Mongabay.co.id

Kerap Jerat Petani, UU P3H Diusulkan untuk Dihapus

Petani menyiapkan lahan untuk ditanami jagung di Sendangharjo, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Undang-Undang No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) merupakan undang-undang pidana khusus, yang awalnya dimaksudkan untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir dan dilakukan oleh korporasi. Sayangnya, UU ini dinilai justru banyak digunakan untuk menjerat petani yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Aktivis menilai implementasi UU ini tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

Faktanya memang banyak petani telah terjerat UU ini. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2016-2020 tak kurang dari 50 petani yang dikriminalisasi melalui penerapan UU P3H, yang setengahnya merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, yang selama ini justru banyak berkontribusi menjaga hutan.

Kondisi ini dinilai Edy Kurniawan Wahid, aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sebagai hal yang sangat mengerikan, karena keberadaan UU ini justru merenggut ruang hidup masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

“Menurut kami, level UU P3H bukan lagi berbahaya tetapi sudah mengerikan, karena di satu sisi ini telah diundangkan namun di sisi lain ini ditolak masyarakat lokal yang menjadi subjek pengaturan UU ini,” ungkap Edy pada diskusi daring yang dilaksanakan KPA, akhir April 2020 lalu.

baca : Tebang Pohon di Kebun Sendiri, Tiga Petani di Soppeng Kembali Dijerat UU P3H

 

Tiga petani di Kabupaten Soppeng Jamadi (41 tahun), Sukardi (39 tahun) dan Sahidin (45 tahun), didampingi dua pengacara dari LBH Makassar. Dalam putusan ini dibacakan pada 21 Maret 2018 Majelis Hakim menilai penerapan UU No.18 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dalam penuntutan kasus ini adalah keliru. Foto: Edy Kurniawan Wahid/LBH Makassar

 

Edi menyebut UU P3H ini mengerikan karena dari segi ruang lingkup UU ini menjerat setiap aktivitas di dalam kawasan hutan. Dengan luas kawasan hutan sebesar 69 persen dari total luasan daratan Indonesia maka itu berarti sebanyak 69 persen kawasan ini berada di dalam yurisdiksi UU P3H, dengan puluhan ribu desa dan puluhan juta warga yang bermukim di sekitar dan dalam kawasan.

“Semua rumusan pidana dalam UU P3H mulai dari pasal 80 hingga 105 menyentuh hak-hak dasar masyarakat lokal, terutama hak hidup layak baik untuk sandang, pangan dan papan. Padahal sebagian besar mereka telah hidup turun temurun di dalamnya.”

Edy berharap penanganan hukum terhadap petani di dalam kawasan hutan harus dilakukan tanpa mengabaikan kondisi sosial dan budaya masyarakat tersebut.

“Mereka juga punya hukum-hukum tersendiri yang tentunya tidak melanggar hukum. Mereka punya kebiasaan menjaga keseimbangan hutan dengan masyarakat, jangan ajari mereka menjaga hutan, karena bagi mereka hutan adalah tempat mencari ayam hutan, madu, tuak, gula aren, sehingga mereka pasti akan menjaga hutannya,” jelasnya.

Edy berharap ke depan ada solusi terbaik terkait pemberlakuan UU P3H ini, karena jika terus diterapkan berpotensi menghilangkan modal sosial yang ada di tengah masyarakat, seperti budaya gotong royong yang terus tergerus.

“Kami berharap adanya pertemuan di tingkat atas membicarakan hal ini. Pilihannya harus ada pertemuan stakeholders, kehutanan, kepolisian, dan pihak terkait lainnya atau sekalian cabut UU ini,” ujarnya.

baca juga : Akhirnya Tiga Petani Soppeng Divonis Bebas. Bagaimana Ceritanya?

 

Natu bin Takka (Tengah) menjalani pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang. Bersama Ario Permadi (31 tahun) dan Sabang (47 tahun) dijerat Pasal 82 ayat (1) huruf b Jo. Pasal 12 huruf b dan/atau pasal 82 ayat (2) UU P3H. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, ancaman kriminalisasi masyarakat di kawasan akan terus terjadi dengan atau tanpa adanya UU P3H karena sistemnya memang bermasalah, di mana setiap masyarakat yang melakukan aktivitas atau melakukan penebangan pohon di hutan pasti masuk dalam delik pidana.

Padahal aktivitas di hutan adalah hal yang tak bisa dihindarkan jika melihat data yang ada di mana, secara nasional terdapat sekitar 25.863 desa yang masuk dalam kawasan hutan. Di Sulsel sendiri, dari 3.030 desa yang ada terdapat sekitar 1.028 desa yang masuk dalam kawasan hutan.

Menurutnya, persoalan utama yang dihadapi terkait hal ini adalah kurangnya pemahaman aparat kepolisian terkait masalah-masalah agraria. Banyak aturan, termasuk keputusan Mahkamah Agung, yang membela petani justru tidak dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.

“Harusnya ada aturan-aturan yang tertempel sampai di Polsek dan Polres bahwa semua penegakan hukum harus paham masalah agraria ini,” tambahnya.

Menyinggung agenda reforma agraria berupa tanah obyek reforma agraria (Tora) dari Jokowi, dengan alokasi 4,5 juta ha di kawasan hutan, dianggap Rizki tidak terealisasi. Sebaliknya, justru banyak terjadi kriminalisasi di lokasi-lokasi yang beririsan dengan data yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sangat miris bahwa ada surat edaran menyikapi putusan MK tentang larangan kriminalisasi masyarakat di kawasan hutan, tapi justru orang dari kehutanan dan kepolisian yang melakukan penangkapan. Jadi ironi kebijakan yang dikeluarkan kementerian itu justru tidak diikuti orang kehutanan,” tambahnya.

baca juga : Tanam Jahe Terjerat UU Rusak Hutan, Majelis Hakim Putus Bebas Satumin

 

UU P3H seringkali digunakan untuk menjerat petani kecil yang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan. Padahal, undang-undang ini sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay.

 

 

Menanggapi berbagai tudingan tebang pilih kasus, Muhammad Said, Direktur Penyelesaian Konflik KLHK, mengakui sudah melakukan banyak penindakan hukum contohnya kasus DL Sitorus di Sumatera Utara, yang proses hukumnya sudah selesai meski hingga saat ini belum berhasil dieksekusi.

“Ini menunjukkan banyaknya tantangan. Jangankan yang baru mulai, yang sudah selesai saja proses hukumnya eksekusinya tidak mudah.”

Terkait banyaknya kasus kriminalisasi kepada petani, masalahnya pada pembuktian para pelaku tersebut adalah memang masyarakat tradisional dan tidak dilakukan secara terorganisasi untuk kebutuhan komersial, sebagaimana tertera pada Pasal 1 UU P3H.

“Ini kuncinya untuk masyarakat, bagaimana kita memberikan penguatan bahwa pembuktian keberadaan mereka itu memang adalah termasuk kategori masyarakat tradisional yang dalam mengelola pemanfaatan dan penebangan dan kayu yang diambil tidak untuk kepentingan komersial,” katanya.

Menurutnya, hal Ini yang harus diperkuat dan menjadi tugas semua pihak, termasuk penegak hukum untuk jeli, untuk bisa mencari pembuktian apakah kriteria ini dipenuhi atau tidak.

Sedangkan Poengky Indarti, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), banyaknya kasus kriminalisasi terhadap petani, meski telah ada jaminan perlindungan dari undang-undan adalah cerminan ketidakpahaman aparat penegakan hukum di lapangan yang harus dipahami sebagai sebuah keterbatasan.

“Mesti dipahami bahwa tidak semua aturan-aturan terkait agraria, pertanahan ataupun kehutanan diketahui oleh aparat kepolisian, baik di pusat atau pun di daerah, apalagi tugas mereka tidak fokus ke isu agraria,” katanya.

baca juga : Dari Sidang UU P3H: Kala Kearifan Lokal Hancur Gara-gara Aturan Negara

 

Masyarakat adat Palassang, Gowa, Sulawesi Selatan dan hutan adatnya. Dengan UU P3H yang mengabaikan keputusan MK tentang pengakuan hutan adat berpotensi menambah panjang kriminalisasi masyarakat. Foto: AMAN Sulsel

 

Terkait situasi ini, Poengky menyarankan adanya pertemuan antara masyarakat sipil dengan pimpinan kepolisian di wilayah tersebut, baik itu dengan Kapolres ataupun Kapolda.

“Kalau memang ada upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh aparat dianggap melanggar hukum, kawan-kawan perlu menyampaikan ke dampingannya perlu untuk melihat, ini lahannya siapa kemudian ketika tiba-tiba polisi datang tanpa surat perintah, harus dicatat namanya siapa kesatuannya mana. Dengan cara itu kawan-kawan bisa melaporkan ke Propam untuk diproses lebih lanjut. Selanjutnya juga bisa diupayakan pra-peradilan meski cara-cara ini kadang kurang dilakukan karena prosesnya yang berbelit-belit dan panjang,” jelasnya.

Poengky juga setuju usulan terkait perlunya pendidikan khusus terkait agraria kepada aparat kepolisian. Selain itu, KPA ataupun NGO lainnya bisa membuat buku saku atau leafleat terkait keagrariaan yang dengan mudah dipahami aparat kepolisian.

“Namun sebelum sampai di situ alangkah baiknya kalau terlebih dahulu membangun komunikasi dengan pimpinan wilayah, apakah dengan Kapolres atau Kapolda. Saya rasa dengan adanya instruksi dari pimpinan ke bawah akan lebih mudah diaplikasikan,” tambahnya.

Menurut Achmad Sodiki, Hakim Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013, selama ini memang terlihat tidak ada komunikasi yang baik antara para peminat agraria dengan pihak penegak hukum.

“Memang ada aturan yang harus dijembatani. Putusan Mahkamah Agung kan final, Mahkamah Konstitusi juga final, tetapi kita lihat di bawah itu ada ketidakmerataan pemahaman tentang putusan itu sendiri,” katanya.

Mantan Rektor Universitas Islam Malang ini menyarankan perlunya pertemuan bersama antara pihak kehutanan, kepolisian, KPA, yang kemudian menghasilkan keputusan bersama yang kemudian disosialisasikan ke tingkat bawah.

 

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Petani menyiapkan lahan untuk ditanami jagung di Sendangharjo, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version