Mongabay.co.id

Ancaman Nyata UU Minerba Terhadap Gajah Sumatera

Bentang Alam Seblat di Bengkulu, disahkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Koridor Gajah Sumatera. Foto: IG#savegajahseblat

 

 

Pengesahan Undang-Undang Mineral dan Batubara [Minerba] oleh Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] pada 12 Mei 2020 lalu, membuat Sofian Ramadhan, resah atas nasib gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].

Pasalnya, menurut Koodinator Koalisi Penyelamat Bentang Seblat ini, gajah sumatera di Bengkulu hidup di wilayah kaya sumber cadangan batubara. “Rombongan gajah itu menetap di Bentang Alam Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara. Daerah ini kaya potensi batubara,” kata Sofian saat diskusi virtual yang digelar Kanopi Bengkulu, Jumat [12/6/2020].

Hasil pemetaan geologi oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bengkulu 2012 menunjukkan, kawasan habitat gajah sumatera ini, memiliki potensi batubara sebanyak 20 juta ton.

Baca: Harapan Baru Gajah Sumatera di Bentang Alam Seblat

 

Bentang Alam Seblat di Bengkulu, disahkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial [KEE] Koridor Gajah Sumatera. Foto: Instagram#savegajahseblat

 

Bentang Alam Seblat melingkupi Taman Wisata Alam [TWA] Seblat hingga Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] wilayah Bengkulu, yang didominasi Hutan Produksi Air Teramang, Air Rami, Hutan Produksi Terbatas [HPT] Lebong Kandis, perkebunan sawit PT. Alno Agro Utama, dan area penggunaan lainnya.

TWA Seblat merupakan habitat yang menjadi tujuan migrasi kelompok gajah di Bentang Seblat. Namun masalah utamanya, wilayah seluas 7.732,8 hektar itu terisolasi sehingga berada di luar jangkauan kawanan gajah yang secara reguler melintas.

Data Koalisi Penyelamat Bentang Seblat menunjukkan, bentang ini menjadi habitat alami 70-150 individu gajah sumatera.

Terisolasinya TWA Seblat karena mengalami fragmentasi, pembukaan lahan untuk kebun warga hingga pertambangan, mengakibatkan gajah terpecah menjadi empat kelompok. Ada kelompok Air Teramang – Air Dikit, Air Teramang – Air Berau, Air Ipuh – Air Berau, dan Seblat.

“Sejak 2017 kami memperhatikan masalah ini,” kata Sofian.

Atas potensi 20 juta ton dan berbagai permasalahannya itulah, rumah alami gajah sumatera tersebut menarik minat sejumlah perusahaan tambang untuk meneliti dan mengajukan izin eksplorasi.

Salah satu perusahaan yang beroperasi di wilayah ini adalah PT. Inmas Abadi. Perusahaan tersebut sejak 1996 telah memiliki izin usaha pertambangan [IUP] di sekitar lokasi HPT Lebong Kandis dan TWA Seblat.

Surat izin terbarunya keluar 2017 lalu, berdasarkan keputusan Gubernur Bengkulu Nomor I.315.DESDM tentang IUP Operasi Produksi di Kabupaten Bengkulu Utara seluas 4.051 hektar.

 

Bentang Alam Seblat berada di antara Taman Wisata Alam [TWA] Seblat dan Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS]. Foto: Instagram#savegajahseblat

 

Dari catatan Koalisi Penyelamat Bentang Seblat, luasan izinnya sekitar 735 hektar masuk TWA Seblat, sedangkan 1.915 hektar masuk dalam HPT Lebong Kandis register 69, dan 540 hektar masuk dalam hutan produksi yang dapat dikonversi [HPK]. Untuk memuluskan izinnya di TWA Seblat, pihak PT. Inmas ketika itu bersurat ke Menteri LHK, meminta pelepasan kawasan tersebut untuk pertambangan.

Izin penambangan itu langsung dilawan pegiat lingkungan hidup Bengkulu, mereka menggaungkan kempanye penolakan dengan tagar #savegajahseblat.

“Koalisi Penyelamat Bentang Seblat susah payah kempanye menolak izin tambang tersebut,” kata Sofian.

Atas penolakan besar-besaran itu, akhir 2018, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah angkat bicara. Menurut dia, izin tersebut merupakan upaya penciutan IUP terhadap izin tumpang tindih berdasarkan keputusan pengadilan. Rohidin mengeluarkan surat bernomor S.497.DLHK.2017 tentang Pembentukan Forum Kolaboratif Pembangunan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah di Bentang Seblat.

“Bentang Alam Seblat ini memiliki riwayat tarik ulur izin tambang. Bila tambang mulus masuk melalui pintu UU Minerba baru, maka flora dan fauna yang ada saat ini akan hilang. Kami minta pemerintah membatalkan UU Minerba dan membuat regulasi lebih ramah lingkungan,” kata Sofian.

Baca: Bentang Alam Seblat, Jalur yang Bebaskan Gajah Sumatera dari Kungkungan [Bagian 1]

 

Bentang Alam Seblat merupakan habitat alami gajah sumatera. Foto: Instagram#savegajahseblat

 

Tidak ada semangat otonomi daerah

Kekhawatiran juga dirasakan Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu, Gunggung Senoaji. Dia melihat tidak adanya sanksi hukum bagi yang mengeluarkan izin bermasalah dalam sektor minerba yang tertuang dalam UU Minerba yang baru itu.

Dia juga menyoroti Pasal 4 ayat 2 yang mengatur penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan pemerintah pusat. Menurutnya, sentralisasi ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

“Kita takut jika pemerintah pusat tidak tahu kondisi wilayah yang diminta izin oleh perusahaan,” terangnya.

Bila perusahaan ingin membuka tambang di hutan produksi terbatas dan diberikan izin oleh pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan nilai ekologis daerah setempat, habislah daerah itu. “Flora dan fauna yang dijaga mati-matian masyarakat juga hilang,” lanjut Gunggung.

Dia juga menilai ada potensi Bentang Seblat akan diserang, apalagi bila semua perizinan sudah diambil alih pusat. Kecemasan dia juga karena adanya ketentuan baru bernama Surat Izin Penambangan Batuan [SIPB], yakni izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan penambangan untuk keperluan tertentu.

Baca: Bentang Alam Seblat, Pisau Bermata Dua Perlindungan Gajah Sumatera [Bagian 2]

 

Gajah sumatera di TWA Seblat, Bengkulu. Foto: Dodhy/Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu

 

Komitmen BKSDA

Atas ancaman UU Minerba, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu-Lampung, Donald Hutasoit mengatakan gajah sumatera yang tersisa harus diselamatkan, terutama yang ada di Bentang Alam Seblat.

Dia menilai, tambang terbuka bakal mengubah habitat gajah Sumatera. Apalagi di wilayah Seblat, koridor gajah masuk dalam kawasan koservasi Taman Wisata Alam [TWA] Seblat.

“Jangankan hutan konservasi, hutan non-konservasi juga kalau itu lintasan gajah perlu diselamatkan,” paparnya.

Donald menjelaskan, gajah tidak selalu ada di kawasan konservasi, namun bisa di luar. “Untuk di luar kawasan konservasi, solusi penyelamatannya melalui kawasan ekosistem esensial.”

“Kita akan pertahankan kelestarian hutan yang diamanatkan dalam UU Kehutanan,” terangnya.

Baca: Tolak UU Minerba, Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Sidang Rakyat

 

Tambang batubara terbuka yang berada di hulu Sungai Bengkulu. Foto: Dok. Genesis

 

Gajah semakin terancam

Pegiat Forum Konservasi Gajah Indonesia, Dony Gunaryadi mengatakan, ancaman kehilangan populasi gajah sumatera dari Aceh hingga Lampung memang marak. Faktor utamanya adalah perburuan, konflik manusia dengan gajah, ancaman jerat listrik, hingga racun.

Dia menuturkan, upaya penyelamatan gajah sumatera harus dilakukan. Perlindungan gajah di alam hingga penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan harus ditingkatkan.

Selanjutnya, penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dengan gajah secara efektif serta praktik hidup berdampingan manusia dengan gajah, harus ada.

“Paling penting, menghilangkan potensi ancaman langsung pada lokasi-lokasi prioritas dan penyelamatan gajah dari populasi alami kritis,” katanya.

Donny menjelaskan, sedikitnya ada 1.700 gajah sumatera yang hidup di hutan Sumatera saat ini. Namun, data tersebut merupakan hasil perkiraan beberapa lembaga yang selama ini menjadi pemerhati gajah.

“Sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena diburu.”

Donny menceritakan, tahun 1985, terdapat 44 daerah kantong habitat gajah berada di Pulau Sumatera. Namun, terhitung 2007 hanya 25 kantong saja.

Dari 25 kantong tersebut, hanya 12 kantong yang memiliki populasi di atas 50 individu. “Saat ini, hanya beberapa daerah saja sebagai habitat gajah, seperti Taman Nasional Gunung Leuser Leuser dan Ulu Masen, Aceh; Taman Nasional Bukit Tiga Puluh; Taman Nasional Tesso Nilo; Jambi; Padang Sugihan, Sumatera Selatan; Bengkulu; serta Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, Lampung,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version