai kritik, harus dimaknai sebagai upaya bagi semua pihak dalam menjalani kehidupan dan “berdamai” dengan alam.

Perubahan perilaku dan hidup dalam era new normal jadi sebuah keniscayaan. Dalam pandangan penulis, pemerintah perlu memperluas perspektif new normal tidak hanya dalam pendekatan kesehatan, sosial dan ekonomi juga memiliki lingkungan. Berpikir hijau (thinking green) mengutip Andew Dobson dalam buku Green Political Thought, tidak hanya berperilaku “seperti” tetapi harus merombak sejumlah kebijakan politik ekonomi dan perilaku publik berinteraksi dengan lingkungan.

Dalam skema new normal penulis memberikan highlight terhadap kebijakan politik lingkungan. Pertama, new normal harus diartikan sebagai sebuah perubahan paradigma pertumbuhan industri berbasis pada energi terbarukan. Mulai mengurangi ketergantungan terhadap energi kotor seperti batubara dan energi fosil lain untuk kebutuhan transportasi yang jadi salah satu penyebab utama kualitas udara buruk di berbagai kota.

Mempertahankan kualitas udara yang sudah bersih selama pandemi akan mempermudah upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon sebagai bagian komitmen terhadap penurunan emisi global.

Pada satu forum internasional Virtual Ministerial Dialogue with Local and Regional Governments Strengthening Coordination to Implement the Paris Agreement, yang diselenggarakan Mei ini, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kembali membuat komitmen penurunan emisi karbon hingga tahun 2030 sebesar 29% dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri, sampai 41% dengan bantuan internasional.

Sayangnya, pengesahan RUU Mineral dan Batubara di tengah pandemi jadi penghalang agenda new normal ini.

Kedua, mendorong produktivitas masyarakat dengan pendekatan gotong royong ( saling bantu) pada kelompok yang paling rentan terdampak COVID-19. Gerakan membeli bahan pokok ke petani atau nelayan tidak hanya mampu menyelesaikan problem sosial ekonomi kelompok tetapi mengurangi ecological footprint atau jejak ekologis.

Kembali ke kehidupan lama yang mendorong produktivitas ekonomi berbasis konsumerisme tidak menunjukkan sikap dan perilaku normal baru dalam tatanan masyarakat baru.

Inisiatif-inisiatif seperti ini sudah dilakukan berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah dan perlu dukungan pemerintah terutama sektor UMKM.

Ketiga, perubahan perilaku publik jadi new normal secara terus menerus agar lahir perilaku baru ramah lingkungan.

Pada 2018, para peneliti Universitas Zurich Ilmu Terapan menemukan, jika orang-orang tidak mendapat izin untuk mengendari mobil ketika berpergian dan kemudian dapat akses alat transportasi lain, mereka tidak akan menggunakan kembali ketika izin pakai mobil dibuka kembali.

Menyitir Richard Thaler dan Cass Sunstein dalam teori Nugde dalam kebijakan publik, pemerintah secara sederhana, mampu mengubah perilaku warga negara dan aktor negara lain, tanpa paksaan dan berbiaya rendah. Mengubah perilaku new normal tidak akan sulit terlaksana dan tidak akan mendapat resistensi publik kalau menggunakan pendekatan perilaku. Secara otomatis akan mengurangi penyebaran virus sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni lalu, biasa diperingati sebatas simbolis dan aktivitas business as usual. Pada 2020 ini, hendaknya jadi momentum bagi semua pihak mengubah perilaku dan paradigma baru.

Secara implisit memberikan pesan kepada pemerintah, akan tetap mempertahankan pendekatan politik ekonomi pasca COVID-19 dengan mengejar kembali keuntungan atau profit atau memilih “jalan baru” keberlanjutan lingkungan. Pilihan ada pada pemerintah. Kalau masih terus berperilaku sama dan new normal hanya gimmick, akhirnya alam akan menemukan kembali cara memulihkan diri.

 

*Penulis adalah aktivis lingkungan. dan salah satu penulis  buku “Ketimpangan Pembangunan Indonesia.”  Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Langit Jakarta yang bersih dan biru pada  masa pandemi Corona. Biasanya, langit tak pernah biru, kualitas udara Jakarta pun, dalam per tahun lebih banyak buruk. Masa pandemi Corona, kualitas udara Jakarta membaik. Foto: Andreas Harsono

 

Exit mobile version